Part 11: Satu persatu

38 12 28
                                    

Tidak satu pun buku yang dinilai Gista, dan itu karena Cakra yang tak henti mengganggunya. "Jangan marah kalau aku begadang," rutuk Gista lalu mengabaikan Cakra. Bagaimana tidak kesal, baju Gista ia ikatkan dengan tali plastik sehingga membentuk ekor panjang saat ia berjalan.

"Lah, hubungannya?" tanya Cakra disisa tawanya.

"Gara-gara kamu, nih. Belum ada yang aku periksa loh," protes Gista sambil menarik tali pada bajunya.

"Ya ... iya ...  ya, aku bantu sini." Cakra menarik buku salah satu siswa Gista. Bukannya menolong, yang ia lakukan malah memprotes tulisan setiap siswa yang ada di dalam buku. Dan akhirnya, hanya Gista yang menilai. Lagi pula, Cakra tidak tahu harus diapakan buku itu.

Lelah memperhatikan satu persatu buku, Cakra menutup lembarannya dan menggabungkan dengan yang lain. Dari pada memperhatikan buku yang sama sekali tidak ia pahami, lebih baik melihat kecantikan istrinya. Sesekali Cakra pun menaikkan gagang kaca mata Gista yang turun, bahkan memperbaiki punggung Gista.

"Gak bagus, nanti bungkuk kayak nenek-nenek," timpal Cakra. Jam terus berputar, mata Cakra belum baralih sedikit pun. "Dek, kalau waktu itu aku milih kamu, mungkin kita gak harus  ngenali satu sama lain lagi, ya?" tanya Cakra, namun lawannya hanya tersenyum.

Mata Gista masih memperhatikan setiap lembar halaman buku, sekilas ia melihat pada Cakra, "Kalau dulu kamu milih aku, mungkin aku udah jadi korban buaya," timpal Gista.

Masih teringat jelas dalam memori Gista, bagaimana sikap Cakra dulu yang ia kenal.

"Adek!" teriak laki-laki dengan almamter kampus yang masih melekat di badannya. "Dek, dek!" Cakra menarik ujung baju Gista.

"Abang ketemu cewek cantik, beuh. Kayak bidadari surga banget," ucap Cakra sambil memejamkan matanya membayangkan wanita yang ia lihat di depan kampus.

"Emang Abang pernah lihat bidadri surga?" tanya Gista yang langsung dibalas dengan senyum lebar dan gelengan kepala.

Serentak mereka tertawa setelah bertukar tatap, lalu Cakra pamit undur diri pada Gista.

"Abang dari depan ke kelas adek, cuma mau bilang itu?" tanya Gista.

Cakra tersenyum dan menganggukkan kepala, ia mengusap kepala Gista dan pergi dari depan gedung Fakultas Ilmu Sosial.

Selang beberapa hari, hal yang sama dilakukannya kembali. Laki-laki yang tidak tahan melihat wanita cantik. Salah bagi Gista menaruh rasa padanya, dia tidak setia. Dan mirisnya, keberadaan Gista tak pernah dianggap nyata.

Yang Gista lakukan, hanya mengiyakan dan ikut bahagia dengan apa yang dirasakan Cakra. Termasuk saat ia menerima ajakan wanita cantik, untuk menjadi pacarnya.

**

"Udah, ya? Kerjanya lanjut besok, hm?" Cakra menahan tangan Gista, tapi Gista tak mengacuhkannya sama sekali membuat Cakra kesal.

"Ay," panggil Cakra. Tidak ada jawaban dari panggilannya, "Ay," panggil Cakra lagi."

"Hm?" gumam Gista.

Dan panggilan ketiga, ia masih tidak diperdulikan. Hingga kesabarannya pun habis, Cakra menutup buku yang ada di tangan Gista lalu mendekatkan wajahnya. Mata mereka beradu, membuat Gista menahan napas. Ketampanannya tidak bisa ia pungkiri. Tangan Cakra melepas kaca mata yang bertengger di batang hidung Gista.

"Kalau disuruh berhenti, ya, berhenti. Dosa bantah perintah suami," ucap Cakra dengan nada pelan.

Gista masih terdiam dan tanpa ia sadari Gista menggit bibir bawahnya membuat Cakra tersenyum.

