35: Sebuah Pelukan

18 7 30
                                    

Masih menyisakan rintik hujan, Gista pergi dengan Ben ke tempat Dani berada, untung saja salah satu temannya lekas mengabari Ben. Ivna melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh dan sesekali menyalakan klakson mobilnya menyuruh orang-orang menghindar. Seakan ada yang akan sekarat, tapi jika mendengar kabar yang disampaikan Ben, Dani bisa saja sekarat dalam waktu singkat.

"Bapak nanti jangan keluar, ya. Dani gak suka sama Bapak soalnya," ucap Ben dengan hati-hati.

Laki-laki itu tersenyum tipis, "Kalau ada apa-apa langsung ke mobil saya saja," jawabnya.

Masuk ke permukiman yang sangat kumuh, kiri dan kanannya tlihat sampah yang berserakan. Sekuat tenaga Gista menahan bau itu agar isi perutnya tak keluar, padahal Ivan telah menaikkan kaca mobil.

"Kalian sering ke sini?" tanya Ivan pada Ben.

"Ya, begitu. Soalnya, daerah di sini belum ada polisi yang tau," jawab Ben santai.

"Berapa banyak miras yang udah kalian minum?"

"Gak kami hitung, Pak."

"Per--"

"Jangan banyak tanya, Pak. Bau di sini," timpal Belva membuat Ivan langsung terdiam. Gista langsung menatap Belva, kata itu tak pantas dilontarkan oleh seorang murid kepada gurunya. "Saya salah, Pak, maaf," ucapnya pelan.

Ivan tersenyum sambil menganggukkan kepala lalu melirik Gista yang ikut tersenyum. Wanita itu jelas berbeda dari yang lain, pantas saja banyak yang menyukainya.

Sisa hujan membuat bau itu semakin terasa, Ivan mempercepat lajunya saat Ben mengatakannya tak jauh lagi. Betapa kagetnya Gista dan Ivan mendapati sebuah gedung yang terbangun megah di hadapannya, bak istana di dalam hutan. Sebelum masuk ke dalam, Ben menghubungi salah satu temannya dan memberikan Gita jaket untuk menutup baju dinas yang ia gunakan.

"Saya gak apa-apa di sini?" tanya Ivan.

"Kita di sini aja, Pak. Biar Bu Gista sama Belva yang ke dalam," ujar Ben. "Ibu pergi sama dia, ya," tunjuk Ben pada laki-laki yang berjalan ke arah mobilnya.

Gista takut apa yang yang terjadi dengan Dani, hingga membuat mereka langsung menghubungi Ben.

"Gue gak mau tau, intinya apapun yang terjadi di dalam, lo harus jagain mereka," ucap Ben pada laki-laki berkulit putih dan mancung itu. Kenapa banyak manusia tampan yang harus masuk ke dalam dunia bebas seperti itu.

Gista berjalan mengikuti laki-laki yang terlihat akrab dengan Belva, bahkan ia mengatakan jika butuh sesuatu, bisa langsung menghubunginya. Di dalam hati Gista terus meminta maaf, sebuah permohonan yang ditujukan untuk Cakra.

"Maafkan istrimu yang durhaka ini, untuk kesekian kalinya gak minta izin lebih dulu," batinnya.

Baru satu langkah masuk ke dalam pintu, aroma alkohol dan asap rokok masuk secara bersamaan ke dalam hidung. Walau hanya berisikan beberapa orang saja, tapi bau ruangan itu terasa kuat.

"Langsung ke sini, Kak," ucap laki-laki yang memimpin jalan menuju lantai dua.

Gista memandangi seluruh ruangan, seumur hidup, ini kali pertama ia mengunjungi sebuah club malam. Langkahnya terhenti saat Belva memamtung di ujung tangga, meliha temannya terkapar tak berdaya. Memang bukan pertama kalinya Dani seperti itu, tapi kali ini terlihat lebih parah.

Belva memberi jalan untuk Gista dan refleks wanita itu berlari menuju ke arah Dani dan merebut botol kaca yang ia arahkan ke dalam mulutnya.

"Ini gak bener, Dan!" teriak Gista.

Dani mengalihkan tatapannya pada Gista, kdua matanya memerah. Sekuat tenaga Gista menahan bau alkohol yang kuat dari depannya. Laki-laki itu tersenyum sambil berusaha berdiri, tetapi ia tak bisa dan kembali jatuh ke lantai, pergerakan yang terlalu cept membuat Gista tak bisa meraih tangannya.

Tanpa disuruh, Belva duduk menahan tubuh Dani agar tidak bergerak semaunya.

"T-terus ... yang bagus menurut Ibu ... apa?" tanya Dani tak jelas.

Gista meraih tangan Dani tak sengaja ia melihat bekas sayatan di lengannya. "Kita nunggu dia sadar gimana?" tanya Gista. "Emang gak ada, ya, buat hilangin mabuk? Soalnya Ibu gak bisa pulang malam karena belum izin sama suami," sambungnya.

Belva menatap ke arah temannya, tentu ada minuman untuk penawar rasa mabuk, tapi mereka takut memberikannya kepada Dani.

"Bilang, Ibu yang minta. Lagian pas sadar, Ibu yang akan langsung ngomong sama dia," jelas Gista.

Dani dibawa ke dalam salah satu kamar, tubuhnya disuntikkan beberapa cairan. Melihat tangan Dani yang tidak mulus seperti tangan yang lain membuatnya meringis.

"Dia makai narkoba juga?" tanya Gista.

Lama Belva untuk mengatakan iya, karena bukan Dani saja, melainkan ia juga pemakai. Gista tak tau harus berkata apa lagi.

"Cuma hal yang kayak gitu, Bu, yang bisa nenangin kami, apalagi Dani. Mungkin, kami udah gak pantas disebut manusia lagi dan kalau pun harus diproses pihak polisi, nama kami bakal langsung kena," jelas Belva sambil menunduk, karena temannya terus melemparkan tatapan tajam padanya.

Gista mengusap wajahnya, "Kalian bisa direhabilitasi, semuanya ada jalan, kalau kita mau usaha."

**

Sepasang mata masih terlihat memerah, tetapi laki-laki yang ada di depannya jelas sudah sadar dari mabuknya. Sekarang, hanya Gista dan Dani yang ada di ruangan itu.

"Kenapa Ibu ke sini?" tanyanya tanpa menatap Gista.

"Apa yang bikin kamu kayak gini?" Wanita itu balik bertanya.

"Udah saya bilang, kan, saya gak punya tujuan lagi. Apa lagi yang haus saya perjuangkan kalau memperjuangkan Ibu gak bisa. Gak ada lagi, Bu," jelasnya.

"Tujuan itu buat diri kamu sendiri, bukan buat orang lain. Lagi pula, banyak wanita di luar sana, gak harus Ibu, Dan. Kamu hanya aperl buka mata lebih lebar lagi."

"Selebar apa, Bu? Gak ada sejauh ini!" teriaknya.

"Karena kamu masih kecil, kamu belum dewasa, kamu belum kenal dunia lebih jauh."

Dani tersenyum miring. "Seberapa lagi saya harus dewasa? Kalau belum dewasa saya gak bakal berani jatuh cinta sama Ibu."

Gista menggelengkan kepala. "Hidup gak melulu tentang cinta, masih ada hal lain, Dan. Pikiran kamu saja masih tentang itu, tandanya kamu belum tumbuh dewasa." Ia pun menatap Dani dalam. "Sekarang kamu gak perlu mikirin cinta-cinta. Butuh kasih sayang? Ibu bakal jadi sosok kakak, atau sosok Ibu buat kamu. Sayang atau cinta itu, punya posisi masing-masing," jelas Gista.

"Saya capek, Bu!" teriaknya. "Saya tau, masih banyak di luar sana yang lebih berat dari ini, tapi saya gak bisa! Apalagi?! Ada yang bikin saya bangkit, malah gak bisa selalu di sisi saya! Saya gak bisa! Ngomong emang mudah, tapi Ibu gak pernah rasain apa yang ada di sini," tunjuk Dani tepat di depan dadanya.

Gista mengangguk paham, memang dia tak akan bisa merasakan semua itu. Perlahan isakan keluar dari mulutnya lalu tubuhnya terjatuh ke lantai, tak bisa menahan tubuhnya lagi.

"Aaa!" teriaknya.

Tak kuasa mendengar tangisan itu, Gista menarik Dani ke dalam pelukannya, hanya hitungan detik, tangis laki-laki itu semakin pecah, batinnya seakan memang tak sanggup lagi dengan hidup yang dijalaninya.

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang