Bukannya menanggapi, Dani undur diri setelah melihat jam yang melingkar di tangannya. "Udah mau malam, Bu. Kayaknya Ibu belum masak, mending Ibu pulang lebih dulu," ujarnya sebelum pamit.
Gista kembali membatin, seharusnya ia yang mengatakan itu pada siswanya, bukan siswa yang mengatakan itu padanya.
Baru saja sampai rumah, suasana terasa sangat canggung, entah apa yang terjadi. Gista menarik ujung baju Cakra, "Bantu angkat barang, dong. Berat," bisiknya.
Dasar wanita, padahal jika Dani tidak menolongnya di pasar ia bisa membawanya sendiri hingga mobil.
"Kenapa sebanyak ini? Dari dalam pasar kamu bawa semua ini?" tanya Cakra tidak percaya.
"Gak kok, tadi bolak balik bawa barangnya ke mobil," jawab Gista bohong sambil tersenyum, satu sisi ia ingin terlihat lemah agar perhatian Cakra bisa tertuju padanya, walau sebenarnya barang itu tidak lah berat. "Kenapa?" tanya Gista sambil menunjuk ke arah rumah.
"Ya, katanya kamu diomelin, aku tanyalah kenapa mereka omelin kamu. Tapi, udah selesai, kamu gak bakal diomelin kalau gak bandel," jawab Cakra.
Gista pun tersenyum lebar dan menganggukkan kepala, tetapi masih kaku saat berpapasan dengan Regina dan Melody di pintu dapur. Tadinya ia berpikir jika mereka akan membaik seperti yang dikatakan Cakra, tapi melihat cara mereka menatap sepertinya belum ada yang berubah.
"Mandi, Gis!"
"Tapi, ini belum disusun, nanti dulu, ya."
Cakra menatap tajam istrinya lalu mengembuskan napas. "Dy!" teriak Cakra. "Susun barang ini di kulkas, kakakmu belum mandi dari tadi. Sekalian masak buat makan malam, Abang pengen makan masakan kamu," ujarnya pada Melody.
"Lah, Bang. Kenapa Melody? Kakak 'kan ada," protesnya.
"Kamu gak liat kakakmu? Pulang sekolah beres-beres, ke pasar dan belum mandi pun."
Gista menarik tangan Cakra, "Gak apa-apa, biar aku aja yang masak. Mandi bisa nanti," ujar Gista.
"Mandi," titah Cakra. "Inget, istri gak boleh bantah perintah suami, loh."
Gista tersenyum sambil menggelengkan kepala dan beralalu dari dapur. Sedangkan, Melody terpaksa melakukan perintah abangnya dengan ancaman potongan uang jajan. Walau pun sudah menikah, Cakra tidak lupa dengan tanggung jawabnya. Ia masih membiayai adiknya, bahkan memberi uang saku untuk Regina, meskipun wanita itu bukanlah mama kandungnya.
Biasanya awal menikah, anak yang tinggal di rumah orang tua. Namun, berbanding terbalik dengan apa yang Gista rasakan di awal pernikahannya. Orang tua suaminya yang tinggal bersama mereka. Akan tetapi, Gista tidak bisa protes, karena untuk laki-laki jika mengabaikan atau menelantarkan orang tua, dosa besar baginya.
Tidak ada suara kecuali bunyi sendok yang beradu dengan piring di meja makan.
"Kal—"
Adnan tidak jadi bersuara karena ada panggilan masuk dari ponsel milik Gista, ia bergegas berjalan ke dekat televisi tempat ponselnya berada setelah meminta izin pada suami dan mertuanya.
"Halo, Om? Kenapa? Tumben banget nelfon malam begini?" tanya Gista saat mendapati nama Yongki yang tertera di layar ponselnya.
Gista terperangah setelah mendengar kabar yang disampaikan oleh Yongki, tangannya bergetar, padahal belum beberapa jam ia dari pasar dan sekarang terdengar kabar seseorang bunuh diri di tempat itu dan itu salah satu murid di tempatnya mengajar.
Makan malam tidak bisa dilanjutkan dan ternyata di luar rumah semua tetangganya sudah heboh karena berita menyebar dengan sangat cepat. Gista ditemani oleh Cakra langsung menuju ke pasar memastikan apakah benar murid SMA 2 Bung Hatta atau tidak dan didapati Gista langsung terduduk melihat wajah siswa itu—Andre. Laki-laki yang pernah pulang bersamanya.