"Kamu ngode?" tanya Cakra lalu mengecup singkat bibir Gista.

Gista langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Gak kok," sanggahnya.

"Bener?" tanya Cakra sambil tersenyum dan mengalungkan tangan Gista pada lehernya. "Tapi aku lagi mau," bisiknya.

Tanpa persetujuan Gista, Cakra langsung mecium bibir wanita yang ada di depannya dan melumat pelan sambil menikmati bibir Gista. Waktu yang tepat, pada malam yang ditemani ribuan bintang di langit kelam, dua insan tengah bertukar kasih sayang.

Namun, semesta seakan belum mengizinkan. Saat mereka hampir terhipnotis dengan indahnya cinta. Suara bel terdengar dari arah pintu.

"Aish! Siapa sih?!" kesal Cakra saat ciuman mereka terlepas.

Gista malah tersenyum sambil mengusap lehernya. "Aku yang buka atau kamu?"

"Buka apa? Baju kamu?"

Tangan Gista langsung mendarat di bahu Cakra.  "Buka pintunya lah," ucap Gista sambil tertawa.

Masih dengan raut kesal, Cakra berjalan menuju pintu. Sedangkan, Gista kembali membuka buku siswanya setelah terjeda beberapa saat. Namun, baru satu baris yang ia baca, suara yang tidak asing membuat Gista berhenti dan menatap ke arah pintu. Sontak, ia langsung berdiri dan menyalami kedua orang tua Cakra.

"Kalian ngapain ke sini?" tanya Cakra.

Adik Cakra pun muncul dari belakang orang tuanya, Gista melempar pandangan pada Cakra. Kenapa mereka datang tanpa mengabari sedikit pun.

"Gak ada, kami cuma pengen tau gimana kehidupan kalian," ucap Adnan tanpa memperdulikan Gista dan masuk begitu saja ke dalam rumah.

**

Sepanjang perjalanan dari rumah hingga sekolah, Gista hanya diam.

"Nanti aku coba ngomong sama mereka, maaf ya?" mohon Cakra pada Gista.

Gista menarik napas dan menganggukkan kepala. Baginya tidak masalah, jika orang tua Cakra mengunjungi rumahnya. Namun, yang membuatnya kesal karena mama dan adik Cakra yang terus mengomentari apa yang dilakukan oleh Gista.

"Masa di kulkasnya cuma ada ini, terus kamu masakin bang Cakra apa? Telur setiap hari?" tanya Melody pagi tadi.

"Pasarnya dekat kok, Ma. Mending beli di pasar langsung, biar segar. Dari pada disimpan di kulkas," balas Gista, tetapi mendapat cemooh dari keduanya.

"Bilang aja males."

Bahkan Gista pun sudah bangun lebih awal, pergi ke pasar dan menyiapakan makanan untuk orang tua Cakra. Namun, tetap saja telinganya menerima asupan pagi yang tidak biasa ia dengar.

"Keliatan banget gak bisa apa-apa, cuma masak ini aja?" tanya Adnan sambil menunjuk masakan Gista. Padahal, sudah banyak jenis makanan yang ada di depan matanya.

Setelah menyalami Cakra, Gista turun dari mobil. Bahkan tidak ada kecupan pagi yang selalu diberikan oleh Gista. Baru saja keluar dari mobil, raut wajah Gista yang terlihat banyak pikiran langsung berubah cerah saat tersenyum pada beberapa siswa yang melewatinya dan beberapa guru lainnya.

"Gis," panggil seseorang dari belakang, dan itu Fariza bersama Vina jalan bersamaan.

Senyuman kembali ia lempar dan menunggu dua guru itu datang padanya lalu berjalan bersamaan menuju ruangan guru. Basa basi tentang bagaimana malamnya, apakah tidur nyenyak atau tidak dibalas dengan kebohongan dan senyum palsu yang terpampang.

"Sama sekali tidak, bahkan aku tidak bisa untuk tidur nyenyak malam tadi," batin Gista.

Belum sempat duduk, di kursinya nama Gista terpanggil dari ruangan kepala sekolah.

Ada apa lagi?

Bukan panggilan seorang paman dengan ponakan, melainkan panggilan atasan pada bawahannya.

***





Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang