Part 10: Powerangers

49 16 31
                                    

Gista mengembuskan napas singkat dan meluruskan punggungnya. Mencoba tidak memperlihatkan tatapan menyedihkan atas kisah yang mereka dapati, karena semua yang mereka rasakan tentu tidak dirasakan olehnya. Mereka jauh berbeda, ia memiliki keluarga yang perhatian padanya.

"Kami juga pengen dapat kasih sayang dari orang tua, Bu. Kami pengen diperhatiin juga," ucap Resta. "Tapi, kalau yang malam itu Ibu aduin ke sekolah, gak apa-apa juga. Kapan lagi orang tua kami datang ke sekolah, selain untuk memamerkan uang yang akan mereka donasikan."

"Dan Ibu tau, kenapa apa yang kami lakuin di luar sana gak pernah diketahui sama sekolah? Itu karena orang tua kami yang ngurus semuanya, kalau gak gitu mereka gak bakal lirik kami." Belva tersenyum, tetapi senyuman yang menyedihkan.

"Tapi, kalian nyakitin orang yang gak bersalah," ucap Gista dengan nada yang tegas. Cara mereka salah.

"Kita emang nyakitin orang yang gak salah, tapi setelah itu keluarga kami ngasih uang banyak sama mereka. Seenggaknya, karena kami, papa atau mama ingat caranya untuk bersedekah," jelas Ben.

Gista mengusap wajahnya pelan, menarik napas dalam dan melepaskannya perlahan, lalu menggelengkan kepala.

"Kalian ngerti gak? Semuanya salah, salah." Gista menekankan pada empat remaja yang ada di depannya.

"Iyakah?" tanya Dani. "Tapi keluarga kami juga gitu, mereka bakal nyiksa orang yang gak mampu, setelah diinjak-injak mereka bakal ngulurin tangan, dan yang disiksa tadi seakan mendapat pertolongan, lalu mereka bakal anggap keluarga kami penolong mereka, jadi tidak salah kami tumbuh seperti ini."

Gista memutar bola matanya, lalu tersenyum dan kembali menatap mereka. "Kalian percaya, kalau guru adalah orang yang akan ngajarin kalian sesuatu hal yang benar?" tanya Gista. Serentak mereka menganggukkan kepala.

"Mangkanya kami disekolahin, karena di rumah kami gak pernah diajarin sesuatu hal yang benar," timpal Belva.

"Kalian mau Ibu ajarin beberapa hal yang benar dan kebenarannya diakui sama semua manusia yang ada di bumi?" tanya Gista. Namun, tidak ada jawaban atas pertayaan itu, "Jadi, kalian tetap mau ngelakuin hal yang benar di mata kalian, tapi tidak benar di mata dunia?" tanya Gista kembali.

Dani mengusap lehernya, lalu menahan kepala dengan tangannya yang bertumpu pada meja. "Gak semua orang bisa berubah gitu aja, Bu. Apalagi berubah dari lingkungan tempat mereka tumbuh dan tinggal setiap harinya."

"Apalagi kami bukan powerangers yang bisa berubah kapan saja, saat ada monster yang menyerang," timpal Ben untuk memecahkan keseriusan di antara mereka.

"Kalian sadar gak, kalau sekarang kalian adalah monster-nya, dan Ibu pengen ngubah kalian buat jadi powerangers-nya, bisa, kan?"

Refleks, Dani tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Gista. Bagaimana bisa, seorang guru mengatakan kalimat itu pada muridnya yang jelas bukan anak sekolah dasar lagi. "Ibu mau kami menjadi penegak kebenaran dan keadilan?" tanya Dani, matanya tidak henti menatap Gista sejak tadi. "Kami jelas gak bisa, Bu."

Seketika, tatapan Dani teralihkan saat pintu kelas terbuka dan terlihat laki-laki yang menyebalkan di dalam hidup Dani. Ivan, guru seni budaya yang sangat tertarik dengan kehidupan pribadinya.

"Ada apa, ya, di sini?" tanyanya membuat Gista kebingungan, ia datang seperti sudah dekat sebelumnya.

Ben bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah ke arah Gista dan menyalaminya. "Makasi, Bu. Buat pelajaran tambahan hari ini," ucapnya lalu tersenyum singkat pada Ivan saat melewatinya.

Resta dan Belva mengikuti Ben, tetapi mereka mengabaikan tangan Ivan yang meminta untuk disalami.

"Bapak pengen tau apa yang kami pelajari?" tanya Dani sambil bangkit dari tempat duduknya. "Dijelasin pun, gak ada untungnya buat pelajaran Seni Budaya," sambung Dani, lalu menyalami tangan Gista.

"Duluan, Bu. Udah sore, Ibu langsung pulang aja," ujar Dani dan di akhiri dengan senyuman.

**

"Murid aku pada ghibahin aku gak, ya?" tanya Gista pada Cakra setelah ia menceritakan apa yang terjadi hari ini di sekolah sambil memeriksa beberapa latihan milik siswanya.

"Bagus dong," balas Cakra tanpa menoleh sedikit pun.

"Ih, kok, bagus!" lirik Gista kesal.

"Biar kamu banyak pahala. Lumayan, ladang amal." Satu pukulan mendarat di bahu Cakra, padahal tidak terlalu kuat. Namun, ponsel yang tadinya berada di tangan jatuh ke lantai.

"Aaa, sakit, Ay!" rintih Cakra sambil melemahkan tangannya. "Nah, lihat. Patah tanganku," sambungnya.

"Cih, alay." Gista mendorong tangan Cakra dan membuatnya kembali meringis. Alhasil Gista dibuat panik. "Eh, beneran, ya?" tanyanya sambil menaruh buku yang ada di tangannya dan beralih pada tangan Cakra.

"Umumu, kasihannya, tangan suami aku patah," ujar Gista sambil mengusap lengan Cakra. Ia tahu pasti jika hanya sebuah drama lama yang sering dilakukan Cakra dulu padanya.

Seulas senyum terpancar saat itu juga Cakra mengecup puncak kepala sang istri. "Makasi, ya udah nerima aku," bisiknya.

"Ya, jodoh gak ada yang tau, sih. Anggap aja mantanmu waktu itu jagain jodoh aku," balasnya dengan sombong.

Beberapa tahun yang lalu tepat di bulan November. Sepasang manusia tengah menikmati satu mangkok mie rebus panas yang berisikan dua porsi.

"Haa, panas." Cakra mendongakkan kepalanya sambil membuka mulut karena mie yang masuk ke dalam mulutnya. Dan di detik selanjutnya, ia kembali memasukkan satu sendok mie ke dalam mulutnya.

"Iih, Abang! Gista belum makan, loh, dari tadi," rutuk Gista melihat Cakra yang melahap mie dengan cepat.

Laki-laki itu mengabaikannya. Saat satu suapan yang masuk ke dalam mulut Gista, tapi Cakra sudah tiga kali suapan. Reflek ia mendorong Cakra hingga terjatuh dari tempat duduknya.

"Aaa, Gista! Sakit, loh," protes Cakra. Masa bodo untuk Gista, ia memilih fokus dengan mie yang ada di depan mata. Satu detik, dua detik, hingga detik kelima Cakra masih berada di bawah.

"Ngapain begitu?" lirik Gista.

"Tangan Abang gak bisa digerakin," rintihnya membuat Gista panik sekaligus merasa bersalah. Tidak peduli lagi dengan mie yang mulai dingin, fokusnya beralih pada Cakra. Berkali-kali ia melontarkan kata maaf karena terlalu kasar.

"Maaf, Bang," ucap Gista sambil menggigit bibir bawahnya.

Satu sisi Cakra tidak sanggup menahan tawa, ia pun menyingkirkan tangan Gista dari lengannya. "Awas dulu, biar Abang obatin sendiri," ujarnya.

"Emang bisa?" tanya Gista.

Tidak ada jawaban atas pertanyaannya. Cakra memijat tangannya dari bahu hingga telapak tangan dan meniupnya, membuat Gista keheranan. "Fuuaah!" Ia pun melirik wanita yang ada di sampingnya, lalu dengan gerakan cepat Cakra menarik mangkok yang masih berisikan mie, dan melahapnya.

"Abang!" teriak Gista tak terima karena Cakra berhasil membohonginya hanya untuk mengambil mie mereka.

**

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang