Part 8: Miliknya

63 20 42
                                    

Menjelang pernikahan, Gista tidak diizinkan mengajar. Kata mamanya, menghindari hal yang tak diduga di luar sana. Seharusnya, malam itu aku gak naik taksi, bego banget, batinnya. Mengingat kejadian malam, di mana ia bertemu dengan siswanya.

"Screening-nya lancar, Dek?" tanya Raisa sambil menaruh tasnya di atas tempat tidur Gista.

"Hooh, lancar, Kak," jawabnya sambil menganggukkan kepala. "Ngomong-ngomong nih, ya. Emang Kakak beneran gak apa-apa?"

Raisa mengacak rambut adiknya, "Gak apa-apa, nanti Kakak nyusul. Kata papa, gak baik nunda pernikahan, cuma karena Kakak. Takdir kamu udah bilang, tanggal segini, bulan segini, tahun ini, Nadira Gista Levronka menikah dengan Cakra ..." Sejenak ia berhenti, lalu memutar bola matanya. "...  siapa nama Cakra?" tanyanya pada Gista.

"Cakra Gariyan Danantya," ucap Gista sambil tersenyum.

"Nah, dengan Cakra Gariyan Danantya. Di lauhulmahfuzd kamu udah tertera semuanya. Jadi, gak ada alasan buat nolaknya, apalagi Kakak yang nantang, cuma karena Kakak yang belum nikah."

Gista tersenyum sambil menganggukkan kepala. Hatinya sudah yakin, setelah beberapa malam ini ia rutin melakukan sholat malam, meminta petunjuk dari sang Pencipta.

**

Pagi yang cerah, bahkan tidak ada awan sedikit pun. Padahal masih jam delapan, tapi panasnya membuat kulit langsung memerah. Halaman mesjid di penuhi dengan mobil pribadi yang berderet rapi. Satu persatu mereka keluar, dengan setelan baju berwarna hitam putih.

Seluruh mata terfokus pada laki-laki yang keluar dari mobil hitam keluaran Jepang. Jas putih yang membalut tubuh dan sepatu mengkilat untuk mengalas kakinya di atas tanah.

Menjalin hubungan lama, tetapi tidak ia nikahi dan malah mencari wanita lain. Cakra mengutuk dirinya, laki-laki jahat. Namun, dengan beraninya meminang wanita yang begitu baik dan hampir sempurna.

"Tidak ada salahnya mencari pasangan hidup yang lebih baik, bukan?" batinnya.

Keluarga Gista sudah berada di dalam masjid. Cakra melempar senyum saat melihat wanitanya dengan baju putih bersih, dan lihatlah wajahnya yang hanya menggunakan polesan natural, sungguh wanita tercantik yang pernah ia temui setelah sang mamanya.

Farzan dan Cakra sudah duduk berhadapan, sedangkan Gista masih berada di dekapan Prima. Akad sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga masing-masing.

Dua laki-laki yang tengah berhadapan tidak henti mengembuskan napas, sesekali Farzan melihat ke arah anaknya yang masih duduk di sebelah Prima, lalu beralih pada Cakra saat acara akan dimulai.

Gista sudah berada di sisi Cakra, pasangan yang terlihat begitu sempurna. Tampan dan cantik, bagaimana dengan anaknya nanti? Farzan kembali tersenyum, sebelum ijab kabul, ia menatap Cakra. "Nak, Cakra. Hari ini saya akan melepas anak saya kepadamu," ucapnya dan langsung ditanggapai dengan anggukan.

"Saya orang pertama yang memeluknya, bukan kamu. Saya adalah orang pertama yang menciumnya, bukan kamu. Saya orang pertama yang mencintainya, bukan kamu," ucap Farzan dengan nada suara yang bergetar. "Tapi saya harap kamu adalah orang yang bisa bersamanya selamanya. Jika suatu hari kamu tidak mencintainya lagi, jangan katakan itu kepadanya. Sebagai gantinya, katakan kepada saya. Saya akan datang dan membawanya pulang," tambahnya.

Kalimat yang membuat Gista menjatuhkan air mata. Mengingat bagaimana Farzan yang menyayanginya. Saat ia  SMA, yang menggendongnya ke kamar jika tidak sengaja tertidur di ruang tamu, yang rela menjemputnya di tengah hujan, yang selalu ada disaat ia butuh, dan orang yang tidak pernah lelah memberikan nasihat, semuanya dilakukan oleh papanya. Gista menahan isakan, masa bodo dengan make-up yang akan luntur. Ia bahkan tidak sanggup melihat Farzan yang ada di depan Cakra.

Cakra menatap mata Farzan dengan penuh keyakinan. "Saya Cakra, saya yang mengambil keputusan untuk mencintai anak Bapak, dan saya akan menjaga Gista seperti Bapak menjaganya. Hingga embusan napas terakhir, saya akan ada di sisinya."

Momen yang mengundang air mata. Bagaimana tidak, mereka harus melepaskan anak yang sudah beranjak dewasa.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Cakra Gariyan Danantya bin Adnan Ardianka dengan anak saya yang bernama Nandira Gista Levronka dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat, uang senilai lima belas juta dan tanah seluas lima belas hektar, tunai."

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nandira Gista Levronka binti Muhammad Farzan dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat, uang senilai lima belas juta dan tanah seluas lima belas hektar, tunai."

Tidak ada percobaan untuk kedua kalinya, baik dari Farzan atau pun Cakra, mereka melakukan dengan baik. Bagaimana tidak, tanpa sepengetahuan yang lain dua laki-laki itu sudah melakukan latihan di hari sebelumnya.

Setelah kata "Alhamdulillah, sah." Senyum mereka terpancar. Gista menyalami Cakra, laki-laki yang sekarang telah menjadi suaminya. Tidak pernah terpikirkan untuk menjadi pasangannya, akan tetapi takdir berkata lain.

Gista masih teringat saat Cakra berlari padanya hanya untuk membanggakan diri karena sudah memiliki pacar dan ia memilih pergi karena rasa yang tidak bisa ia pungkiri lalu Cakra menghampirinya, kembalinya yang pertama untuk singgah, dan siapa sangka kali kedua untuk menetap.

"Halo Istri," bisik Cakra pada Gista yang langsung dibalas dengan senyuman.

**

"Emang kamu gak apa-apa kayak gini?" tanya Cakra. "Gak ada tunangan, gak ada pesta," sambungnya.

Gista tersenyum, sambil menganggukkan kepala. "Gak perlu capek, duduk, berdiri terus nyalamin orang satu persatu. Lagi pula, aku gak mau tangan suami aku dipegang-pegang. Kalau mantan kamu datang, gimana? Terus dia minta peluk, gimana?"

Cakra tersenyum lalu mengecup pipi Gista, "Mulai posesif kayaknya," timpalnya.

"Kalau udah sah gini, ya, harus gitu, soalnya kamu udah jadi milik aku."

Siapa sangka, wanita yang sebelumnya terlihat biasa saja pada Cakra, sekarang memperlihatkan perasaannya. Karena rasa itu tidak pernah hilang, Gista hanya menahan diri agar terlihat tidak berlebihan, hanya itu.

Walau terasa asing, Gista berusaha untuk membiasakan diri. Sebelumnya, ia pernah berbagi kamar dengan Raisa, tapi tidak dengan lawan jenis. Ditambah lagi Cakra selalu mengecup pipinya dan sesekali bibir Gista.

"Jangan malam ini, ya?"

Cakra tersenyum sambil mengacak rambut Gista, "Dih, PD banget, yang mau ngajak siapa, hm?" Seketika pipi wanita itu memerah, ia pikir semua laki-laki akan melakukannya di malam pertama.

"Emang kamu gak mau?" tanya Gista asal.

"Kamu mau? Kalau aku mau aja, sih. Gak nolak," bisik Cakra.

Gista langsung menatap mata Cakra, memohon jika tidak malam ini. Karena ada rasa takut dan belum siap. Lalu berujung dengan tawa suaminya.

"Gak sayang, sekarang kita tidur. Besok kita harus rapiin rumah, 'kan?"

**






Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang