Part 12: Tak Terduga

39 11 30
                                    

Apa yang kalian pikirkan tentang umur di usia dewasa? Atau, hidup bahagia atas pencapaian yang sudah didapat?

Jika itu yang ada di dalam kepala kalian, maka lekas urungkan. Karena itu bukan kehidupan orang dewasa. Ini bukan lagi masalah cinta atau cita-cita, tapi memikirkan cara untuk mengendalikan ego agar tidak keluar dari ranahnya.

***

Gista membuka pintu ruangan kepala sekolah setelah namanya terpanggil dari pengeras suara yang ada di ruangan guru. Tidak Yongki saja yang ia dapati, melainkan beberapa perangkat sekolah yang berperan besar di tempat itu. Termasuk wakil kesiswaan.

Seketika telapak tangan Gista berkeringat saat melihat satu kursi yang disediakan khusus untuknya di depan mereka semua.

"Silahkan duduk," ujar Yongki dengan nada datarnya. Gista mengangguk dan langsung duduk, walau tidak tahu apa maksud ia berada di tempat ini, tetapi sudah jelas pasti ada yang salah dengannya.

"Walau kamu keponakan bapak kepala, kami akan tetap menanyai biar tahu pastinya bagaimana," ujar Mahendra.

Gista kembali menganggukkan kepala, dan terdiam disaat sebuah rekaman CCTV diperlihatkan kepadanya. Di mana pertemuannya dengan empat siswa yang dicurigai terlibat kasus pembully-an.

"Bisa dijelaskan kalian ngapain? Dan itu juga udah di luar PBM. Sebelumnya, saya udah nanya sama anak 11 IPS 2, kalian gak ada kelas tambahan."

Tidak mungkin Gista mengatakan apa yang ia ketahui, karena bisa saja Dani dan teman-temannya langsung dikeluarkan dari sekolah. Gista megatur diri dan tatapannya untuk bersikap tenang, agar setiap kata yang diucapkannya tak mengundang kecurigaan.

"Mereka minta saya buat jadi guru privat. Katanya, ada banyak hal yang harus mereka pelajari," jelas Gista sambil menatap mata Mahendra.

Ia menganggukkan kepala, "Terus kamu mau?" tanya Mahendra kembali.

"Masih saya pikirkan, tapi sepertinya saya akan menerimanya karena jam mengajar saya gak penuh, Pak," jawab Gista dengan tenang. Di dalam hatinya, Gista mengutuk Ivan, sudah pasti laki-laki itu yang mengadukannya.

Yongki melempar senyum singkat, karena tidak mungkin Gista melakukan hal yang aneh. Hanya itu, Gista dipersilahkan kembali ke ruangannya.

**

Hanya ada dua guru di dalam ruangan, yang lain sudah masuk ke dalam kelas yang mereka ajar, sedangkan Gista memiliki jadwal pada jam kedua nanti.

Bukannya menyelesaikan menilai buku yang tersisa, Gista malah memikirkan kenapa jawaban yang ia lontarkan kemarin sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Dani dan teman-temannya, padahal mereka belum bertemu sejak saat itu.

"Nah, apa saya bilang. Jawaban mereka sama," ucap Yongki.

Mahendra menganggukkan kepala lalu tertawa. "Kesambet setan apa ya mereka, tapi gak apa-apa. Setidaknya kedatangan Gista bisa ngubah mereka jadi rajin."

"Rajinnya pas jam sosilogi aja," timpal Yongki. "Jangan-jangan karena gurunya cantik?"

Gista tersenyum saat Yongki memujinya di depan guru yang lain.

"Tapi, kamu belum tanda tangan jadi guru privat mereka, kan?" tanya Yongki.

"Belum, Pak. Saya masih mempertimbangkannya."

**

Bel istirahat terdengar dari setiap speaker yang ada di dalam kelas dan disambung dengan podcast lima belas menit dengan tema dewasa.

"Bukankan kita semua harus menikmati masa remaja yang indah, atau mempersiapkan diri untuk kehidupan dewasa yang mungkin teramat berat."

Suara penyiar hari ini begitu lembut, membuat telinga yang mendengarnya tak akan pernah merasa terusik. Gista berjalan di koridor kelas 11 dengan kedua tangan yang berisi buku dan tasnya sambil melempar senyum pada setiap murid yang menyapanya. Namun, tatapannya teralihkan empat siswa yang akhir-akhir ini menjadi perhatiannya.

Merasa penasaran, Gista meminta salah satu siswa yang ada di koridor untuk mengantarkan buku yang ada di tangannya ke kantor, sedangkan dia sendiri mengikuti Dani dan teman-temannya menuju lantai atas dan berakhir di rooftop sekolah.

Gudang yang sebelumnya tidak ada apa-apa, nyatanya ada sesuatu di dalam sana. Mereka masuk ke dalam dan Gista hanya berdiri di belakang. Apa yang mereka lakukan? Gista pun membatin. Ia mendekat saat pintu ditutup, tapi tidak mendengar suara apa pun. Sehingga Gista ikut masuk, penasaran dengan apa yang mereka lakukan di sana.

Gista memperhatikan ruangan kecil itu. Selain sapu usang, di sana juga ada papan tulis lama, tapi terlihat bersih tanpa ada debu, lagi pula mereka tak mungkin hilang begitu saja jika tidak ada ruangan lain di sana. Tangan Gista mengusap papan itu dan ternyata di balik papan itu terdapat lubang yang menghubungkan dengan ruangan lain.

Wanita itu menelusuri lorong yang tidak terlalu panjang dan mendapati Dani di dalam sana dengan ekspresi terkejut.

"Kenapa?"

Mata Gista menelusuri ruangan yang tidak terlalu besar, tetapi terlihat begitu lengkap. Bahkan ada kulkas mini.

"Bagus juga," gumam Gista, dulu saat SMA ia tidak memiliki tempat seperti ini.

Tak hanya itu, mata Gista beralih ke arah satu papan tulis kecil yang memperlihatkan beberapa foto dan salah satunya ada foto laki-laki yang pernah ia temui dulu, Andre. Gista menunjuknya dan menatap mereka satu persatu.

Tidak ada yang menjawab, mereka memilih diam di tempat. Gista tidak marah, ia hanya penasaran dan memilih menelusuri ruangan itu, lalu menemukan beberapa lembar kertas yang memperlihatkan data lengkap Andre. Mulai dari keluarga hingga aktivitasnya di sekolah.

"Punya ibu yang sedang sakit infeksi usus dan harus dirawat," ucap Gista sambil menganggukkan kepala. Mengingat Gista pernah pulang bersama dengan Andre, tapi laki-laki hanya diam, tak berbicara sedikit pun. "Udah kalian bantu?" tanya Gista.

Ben menganggukkan kepala, malam itu mereka langsung melunasi administrasi rumah sakir ibu Andre. Gista menggaruk kepalanya, padahal tidak gatal sama sekalii. Mereka baik, tapi—

"Ibu gak bisa berkata-kata."  Gista mengembuskan napasnya, membuat kertas yang dipegangnya ikut bergerak. "Apa aja yang kalian lakukan buat nolong mereka?" tanya Gista.

"Ibu tau 'kan, kalau di dunia ini gak ada yang gratis? Atau kami ngasihnya secara cuma-cuma? Gak, lah, Bu," ucap Resta. "Kalau dikasih pinjaman, dia gak bakal bisa bayar," sambungnya.

Namun, tidak seharusnya menggunakan kekerasan, batin Gista. Tidak tahu apa yang harus diikatakan oleh Gista sekarang, tetapi ia menyita semua kertas yang ada di atas meja, sekaligus dengan beberapa foto yang ada di papan itu.

"Ibu bawa dulu, ya," ucap Gista sambil memasukkan foto itu ke dalam kantong bajunya.

"Tapi, Bu ..." tahan Dani. "Kalau pak Mahen liat," ucapnya.

"Bukannya kalian gak masalah?" tanya Gista. "Lagi pula ada keluarga kalian, kan?"

Seketika mereka terdiam dan tidak bisa berkutik saat Gista membawa barang miliknya keluar dari ruangan.

**

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang