Pagi untuk kesekian kalinya, setelah Cakra pergi bekerja Gista merasa begitu bosan dan apa yang dilakukannya pun serba salah. Mencoba membuat makanan, tapi gagal dan berujung mendapat cemooh dari kedua mertuanya. Sampai Regina pulih total mereka akan terus di sana, begitulah Adnan mengatakan pada anaknya dan sampai saat itu untuk Gista sendiri harus menebalkan telinga.
Sudah beberapa hari ini Gista merasa tubuhnya tidak sehat, pusingnya pun juga belum hilang. Padahal masa cuti sudah selesai dan Yongki pun meminta Gista kembali mengajar, tetapi Cakra masih belum mengizinkan. Bahkan, ia menelfon Yongki untuk menambahkan masa libur untuk Gista.
"Dia lagi sakit, Om. Kasih izin lagi bisa 'kan, Om?"
Wanita yang sedang duduk di atas ranjang langsung mengerutkan wajahnya kesal, ia pikir sekolah punya dia yang bisa seenaknya. Berharap Yongki tidak mengizinkan, tetapi harapannya tak terjadi.
"Gak apa-apa, sehatin dulu badannya," ucap laki-laki di sebarang sana.
Tubuh Gista melemah, sedikit berdecak kesal. Namun, saat Cakra melirik, ia mencoba tersenyum agar tak terlihat seperti istri durhaka yang tidak menurut dengan kata suami.
"Hari ini kita cek kamu, takutnya malah parah."
"Pusing biasa, ini karena gak diizinin kerja, makanya pusing, lemah, letih, lesu, loyo," jelas Gista sambil tersenyum, masih memastikan agar Cakra memberi izin.
"Jangan ngeyel, deh." Helaan napas panjang yang diperlihatkan Gista membuat ia mendapatkan tatapan tajam. "Ngelawan?"
Gista langsung menggelengkan kepala, "Tapi, kalau udah cek, terus aku gak apa-apa. Aku diizinkan buat kerja lagi?"
Tidak ada jawaban atas pertanyaannya, kecuali menyuruh sang istri mengganti pakaian dan langsung pergi ke rumah sakit.
"Kata dia pusing doang, ngapain repot ke rumah sakit," timpal Adnan sebelum mereka pergi.
"Memangnya aku itu Papa? Yang gak pernah peduli sama kesehatan. Tuh, buktinya aku harus kehilangan mama, karena Papa yang terus bilang. Halah, pusing doang, halah segitu doang, halah ini, halah itu, dan sekarang halah Papa yang sering dibilang itu ngambil nyawa mama," ucap Cakra dengan emosi yang ia tahan, lalu menarik tangan Gista pergi. "Aku pamit," sambungnya.
Gista terus mengusap lengan Cakra hingga raut wajahnya kembali normal, tapi tidak sulit karena Gista tahu pasti bagaimana suaminya, tinggal mendaratkan satu ciuman, dia akan berubah.
Namun, sekarang rasa kesalnya langsung berubah 180 derajat, bukan karena Gista mencium pipinya, tetapi karena hasil pemeriksaan Gista, ia dinyatakan hamil. Merasa dunia milik berdua, ia tak segan menciumin wajah Gista di depan dokter. Setelah memastikan ke dokter kandungan, suasana hati Cakra tambah berbunga-bunga.
"Tapi, saya gak mual-mual, Dok," ujar Gista setelah menjauhkan wajah Cakra darinya. Karena ia hanya merasakan pusing dan sakit pinggang saja.
"Gejala hamil gak mual aja, lagi pula usia kandungan kamu masih satu minggu, masih kecil. Tapi, ada kemungkinan kamu bakal ngalamin mual, soalnya hidung ibu hamil itu sensitif. Bau dikit, pasti bakal mual," jelas dokter.
"Tenang, Dok. Saya orangnya bersih dan wangi, Gista gak bakal mual," ujar Cakra kesenangan. "Kan, apa aku bilang, tingal sat set sat set, langsung jadi," bisiknya pada Gista lalu tertawa.
**
Kabar baik yang tersebar membuat papa dan mama Gista kesenangan, apalagi Arsa dan Raisa sudah memiliki pasangan masing-masing dan memutuskan menikah di hari yang sama. Namun, untuk keluarga Cakra, hanya kata selamat dan jaga kesehatan yang mereka lontarkan pada Gista.
"Gak apa-apa, seenggaknya mereka bisa nerima," batin Gista untuk menguatkan dirinya sendiri.
Ia begitu dimanja oleh Cakra, bahkan Prima pun sering mengunjungi Gista ke rumah untuk memastikan keadaan anaknya dan di sanalah dia baru tau jika mereka tinggal dengan mertua.
"Gak apa-apa, Ma. Lagi pula jaga orang tua kewajiban Cakra. Sama kayak Bang Arsa, walau udah nikah tanggung jawabnya sama papa atau Mama gak boleh hilang."
"Tapi, kalau ada apa-apa, kamu ke rumah aja, ya, kalau gak sama Laras. Lagian, mertua kamu kayaknya gak bisa juga, buat jalan aja susah, apalagi ngurusin kamu," oceh Prima tak henti.
"Gak kok, Ma. Gista masih sehat, padahal Mama yang paling tau, kalau hamil itu harus banyak gerak."
"Tapi, kamu hamil muda, rentan banget," tegas Prima.
Untung saja Arsa cepat datang, jika tidak Gista akan terus mendengar omelan mamanya. Namun, tak apa. satu sisi ia merindukan itu.
Sambil menunggu Cakra pulang, Gista terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan lagi pada Cakra agar memperbolehkannya bekerja.
"Wajar gak, Ma, kalau aku ngidam di usia kandungan yang masih muda?" tanya Gista pada Regina setelah mengumpulkan niat untuk dekat dengan wanita itu.
Sejenak dia terdiam, "Saya gak pernah hamil dan gak bisa hamil, jadi gak tau rasanya gimana," ujar Regina datar, membuat Gista langsung terdiam.
Dalam hati Gista paham dengan Regina, alasan dia yang tak memperlihatkan kasih sayang, karena dia tidak merasakan.
"Maaf, Ma," gumam Gista.
Tidak ada pilihan lain kecuali menanyakan pada Prima dan jawaban yang ia dapatkan adalah, "Ya, wajar. Kamu mau apa? Mama belikan." Gista langsung menolak, karena tujuannya adalah Cakra.
"Astagfirullah, Gista. Mana ada orang ngidam begitu?"
"Ada, aku contohnya," ucap Gista seakan tak acuh. "Ini permintaan calon anak kamu, loh," sambungnya.
Laki-laki itu langsung mengacak rambutnya frustrasi, hal yang diinginkan jelas apa yang tak diizinkan Cakra.
"Yang lain, asal jangan ngajar," ucap Cakra.
"Lah, mana bisa. Si dedek maunya itu."
Akhirnya setelah penantian lama, Cakra mengizinkan. Namun, dengan beberapa syarat darinya dan pantauan dari Yongki.
"Kamu jangan terlalu berhubungan sama siswa kamu itu, ntar kewalahan, terus jadi kecapen!" tegas Cakra.
"Tenang saja, mereka udah berubah," balas Gista sambil tersenyum lebar.
Berubah, kata itu memang tepat untuk mereka berempat. Hari pertama Gista kembali ke sekolah dan Yongki sudah mengumumkan jika Gista tidak menerima suap apapun pada para staf guru, sehingga mereka tidak bisa membicarakan hal buruk tentang Gista lagi.
Hari itu, Gista tak menemukan keempat siswanya dan ia mendengar kabar jika mereka membuat masalah, tetapi sekolah seakan tutup mata. Gista tidak percaya, padahal saat terakhir bertemu, mereka terlihat baik-baik saja.
"Keburukan mereka udah keliatan, Bu. Malah ada kabarnya, salah satu dari mereka nganu gitu, Bu, sama papanya. Tapi, kami gak tau pasti, sih," ujar salah satu siswa kelas 11.
Gista terdiam, apa mungkin mereka berubah karena hal itu, atau ada hal lain.
"Bukannya mereka mau ikut acara sekolah? Gak jadi, ya?" tanya Gista lagi.
"Nah, pas itu, Bu. Rumornya tersebar dan mereka juga cariin Ibu. Setelah itu, mereka balik ke diri yang dulu. Aneh, bisanya mereka kalau ada masalah satu, pasti temannya yang lain ngikut," jelasnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
General FictionNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...