Langit mulai bertukar warna, jalanan penuh dengan sinar yang terpancar dari depan mobil atau motor yang ada di sana. Suasana yang mengingatkan Cakra saat memastikan hati Gista untuk menikah dengannya.
Laki-laki itu tidak mengambil rute yang menuju langsung ke rumahnya, malah melibatkan diri dalam kemacetan yang tak berujung dan entah sampai kapan. Sesekali ia berdeham, tetapi Gista tetap bungkam. Ia tahu wanitanya tengah mendumal di dalam hati dan benar saja, dari tadi Gista tak henti menggertakkan giginya, padahal sebelumnya Cakra memperbolehkan untuk tinggal di rumah mamanya sementara waktu.
"Kalau mau marah, ya, marah aja. Tapi jangan jauhan," ucap Cakra tenang. "Kalau jauh-jauh kapan mau baikan," sambungnya lagi.
Gista masih tak menjawab, ia memalingkan wajahnya keluar, menatap pengemudi lain. Cakra langsung menaikkan kaca mobil yang ada di samping Gista membuat wanita itu berdecak kesal.
"Kamu egois."
"Iya, aku egois," balas Cakra langsung.
"Kamu berlebihan banget cemburunya!" rutuk Gista lagi.
"Iya, cemburu aku berlebihan," jawab Cakra.
"Ihh!" Gista begitu kesal karena sikap Cakra yang begitu tenang.
"Aku minta maaf," sambung Cakra. "Aku memang cemburuan, karena aku sayang. Aku marah, karena aku takut kamu kenapa-kenapa. Tugas aku jagain kamu, kamu tanggung jawab aku. Hidup kamu hidup aku."
"Kalau aku tiba-tiba meninggal gimana?" Gista melontarkan pertanyaan yang membuat Cakra terdiam. "Jangan mikir aneh, kan kalau, kamu bakal nyari yang baru atau gimana? Dengan usia kamu yang masih dibilang muda 'kan," sambungnya.
Cakra mengetuk jarinya pada kendali setir, memikirkan jawaban yang belum pasti. "Gimana, ya, kata papa laki-laki gak bisa sendiri," balasnya sambil melirik Gista yang mengangguk karena responnya.
"Berarti ada kemungkinan balik sama Ara?"
"Dia udah ada keluarga dan mungkin sekarang udah punya anak," jawab Cakra sambil tersenyum, tetapi membuat Gista terdiam. "Hubungan kami berakhir karena dia ngandung untungnya bukan anak aku. Karena aku sadar, aku gak pernah lakuin itu sama dia."
"Tapi, kamu gak ada bilang sama keluarga kamu tentang itu?" tanya Gista.
Cakra menggelengkan kepalanya, karena itu adalah aib bagi Ara. Walau wanita itu sudah menyakitinya, tapi tetap saja dia pernah menjadi wanita yang berharga di dalam hidup Cakra.
Gista mengusap hidungnya sesekali, ia begitu beruntung mendapatkan suami sebaik Cakra, tapi sekarang ia malah mencari cara untuk bertengkar dengan laki-laki itu. Seketika, Gista melontarkan kata maaf, dengan penuh penyesalan, dia tidak akan melepaskan Cakra karena hal sepele.
"Gak usah saling nyalahin, mending kita baikan." Cakra menaikkan alisnya sambil tersenyum. "Pesona Abang Cakra-mu ini memang tinggi, jadi gak bisa lama-lama ambekannya," ucapnya dengan percaya diri.
"Heleh, kamu yang gak bisa lama-lama aku diemin."
"Emang," balas Cakra langsung.
Perseteruan sudah berganti dengan tawa, tetapi langsung berganti dengan suasana yang agak berbeda saat Gista menyebutkan nama Dani.
"Mau cemburuan dulu atau dengerin cerita aku?"
Cakra berdecak kesal, seharusnya mereka berbaikan saat sudah di kamar agar bisa menghentikan kalimat Gista yang terus bercerita tentang siswanya.
"Dengerin dulu," ujar Gista.
"Aku dengerin, tapi kamu harus janji bakal ambil libur buat kita liburan keluar? Janji, loh," tunjuk Cakra.
"Kamu pikir sekolahan punya kamu, yang bisa izin terus gitu, udah berapa kali coba aku libur?" Cakra tak mengacuhkannya, lebih baik menatap deretan mobil yang ada di depan. "Ya udah, iya, tapi dengerin aku. Walau nanti kamu bakal marah," sambung Gista dengan nada pelan.
Mendengarkan ada orang lain yang menyukai istrinya membuat Cakra begitu geram, apalagi status laki-laki itu adalah siswa Gista.
"Jelas banget kurang perhatiannya, ada yang perhatian dikit aja, langsung suka. Gak sadar umur dia," dumal Cakra sambil melajukan mobilnya pelan. "Emang gak ada gitu cewek di luar sana selain istri gue," sambungnya lagi.
Gista membiarkan Cakra mengatakan apa yang ada di dalam hatinya dan setelah diam ia pun ikut mengasihani jalan hidup Dani.
"Percuma harta bejibun, tapi gak dapat kasih sayang. Semoga dia dapet wanita lain yang tepat, dah. Karena yang tepat menurut dia, sudah jadi hak milik aku," ucap Cakra sambil mengusap rambut Gista.
**
Gista pikir, setelah hari itu semua siswanya akan baik-baik saja, tetapi ia salah. Hanya Ben dan Belva yang dia temukan di rooftop sekolah.
"Dani udah tau, Bu," ucap Ben. "Sore itu, dia balik ke rumah Ibu, tapi dia ngeliat suami Ibu dan keluarga Ibu yang ngusap perut Ibu," sambungnya sambil tersenyum.
"Kayaknya dia patah hati." Belva ikut menimpali dan mengusap perut Gista. "Adek kecil baik-baik di sana, ya, kamu pasti bakal bersyukur punya mama kayak bu Gista, gak sama kayak Kakak, yang tega bunuh manusia gak berdosa di dalam sini," ucapnya sambil menunjuk ke arah perutnya sendiri.
Ben mengalihkan pandangannya, sedangkan Gista langsung mengusap bahu Belva. Perhatian mereka teralihkan saat seorang keluar dari ruangan yang sering mereka jadikan tempat untuk berkumpul dulunya. Padahal, belum sampai lima menit mereka kembali dari ruangan yang sama, tapi tidak menemukan siapa-siapa.
Raut wajah Dani yang terlihat kusut dan gusar, tatapannya berubah jadi datar saat melihat Gista berdiri tidak jauh darinya apalagi tangan Belva yang mengarah ke perut wanita itu. Sambil mengusap rambut, ia tersenyum.
"Enak, ya, mainin perasaan orang?" tanya Dani yang jelas tertuju untuk Gista, baru satu langkah Gista maju, Ben berjalan lebih dulu dan berdiri di depan gurunya itu.
"Siapa yang mainin? Gue pikir Bu Gista gak pernah ngelakuin itu, lo aja yang berlebihan," ujarnya. "Seharusnya lo yang sadar, dari awal kita ketemu Bu Gista di kafe sama siapa? Yang ngobrol sama kita bahas mobil itu siapa? Seharusnya lo nyadar dari sana, mobil yang ngantar tiap pagi, kenapa otak lo gak mikir ke sana?" tanya Ben, kali ini ia tidak terima jika Dani menyalahkan Gista untuk perasaannya.
"Hoo, jadi kalian udah tau dari awal? Kecuali gue?" tunjuk Dani tepat di depan dadanya, lalu menganggukkan kepala. "Dari dulu, gue emang gak pernah dianggap, gak pernah ada yang peduli sama gue," sambungnya.
Gista menggelengkan kepala. "Ibu kayak gini, karena Ibu anggap kamu. Ini udah jadi tujuan Ibu sebagai guru kalian, ada disaat dia butuh. Kamu butuh Ibu, Tuhan ngirim Ibu ke sini karena Dia masih sayang kamu, Dan. Kalau gak, kita gak akan pernah ketemu. Semua ini jalan Tuhan yang dia kasih ke kamu."
"Iya jalan Tuhan, tapi apa Dia benar pihak saya? Buktinya, disaat saya menemukan titik bahagia, tapi Dia ngambilnya lagi. Di mana letak sayangnya!" teriak Dani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
General FictionNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...