"Semalam, dia pulang dan berantem sama papanya, Bu. Gak tau apa yang terjadi, dia pergi ke rumah saya. Bilang makasi dan selalu nurut sama apa yang Ibu bilang. Tadinya saya pikir dia bakal pindah sekolah, tapi tadi pagi, dia ngajak ke makam Andre dan dia minta maaf sambil bilang, sebagai permintaan maaf dia bakal nemenin Andre, Bu. Saya takut dia bakal ngelakuin hal yang aneh," jelas Ben.
Gista menggelengkan kepala," Tidak mungkin," gumamnya.
"Sampai di sekolah, kami tadi sempat vidio call sama Resta, dia nyuruh Resta pulang dan bilang, mungkin mereka gak bakal ketemu lagi."
Gista langsung memperbesar langkahnya menuju kelas Dani, tetapi Ben mengarahkannya ke atap.
"Biar Ibu yang ngomong sama dia, bentar lagi kalian masuk kelas. Jam ngajar Ibu gak ada pagi ini, jadi bisa Ibu pastiin keadaan Dani, ya." Gista mengusap bahu Ben, laki-laki itu terlihat sangat cemas. "Tenang, kalau sama Ibu semua yang kamu takutin gak bakal terjadi."
Setelah Ben menuruni tangga, Gista langsung menncarii keberadaan Dani. Sekilas ia mendengar isakan tangis dari balik toren. Suara itu tak asing, bahkan isakan kamarin saja masih terngiang di kepalanya.
"Dani," panggil Gista, membuat si pemilik nama langsung mendongakkan kepala dan sekilas ia pun tersenyum. Gista ikut berjongkok di depan Dani dan memegang bahunya. "Kenapa?"
Satu detik, dua detik, hingga di detik kelima, tidak ada jawaban yang terlontar dari mulutnya.
"Ibu benar," ucapnya sambil berdiri. "Tujuan hidup saya bukan untuk mengejar cinta Ibu saja, masih banyak tujuan yang lain," sambungnya sambil mengusap air mata di sudut matanya sambil tertawa. "Mana mau orang dewasa dengan saya yang bahkan menangis di depannya."
Gista menggelengkan kepala dan ikut berdiri. "Dani, kam ..."
"Saya sudah coba apa yang Ibu saranin," ucap Dani setelah memotong kata yang ingin dilontarkan Gista. "Menjadi lebih baik dengan versi saya sendiri. Saya udah coba, Bu. Tapi, dunia gak nerima saya," sambungnya.
"Kamu salah, kamu belum coba. Lihat dua teman kamu, mereka bisa. Semuanya butuh proses. Gak ada apa yang kita mau langsung jadi gitu aja, gak ada, Dan," terang Gista. "Ibu bakal bantu, tenang aja," sambungnya.
Kali ini Dani yang menggelengkan kepala. "Ibu gak tau apa yang saya rasakan, makanya bisa bilang gitu."
"Ibu memang gak tau, makanya Ibu bantu kalian, bantu kamu, masuk ke dalam dunia kalian, buat rasain apa yang kalian lalui," jelas Gista memastikan.
Untuk sesaat, hanya helaan napas yang terdengar sebelum Gista menyuruhnya kembali ke kelas.
"Ibu percaya, gak, kalau udah cinta, orang itu akan lakukan apa saja?" tanya Dani santai, raut wajahnya pun telah berubah.
Sejenak Gista terdiam, tentu ia tak bisa menanggapi karena ia tahu kemana tujuan pertanyaan Dani.
"Kamu balik kelas, ya," ajak Gista.
"Masih ada yang akan saya lakukan di atas sini. Kalau Ibu ada jam pagi, silahkan turun dulu," ucapnya dan berbalik menuju sisi atap, tatapannya lurus ke depan sebelum memejamkan mata, menghirup angin segar di atas sana. "Oh, iya, Bu."
Gista menatap punggung siswa di depannya, memikirkan bagaimana cara mengajak Dani untuk kembali ke kelas. Karena itu memang tugas seorang guru, mengajak mereka menjadi lebih baik, menuntun mereka di jalan yang benar, dan melindungi apapun yang terjadi. Bukan sekedar mengajarkan pelajaran yang ada di dalam buku, tapi mengajarkan apa arti hidup yang sebenarnya dan tentunya tentang pengorbanan.
"Ibu gak usah takut kalau saya bakal rebut Ibu dari suami, Ibu. Karena saya akan pergi jauh," ucapnya. "Dan mungkin kita gak bakal ketemu," sambungnya.
"Kamu mau pindah?"
Dani menganggukkan kepala, ia berbalik. Menatap Gista lalu tersenyum.
"Makasi, ya, Bu. Ibu mengajarkan banyak hal, bahkan rela berkorban. Ibu juga orang yang berani ngelawan papa saya dan Ibu orang baik yang pernah saya kenal. Berat buat ninggalin Ibu, tapi saya gak kuat lagi. Entah itu di sekolah ini, atau di luar. Jadi, saya ingin mengikhlaskan semuanya, termasuk Ibu, " jelasnya. "Berdamai dengan dunia? Itu yang harus saya lakukan, Bu. Meminta maaf dan berdamai, bukankah itu yang akan Ibu sarankan?" tanya pada Gista.
"Iya, kamu udah tau."
Dani tersenyum mengangguk sambil berjalan mendekati Gista. "Mungkin saya akan pergi hari ini, boleh saya meminta satu pelukan lagi? pelukan untuk terakhir kali, mungkin?"
Banyak hal yang ingin Gista tanyakan, kemana ia pergi? Apakah dia benar berubah? Mampukah berdamai dengan dunia? Padahal dia tak perlu pergi, jika alasannya karena dia, Gista bisa berhenti, lagi pula suaminya tak mengizinkan Gista untuk mengajar di masa kehamilannya.
Gista menganggukkan kepala, "Tapi, kamu harus balik ke kelas, ya? Setidaknya, untuk pamit sama teman kelasmu."
Saat Gista mengizinkannya, Dani langsung memeluk Gista, menenggelamkan kepala di bahu gurunya. Isakan tangis kembali terdengar dengan kata maaf dan terima kasih di setiap sela tangisnya. Gista hanya bisa mengusap punggung Dani untuk menenangkan laki-laki itu.
"Seharusnya Ibu gak kenal saya, maaf, Bu," isaknya.
Hanya 30 detik, Dani melonggarkan pelukannya, menatap mata Gista. "Saya udah ikhlaskan Ibu, sebagai gantinya, Ibu harus ikhlaskan saya juga. Setelah ini, Ibu jangan merasa bersalah atas apa yang terjadi hari ini. Karena semua ini bukan salah Ibu, Ibu udah ada di jalan yang benar, makasi, ya, Bu, untuk waktu yang pernah ada."
Gista mengerutkan keningnya, tidak paham ke mana arah kalimat Dani. Bel tanda masuk telah berbunyi.
"Kita ke bawah aja, ya?"
Dani menganggukkan kepala, ikut berbalik bersama dengan Gista, tapi baru dua langkah ia langsung berputar arah dan memanjat tembok pembatas atap. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya, tapi Gista ikut berbalik arah dan langsung menyambar tangan Dani.
"Berdamai dengan dunia bukan kayak gini, Dani!" teriak Gista, tapi disaat itu tubuh Dani terjun bebas ke bawah.
Betapa terkejutnya saat mendapati tangan Gista meraih tangannya dan berat badan Dani tak mampu menahan Gista di atas, membuat wanita itu ikut jatuh bersamanya. Niat untuk mengakhiri hidup langsung berubah ketika gurunya terlibat dengan akhir hidup yang ia pilih.
Tak perlu hitungan detik, tubuh mereka terhempas secara bersamaan tepat di lapangan sekolah dan berhasil menimbulkan teriakan oleh seluruh mata yang menatap mereka.
Gista tak pernah tahu dengan takdir yang diberikan kepadanya, baginya sebuah kehidupan hanya perlu dijalani untuk meninggalkan cerita yang tak akan pernah berakhir disetiap orang yang mengenalnya. Bahkan, saat pintu kematian sedang menyambut, ia masih mempedulikan tentang siswa nya.
Sebelum terhempas, tangan Gista menahan kepala Dani agar tak terkena langsung dengan batu, tapi ia tak sadar, jika kepalanya sendiri yang langsung berbenturan dengan batu.
Teriakan masih terdengar, tapi hanya sesaat. Langit biru dan berubah menjadi abu-abu. Ada rasa sakit yang tak bisa ia tahankan, seperti ada sesuatu yang menarik keluar dari tenggorokannya. Namun, sakit itu pudar saat melihat senyuman bayi kecil di atas langit
bersamaan dengan hilangnya keributan di sekelilingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
Ficción GeneralNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...