Entah ke mana Cakra pergi, bahkan Laras pun tidak ada dan di rumah hanya ada Regina yang sedang berbaring di kamar. Tanpa mengganti bajunya, Gista langsung menuju dapur. Baru saja ingin menghubungi, Laras muncul dari balik pintu.
"Udah pulang? Mak tadi pergi sama Cakra, nyari obat herbal, kebetulan ada kenalan," jelas Laras sebelum ditanyai oleh Gista.
Melihat istrinya yang masih mengenakan seragam dinas, Cakra mencari keberadaan Adnan, tapi batang hidungnya tidak terlihat.
"Papa ke mana?" tanya Cakra sambil menaruh dua botol minuman yang seperti susu cokelat.
"Gak tau, tadi aku tanya gak dijawab. Pas pulang, papa langsung pergi," jawab Gista dari arah dapur. "Mak pulang aja, Gista udah di rumah kok," sambungnya pada Laras sambil tersenyum.
"Ini biar Mak aja, kamu ganti baju sana. Besok pake baju ini lagi 'kan." Laras mengambil alih ikan yang baru Gista ambil dari kulkas. Namun, Gista langsung menggelengkan kepala, Cakra mempekerjakan Laras bukan untuk memasak di rumahnya, melainkan menjaga Regina saat mereka tidak ada.
"Mak pasti capek, jalannya tadi jauh. Ini biar saya." Cakra mengambil alih mangkok ikan yang diperebutkan dua wanita di depannya. "Kalau anak Mak tau, saya yang dimarahin," sambungnya sambil tersenyum.
Dari awal Gista sudah diingati oleh mamanya untuk tidak merepotkan orang lain jika sendirinya masih bisa melakukan. Setelah menyuruh istrinya ke kamar, Cakra mengambil alih tugas dapur. Tidak masalah baginya, karena memasak tak selalu menjadi tanggung jawab istri.
Secara tidak langsung mereka berbagi tugas. Gista mengurus Regina, menggantikan pakaian. Sebelumnya tak pernah dilakukan, jangankan mengurus orang tua, mengurus anak kecil pun tak pernah. Namun, semuanya cukup dilakukan dengan keikhlasan.
Gista berhati-hati agar tidak menimbulkan sakit pada pinggang Regina dan sesekali meminta maaf karena wanita itu meringis. Dari luar, terdengar suara Cakra berbicara mungkin saja Adnan sudah kembali.
"Minum obatnya dulu, Ma," ujar Gista sambil menyodorkan obat yang dibeli oleh Cakra. Baru satu tegukan Regina langsung memuntahkannya di depan Gista. Wanita itu menahan napasnya singkat, lalu bergegas mengambil tisu. "Gak enak, ya, Ma?"
"Malah ditanya! Obat apa, sih!" Regina menatap sinis pada Gista.
"Mana ada obat yang enak." Gista melihat ke arah pintu, terlihat Cakra berjalan ke arahnya. "Kamu yang masak, ya. Tinggal masakin cabenya aja, obat mama biar aku yang ngasih," sambungnya.
Tidak menolak sedikit pun, lagipula muntahan Regina yang mengenai bajunya harus cepat diganti, kalau tidak mungkin Gista yang akan menyusul memuntahkan semua yang ada di dalam perutnya.
Sudah terhitung dua kali ia mengganti bajunya. Baru saja masuk ke dalam kamar, terdengar Adnan meneriaki namanya. Gista menatap langit-langit kamar, lalu menghela napas singkat sebelum keluar dari kamarnya.
"Ada apa, Pa?"
"Ini cabenya mana?! Saya gak bisa makan kayak gini!" teriaknya.
Baru saja sampai di pintu dapur, ternyata Cakra sudah berada di sana. Membawakan ikan yang ia goreng pada Adnan. "Makan yang ada dulu, Pa. Ngertilah sedikit, mana yang haru kami urus!" ucap Cakra dengan tegas. "Saya tau ngurusin orang tua itu tanggung jawab saya, makanya saya bawa mama ke sini, walau dia bukan mama kandung, tapi dia masih tanggung jawab saya. Terus Papa yang fisiknya masih kuat, tolong jangan ikut nyusahin," sambungnya.
Gista memegang lengan Cakra untuk menanangkannya. "Udah, namanya orang tua," bisik Gista.
**
"Lain kali, kamu jangan gitu, dosa, loh," ucap Gista yang sedang berbaring di samping Cakra. Helaan napas laki-laki itu terdengar jelas.
"Maaf, ya."
Gista membalas dengan senyuman, setidaknya bisa mengobati lelahnya Cakra. "Bukannya kamu yang bilang kalau sifat papa sama mama emang gitu. Ya udah, kita terima aja."
Cakra mengacak rambut Gista, berkali-kali di dalam doa ia bersyukur pada Tuhan karena telah mengizinkan wanita itu menjadi miliknya.
"Gimana tadi di sekolah?"
Seperti biasa, percakapan singkat tentang keseharian mereka masing-masing sebelum melangkah ke dunia mimpi. Melihat Gista yang sudah terlelap, Cakra mengecup puncak kepala istrinya, lalu turun pada kedua matanya dan terakhir bibir manis wanitanya.
"Jangan mimpi sayang, kamu isirahat aja. Percuma mimpi, karena aku ada di dunia nyata kamu," bisik Cakra.
Sekilas Gista tersenyum lalu melingkarkan kedua tangannya pada leher Cakra dan membawanya ikut tidur. "Kamu juga, ya. Jangan mimpiin yang lain, nanti aku cemburu."
**
Pagi ini matahari enggan untuk keluar, karena awan hitam mengambil alih semesta untuk sesaat. Gemuruh pun terdengar silih berganti, tetapi bagaimana pun baik Cakra atau Gista harus tetap berangkat. Laras pun sudah sejak tadi berada di rumah dan ditemani oleh Wildan.
"Kamu ngapain?" tanya Gista.
"Nanti mertua kamu suka sama emak aku, gak lucu 'kan kalau ada kabar perselingkuhan," bisik Wildan diam-diam.
"Heh!"
Mereka langsung tertawa, sedangkan Laras menatap sinis karena merasa dibicarakan. "Kalau ngomongin, Mak. Di belakang, gak di depan kayak gini," ucap Laras.
"Kalau di belakang, jatuhnya ghibah, Mak," jawab anaknya.
Melihat mereka seasik itu, membuat Cakra kembali merasakan cemburu. Namun, bagaimana pun kehadiran Wildan untuk menemani mamanya. Tidak ada pilihan, selain membawa kabur istrinya agar terhindar dari Wildan. Ternyata tidak sampai dengan anak tetangga saja, Cakra dibuat menghela napas ketika melihat empat siswa yang selalu dibicarakan Gista ada di depan gerbang.
"Aih, ngapain, sih, mereka. Gak tau yang hujan," rutuk Cakra. "Pasti dia lagi nungguin kamu."
"Ya Allah, nuduh mulu, mana tau mereka neduh." Laki-laki itu malah berdecak kesal sambil melajukan mobil melalui Dani dan temannya. "Lah, langsung di antar ke depan kantor, dong." Gista tertawa melihat tingkah suaminya.
"Ini gak cemburu, ya. Cuma aku gak mau kamu kehujanan," timpal Cakra.
Gista menggelengkan kepala, tetapi masih mencoba menahan tawanya. Melihat beberapa pasang mata tertuju pada mobil yang ia naiki. Karena selama ini, belum pernah mobil yang mengantar penumpangnya hingga pintu ruangan guru.
Baru saja masuk, tangan Gista langsung ditarik oleh Fariza. "Pacar kamu?" tanyanya sambil menunjuk mobil Cakra yang mulai menjauh.
Gista menggelengkan kepala sambil terseyum, "Suami aku," ucapnya pelan, tapi membuat satu kantor kaget.
"Kamu udah ada suami? Kok gak bilang?"
Gista malah memamerkan deretan giginya yang rapi, "Sebenarnya aku udah nikah sebelum kerja di sini," kilah Gista.
Mulut Fariza membentuk bulatan sambil menganggukkan kepala, "Ganteng juga," ucap Fariza malu-malu.
"Siapa yang ganteng, Bu? Saya?"
Semua mata sekarang tertuju pada laki-laki bercelana abu-abu dan badan yang balut jaket bermerek. Ia berjalan ke arah meja Gista lalu mengambil tumpukan buku bersampul hijau. Namun, Fariza mendekat dan meraba kening Dani.
"Kamu sakit? Tumben banget mau ngambil buku ke kantor?" tanya Fariza.
"Gak, cuma mau bantu Bu Gista aja," balasnya tak acuh, lalu pergi begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
General FictionNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...