Part 2: Permintaan Yang Tak Terduga

171 52 126
                                    

Asing yang pernah dirasakan beberapa tahun lalu kembali terasa. Oksigen di bumi ini seakan menipis, membuat dada merasakan sesak. Gista menarik napas singkat setelah mendengar permintaan laki-laki di sampingnya.

"Becanda 'kan, Bang?" Pertanyaan yang langsung dibalas dengan gelengan oleh Cakra. Laki-laki itu berniat memegang tangan Gista, tetapi pemiliknya dengan cepat menjauhkan dari Cakra.

"Nikah? Itu bukan hal yang mudah dan jangan dibawa becanda, loh, Bang."

"Aku gak becanda, kalau aku niat becanda. Kamu bakal aku ajak pacaran, bukannya nikah, Gis."

Gista mencerna kalimat dan mencoba membaca pikiran Cakra. Dia bukan laki-laki yang pernah ia kenali dulu. Gista tidak bisa menerima permintaannya. Sedangkan, saudaranya yang lain, belum ada yang menikah. Tidak ada alasan untuk menerima permintaan itu.

Gista pamit meninggalkan Cakra dengan alasan masih ada pekerjaan yang harus ia lakukan. Lagi pula, kemana wanita yang ia banggakan dulu?

Antara mereka berdua dulunya pernah saling nyaman, tetapi dalam konteks hubungan yang salah. Lucu saja mengenang hal gila di masa lalu itu. Dan sekarang meminta hubungan yang serius.

Menikah?

Gista hanya bisa tertawa di sepanjang jalan menuju rumahnya. "Gila," batinnya.

**

"Dari teori kekerasan sosial yang sudah kita bahas sebelumnya, ada beberapa te ..."

"Huaaa ..."

Seketika Gista terdiam karena suara siswa yang duduk tepat di hadapannya. Ia menguap lebar, bahkan bisa membuat rahangnya terlepas. Gista menaruh buku yang ada di tangannya di atas meja salah satu siswa yang ada di depan kelas, melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatap siswa yang memecahkan konsentrasi mengajarnya.

"Arben Saskara," panggil Gista.

Merasa namanya terpanggil ia membalas tatapan Gista dan tersenyum pada Gista sambil menyatukan kedua tangannya, lalu menguap kembali dan kali ini mulutnya langsung ia tutup dengan tangan.

"Ingat perjanjian kita?" tanya Gista dengan lembut dan langsung dibalas dengan anggukan.

"Maaf, Bu. Saya semalam gak tidur," balas Ben dengan raut wajah bersalahnya. Tatapan lugu dan waut wajah lelah terlihat membuat Gista memahaminya.

"Apa alasan kamu tidak tidur?" tanya Gista.

"Anu, Bu. Ayang gak nyuruh saya tidur." Sontak satu kelas tertawa karena jawaban yang dikatakan Ben. "Saya insomnia, Bu. Gak bisa tidur malam, jadi saya gak bisa mimpi indah seperti yang lain. Yang katanya bisa ketemu ayang di mimpi pun saya gak bisa. Kadang saya juga iri sama orang yang bisa nyanyi, in my dream you with me," sambung Ben sebelum Gista memarahinya.

Tidak ingin kegiatan mengajarnya terganggu, Gista mengizinkan Ben untuk tidur di UKS. Lagi pula ia bisa beristirahat untuk mata pelajaran selanjutnya.

"Gak mau, Bu. Di UKS gak bisa mimpi indah," tolak Ben ketika ia diberi keringanan.

"Kenapa?" tanya Gista.

"Karena Indahnya ada di sini, Bu. Bukan di UKS," tunjuknya pada salah satu siswa yang duduk di urutan ke dua sisi kanan. Semuanya kembali tertawa, namun yang ditertawakan tidak peduli sama sekali.

"Karena Indahnya udah ada di sini, jadi jangan tidur, ya? Biar ketemunya pun gak di dalam mimpi."

Ben melempar senyumnya dan menganggukkan kepala, ia mengusap wajahnya dan kembali meluruskan punggungnya.

Tepat pada jam istirahat, Gista memutuskan pergi ke ruangan bimbingan konseling. Ia belum mengenal semua guru, ditambah lagi ruangan BK yang terpisah. Tidak ada salahnya untuk menyapa.

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang