Part 24: Langkah selanjutnya

23 11 15
                                    

Sakit kepala tiba-tiba menyerang setelah kembali dari ruangan Yongki. Tidak ada yang dapat ia cerna sama sekali, awalnya sekolah ingin mencari kesalahan siswanya, sekarang malah takut tersebar. Maunya apa? Lalu melarang Gista untuk ikut campur, semuanya rumit dan membingungkan.

Dari kejauhan Gista melihat masih orang yang sama berdiri di depan kelas. Entah bagaimana cara mengingatkannya untuk tetap di dalam padahal tugas sudah diberikan, tapi mereka berdua lebih terlihat cemas melihat ke arah Gista.

"Masuk," perintah Gista, tapi mereka malah diam tetap menunggu kedatangannya. Wanita itu memberhentikan langkahnya dan menatap lurus ke arah mereka sambil mengangkat tangannya dan menghitung hingga tiga.

Tidak tahu apa yang akan Gista lakukan, tapi saat melihat dia melakukan itu Dani masuk ke dalam kelas sambil mendorong Ben yang menghalangi jalannya.

**

Panas matahari dan langit yang sangat cerah menemani siang ini di rooftop sembari menunggu Belva dan Resta membawa makan siang.

"Kami pasti menarik di mata Ibu," ucap Dani sambil tersenyum menatap Gista.

Gista menghela napas sambil menahan senyum. "Lebih dari menarik dan semua yang kalian lakuin di luar nalar Ibu." Sejenak mereka terdiam. "Mulai jalani hidup biasa mau?" tanya Gista bersamaan dengan kedatangan tiga siswanya yang lain.

"Tapi, orang biasa gak nerima kami, Bu," timpal Resta sambil menyodorkan kue yang dilapisi keju pada Gista.

"Emang udah nyoba?" Resta dan Ben menganggukkan kepala, Belva menggeleng, sedangkan Dani hanya diam. "Haa, jadi kalian beda-beda, ya?" tanya Gista dan kali ini mereka serentak menggelengkan kepala.

"Bohong mereka, Bu," timpal Dani sambil merebut kue yang ada di tangan Gista dan membukakan plastiknya. "Dimakan dulu, Bu. Pikirin dulu isi perut Ibu, baru pikirin kami," sambungnya.

Ben langsung memukul lengan Dani, "Lo kenapa, dah, sama Bu Gista?"

"Salah gue peduli sama guru sendiri?" Ia malah balik bertanya.

Gista menghentikan mereka berdua, tujuan dia ke atas sana bukan untuk melihat pertengkaran, tapi ingin mengajak mereka melakukan hal yang bermanfaat, entah di dalam sekolah atau di luar. Namun, niat baiknya tidak bisa terlaksana hari ini, karena dua siswanya malah saling mengadu emosi.

"Perhatian lo berlebihan!" tunjuk Ben. "Asalkan lo tau ...,"

Resta langsung menarik tangan Ben agar laki-laki itu tidak mengatakan jika Gista sudah memiliki suami. Jika ia tahu, mungkin saja Dani berubah lebih parah.

"Udah biasa, Bu, nanti juga baikan," ucap Belva dan menarik tangan Gista pergi. "Sekalian, saya mau ngomong sama Ibu, boleh?" tanyanya mengalihkan suasana.

Gista menganggukkan kepala dan menoleh ke belakang memastikan Dani di sana. Ia tidak bisa berkata setelah mendengar cerita Belva tentang temannya itu dan permohonan dia untuk tidak mengatakan jika Gista sudah memiliki suami.

"Ibu paham sama keadaan dia, tapi buat permintaan kamu, Ibu gak bisa. Sama aja Ibu gak ngehargai suami."

"Bukan, Bu. Ibu jangan bilang kalau udah nikah, tapi kalau dia keluar dari batasnya, baru terserah sama Ibu," ujar Belva.

"Dani kayak gitu, karena kurang kasih sayang, mungkin. Jadi, karena ada Ibu, dia ngerasa ada yang berbeda, mungkin aja rasa dia itu bisa kayak kakak dengan adik atau mama dengan anaknya."

Belva menggelengkan kepala, "Gak, Bu. Dani emang suka sama Ibu." Belva memperjelasnya.

Karena tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, Gista menyudahi pertemuan itu dan mengatakan ia akan mencari jalan keluarnya. Namun, sesi mereka belum seleasi, Belva kembali menarik perhatian Gista agar ia tidak pergi.

"Seandainya saya hamil, boleh saya gugurkan anak dari papa saya sendiri, Bu?"

Gista tak kuasa menahan air mata, tidak terbayang jika ia yang ada di posisi Belva sekarang. Wanita itu menarik siswanya ke dalam pelukan, membiarkannya menangis, dia sudah terlalu kuat menajalani hidup gila yang diatur untuknya.

"Tapi, anak itu gak bersalah, Va."

"Iya, Bu. Dia gak bersalah, tapi gimana hidup saya nantinya? Saya cuma mau nanya itu aja, kalau saya hamil, tapi kayaknya gak bakal, saya udah usaha dari sekarang, bukan berniat untuk membunuhnya juga, tapi saya lebih gak tega kalau dia jalani dunia ini terlalu cepat, Bu."

Menjadi seorang guru tidak semudah yang dibayangkannya selama ini. Sekarang Gista tidak tahu harus memberikan saran atau tanggapan apa untuk Belva. Namun, sekarang ia hanya ingin melihat siswanya mulai menjalani hidup normal.

"Tenang, Bu. Anggap aja itu gak pernah terjadi."

Gadis berumur 17 tahun itu dengan mudah mengatakan hal seperti itu? Dia sudah terlalu kebal dengan dunia gila yang ia jalani.

**

Malam yang lebih panjang dari sebelumnya, Gista bahkan tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Sesampai di rumah, dia harus mengurus Regina, walau sudah ada angsuran, tetapi ia masih belum bisa bergerak banyak. Melakukan pekerjaan rumah dan terakhir melaksanakan kewajibannya sebagai guru. Bahkan, ia mencari tempat-tempat yang berguna untuk mengubah karakter seseorang.

"Kamu hubungi teman Kakak coba," ujar Raisa dari balik layar ponsel. "Kamu bilang aja adeknya Raisa, pasti dia bakal fast respon," sambungnya.

Gista tersenyum, faktor orang dalam lagi. Ia langsung menghubungi tempat yang dimaksud oleh Raisa, tetapi ia melihat lokasinya terletak di belakang pasar, tempat anak-anak terlantar.

"Istirahat dulu wahai istriku yang sibuk siang malam," ucap Cakra sambil mengusap rambut Gista.

"Iya, bentar lagi. Ini buat materi besok. Kan bagus kalau kita ambil contoh nyata," balas Gista. Ia tidak ingin mengatakan jika yang dilakukannya untuk Dani dan teman-teman, yang ada Cakra akan semakin cemburu dan bisa-bisa ponselnya dengan sang suami akan terhubung terus. Mengingat sudah lebih satu minggu Cakra terus menelfonnya satu sejam sekali, ia bahkan tidak peduli jika istrinya sedang mengajar di depan kelas.

"Baru tau aku, tempat itu ada yang ngelolanya," tunjuk Cakra pada alamat yang ditulis oleh Gista.

"Kamu tau?"

Cakra menganggukkan kepala, "Tapi, udah lama. Bagus juga ada organisasi yang bantu mereka. Terus kamu mau apa?"

"Bawa anak murid aku buat memahami lingkungan mereka."

**

Karena jadwal yang mungkin akan lebih padat, Gista memutuskan untuk berangkat lebih pagi, tetapi tida melupakan kewajibannya sebagai istri.

"Semua keperluan kamu udah ada di tempat tidur, aku berangkat dulu." Gista meyalami Cakra dan pamit dengan Regina yang masih berbaring di kamar. "Papa di mana?" tanya Gista.

"Di luar kali, hati-hati, ya."

Gista menganggukkan kepala dan bergegas keluar, karena pagi ini ia harus berangkat untuk memastikan tempat dan jam berapa mereka akan berkumpul di tempat itu lagi.

"Istri apaan, pagi udah berangkat, terus yang ngurus suamimu?" tanya Adnan.

"Udah Gista siapin, Pa. Ada yang mau diurus," jelas Gisa sambil menyalami Adnan.

"Tugas kamu yang paling penting layanin suami, udah berapa hari saya di sini, hanya Cakra yang terlihat peduli, gak patut suami yang turun ke dapur, nyuci piring, bahkan nyuci baju."

Gista tak berani menatap mata Adnan, ia hanya meminta maaf. Namun, apa yang dilakukan oleh Cakra bukanlah dia yang meminta, melainkan suaminya sendiri yang melakukan.

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang