Hanya suara sendok yang menyatu dengan piring, biasanya malam seperti ini akan ada percakapan singkat antara Cakra dengan papanya, atau dengan Gista dan tidak untuk kali ini. Setelah pulang dari rumah Yongki, wajahnya masih terlihat menahan amarah, entah apa yang ia katakan, karena Cakra tidak mengizinkan Gista ikut dengannya.
"Aku udah selesai, duluan ke kamar, ngantuk," ujarnya singkat dan berlalu dari meja makan.
Perginya Cakra malah Gista yang menjadi sasaran di meja makan. Regina yang sudah bisa duduk dan berjalan pelan pun juga ada di sana.
"Kalian berantem?" tanya Adnan.
Gista bingung bagaimana cara menanggapi mereka, ia pun tidak tahu apakah Cakra marah dengannya atau tidak.
"Pasti iya, nih," tuduh Regina. "Padahal belum nikah lama, udah ribut aja," sambungnya.
Gista hanya menunduk sambil meremas ujung bajunya di bawah meja membiarkan mereka puas dengan kata-kata yang membuat nafsu makannya hilang padahal ia sangat lapar.
"Gak semuanya bisa disimpulkan kalau kami berantem dan aku yang salah, Pa, Ma. Namanya rumah tangga, ada dua kepala yang berbeda isi yang harus disatukan. Jadi, tolong, kasih kami celah sedikit, bukan, kasih aku celah, Ma, Pa, buat ngurusin urusan aku sendiri sama Cakra. Apa salahnya ribut? Kalau nanti bisa nemu jalan keluarnya?"
Pelan Gista mengembuskan napasnya, lalu melanjutkan makan yang tertunda awal. Tidak mungkin pula ia meninggalkan kedua mertuanya dan menyusul Cakra ke kamar, lantas siapa yang akan membereskan meja makan. Regina? Jangan harap.
**
Melihat Cakra yang belum berpaling dari gawainya, Gista pun tak mau berpaling menatap. Dua pertanyaan yang ia lontarkan, tidak mendapatkan jawaban sama sekali dari suaminya.
"Kita kapan punya anak?" tanya Cakra tiba-tiba, alih menjawab pertanyaan Gista tentang pembahasannya di rumah Yongki.
"Gak tau," balas Gista sambil mengangkat bahunya.
"Lagi, yuk," ajak Cakra sambil tersenyum dan mengangkat alisnya dua kali.
Gista menghela napasnya kesal, karena beberapa menit yang lalu Cakra masih memasang wajah masamnya, tetapi saat membahas hal lain malah langsung bersemangat.
"Kan udah sering," ujar Gista saat Cakra memeluk pinggangnya setelah melempar ponsel ke atas tempat tidur.
"Tapi, belum jadi. Bikin lagi, lah. Waktu itu gak niat, sekarang niatnya ada, aku pengen kamu punya anak, biar gak ngajar lagi dan fokus sama anak kita."
"Hoo, jadi kemarin itu gak ada yang niat? Buat senang-senang aja? Wah!" Mata Gista membulat, tetapi Cakra langsung menggelengkan kepala.
"Eh, tapi sebelumnya emang pengen gitu aja, mastiin kamu milik aku," balasnya sambil memamerkan gigi putih yang berderet rapi. "Tapi, malam ini beneran, deh, aku niat punya anak, ntar bismillah dulu, jleb, jadi."
Gista langsung memukul lengan Cakra, tidak habis pikir dengan kata yang terlontar dari mulutnya. "Nah, diem. Kalau kata orang dulu, diem berarti iya. Oke, nih, kita begadang ampe pagi, lagian besok kamu libur," sambungnya.
"CAKRA!!!" teriak Gista malu.
**
Setelah sekian lama, akhirnya pagi ini ia dapat bermalas-malasan, untung saja Cakra bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat semalam dan membiarkan Gista tidur lebih lama.
"Aku udah segar, karena dapat energi penuh. Sebagai gantinya, aku yang bakal masak pagi ini," ujar Cakra.
"Nanti kamu telat."
"Gak lah, gak bakal." Cakra tersenyum dan mengusap rambut Gista.
Tidak lama Gista berbaring ia pun menyusul keluar kamar, karena tidak terbiasa bermalas-malasan di pagi hari. Walau telinganya masih kuat menahan omelan mertua, tetapi tak pantas juga ia seperti itu.
Alih-alih menyusul ke dapur, Gista malah keluar rumah. Rasanya sudah dua hari tidak ia bersihkan halaman itu.
"Widih, tumben Bu guru masih seperti ibu rumah tangga?" tanya Wildan dari depan rumahnya.
"Lagi libur aja. Eh, tapi 'kan aku emang ibu rumah tangga, loh."
Laki-laki itu malah tertawa, "Iya, biasanya pagi ini jadi wanita karir dulu."
"Gak boleh gitu aku kayak gini? Dari pada kamu, tiap hari ngurusin bunga."
Laras yang ada di samping anaknya hanya tertawa sambil menggelengkan kepala, karena Gista libur, ia pun tak harus menjaga Regina.
Percakapan sederhana dan ledekan Wildan membuat Cakra sedikit kesal. Setiap pagi, ada saja alasan Cakra untuk menyuruh Gista masuk ke dalam rumah dan berganti posisi dengannya.
Masa cuti Gista ternyata diperpanjang oleh pihak sekolah. Tidak bisa apa-apa ia, hanya mengikhlaskan dan malah menjadi untung bagi Cakra.
"Makanya, nurut sama kata suami."
"Hee, gak gitu juga," rutuk Gista.
Karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Gista meminta izin untuk mengurus bunga di rumah Laras jika sudah selesai menyiapkan semua keperluan Regina. Tadinya, Cakra menolak tegas, untuk apa dia berada di rumah Wildan.
"Siang kok, itu pun di depan rumah. Kalau siang pun, Wildhan gak di rumah."
"Oke, tapi jangan lama-lama," ucapnya sambil mengecup pipi Gista.
"Siap!"
**
Akhir-akhir ini Gista sering merasakan pusing dan lelah, padahal aktivitasnya tidak banyak, malah lebih sedikit dari sebelumnya.
"Gak mungkin karena kena omel tiap hari," gumam Gista sambil menahan tubuhnya di atas ranjang.
Sindiran demi sindiran pun sudah biasa diterima, walau ada kata yang membuatnya tetap merasakan sakit. Namun, Gista tidak memberitahu Cakra.
"Kamu libur sampai kapan?" tanya Adnan dari ruang tengah.
"Belum tau, Pa. Belum ada dikabari sekolah."
Gista tidak mengatakan jika ada masalah di sekolah, bisa saja gara-gara itu ia semakin disudutkan oleh mertuanya.
"Paling kamu yang minta libur, selain ngajar kamu emang gak bisa apa-apa?" tanya Adnan, belum sempat Gista menanggapinya laki-laki itu kembali melankutkan kalimatnya. "Tanggung jawab Cakra bukan kamu aja, dia masih punya saudara yang harus dibiayai. Seenggaknya kamu bantu juga keuangan keluarga."
Lagi? batin Gista. Ada saja yang dia jadikan alasan untuk menyudutkan Gista. Seharusnya sebagai laki-laki ia sadar tanggung jawab, jika mereka yang memiliki kewajiban untuk memberi nafkah. Lagi pula, Cakra tak pernah mengambil uang gaji Gista, bahkan ia terus memberi Gista uang saku dan belanja rumah. Tau apa dia, batin Gista lagi.
Untung saja sakit kepala Gista menyelamatkannya dari Adnan, walau masih berujung dengan sindiran.
"Ketara banget malasnya, udah jelas gak ngapa-ngapain masih aja bikin alasan untuk tidur."
Gista tak mengacuhkan apa yang ia dengar, memilih masuk ke dalam kamar dan menyetel lagu melalui ponselnya.
"Semoga aku gak masuk menantu yang durhaka," gumam Gista.
Meski sudah berusaha untuk mengabaikan, tapi apa yang dikatakan Adnan menjadi beban pikirannya.
"Iya juga, sih. Gak ada yang aku bisa kecuali ngajar." Gista mengembuskan napasnya, kali ini bukan memikirkan mertuanya, melainkan alasan agar Cakra memberinya izin untuk mengajar kembali, agar nanti saat cutinya berakhir dia dapat mengajar lagi tanpa beban.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Ending ✅
General FictionNever Ending Tentang Gista yang berhasil menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Namun, di waktu yang bersamaan seorang dari masa lalunya datang dan mengajak untuk menjalin hubungan yang serius. "Aku gak becanda, Ta. Kalau aku main-main, aku...