Terlintas di dalam benaknya, apakah ada hubungannya dengan Dani? Tapi, bukankah mereka sudah melunasi biaya rumah sakit mamanya Andre.
"Di dunia ini gak ada yang gratis, Bu. Kalau gak bisa dibayar dengan uang, mereka bisa bayar dengan yang lain."
Kalimat yang dikatakan Resta terputar begitu saja di dalam kepalanya, tidak mungkin.
**
Dua hari pihak polisi mencari motif bunuh diri itu, tetapi mereka tidak menemukan apapun. Di sekolah Andre tidaklah siswa yang bermasalah, bahkan nilainya selalu baik. Mamanya yang sakit pun sudah mulai membaik. Gista mengetuk jarinya ke meja dengan pelan dan sesekali menatap empat siswa yang menjadi kecurigaannya.
"Ibu," panggil Rena yang duduk paling belakang. "Saya mau nanya."
"Oke, silahkan," ucap Gista sambil menatap Rena yang terlihat kecil dari tempatnya berada.
"Tadi 'kan materi kita membahas tentang mobilitas sosial, Bu. Mungkin agak keluar dari pelajaran kita, tapi saya penasaran aja," jelasnya.
"Gak apa-apa, kalau bisa Ibu jawab, akan Ibu jelaskan. Namun, kalau gak bisa, Ibu minta waktu buat nyari jawabannya. Oke, silahkan bertanya."
Rena berdiri dari kursinya, "Jadi, misalnya gini. Ada seseorang yang status sosialnya bertukar, apakah itu bakal ngaruh sama kepribadiannya?"
Gista menganggukkan kepala. "Tentu saja, hampir sembilan dari sepuluh manusia yang bertukar status dia akan berubah. Entah menjadi lebih baik atau buruk."
Perhatian Gista teralihkan saat Dani mengangkat tangannya dan ikut berdiri. "Berlaku untuk siapa saja?" tanya Dani yang langsung dibalas anggukan oleh Gista.
"Semua umur," balas Gista menekankan.
"Tapi, gak semuanya bisa berubah," ucap Belva dengan tangan yang menahan dagunya. "Malah mereka bisa lebih parah, Bu.
"Kalau dia semakin parah, itu sama saja dia berubah."
Rena kembali mengankat tangannya di belakang, "Berarti, Andre yang bunuh diri waktu itu, bisa aja karena dia sedang di fase mobilitas?" tanya Rena.
Gista mengerutkan keningnya, tidak paham dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rena. "Maksudnya gimana?"
"Jadi gini, sebelum kejadian dia bunuh diri, mamanya 'kan sakit. Tapi, dia dapat rezeki yang kami gak tau dari mana dan Andre berubah drastis, Bu. Apa mobilitas sosial ini bisa ngaruh juga sama jiwa kita?"
Gista mengangguk, tapi pikirannya terpecah setelah mendengar Andre mendapat rezeki, ia kembali menatap Dani.
**
"Dani, Ben, Belva, dan Resta. Kalian jangan keluar dulu." Gista melihat satu persatu nama yang baru saja ia panggil. Siswa lain menatap ke arah mereka ada rasa penasaran, tetapi mereka memilih diam dan berlalu meninggalkan kelas.
Dani berjalan ke arah meja Gista sambil mengusap leher belakangnya, "Kenapa, Bu?" tanyanya.
Gista meluruskan punggungnya dengan tangan yang terlipat di depan dada. "Tentang Andre, ada hubungannya sama kalian, kan? Ibu harap kalian jawab, gak."
Dani menggaruk kepalanya sambil tersenyum. "Bukannya kami diajarkan untuk tidak berbohong?"
Kalimat Dani membuat Gista terduduk lemah, menatap lesu pada siswanya. "Itu nyawa, loh," rintih Gista sambil mengusap wajahnya.
"Bukannya Ibu kemarin bilang sama saya buat jadi orang yang lebih baik? Sebagai siswa yang ingin berubah, saya melakukannya, Bu."
**
"Tidak semua yang terlihat di depan mata itu baik dan tidak semua yang nampak pun buruk. Karena kebaikan itu relatif, tergantung dari sudut mana melihatnya."
**
Selamat satu maret... Semoga bulan ini dan seterusnya akan menjadi lebih baik
Bercerita tentang maret, aku punya cerita "Hello March" bisa dikepoin di sebelah. Singkat banget, tapi bakal dibuat gemes sama si bocilnya dan si kembar...
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
General FictionNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...