20: Step Two

25 10 12
                                    

Bagi Gista, walau Regina selalu menyudutkannya, dia tetap orang tua kedua. Pagi ini, Gista bangun lebih awal, menyiapkan makanan untuk Adnan di rumah sakit sekaligus untuk siang nanti, karena Regina akan dirawat di rumahnya.

"Nanti mak Ay langsung ke sini. Atau mau aku tungguin dulu?" tanya Gista dari dapur.

Saat pulang dari rumah sakit, Gista dan Cakra langsung ke rumah Laras. Wanita itu sama baiknya dengan Gista. Dia tidak menolak sedikit pun, walau ditantang oleh Wildan terang-terangan.

"Aku kerja buat Mama, loh. Ngapain kerja lagi?"

"Anggap aja Mama lagi jagain teman, mama gak ngarepin gaji, kok. Kasian Gista, nanti dia keteteran."

Cakra sebenarnya merasa tidak enak, tetapi bagaimana lagi. Tidak mungkin ia yang berhenti bekerja.

"Kamu ngajar pagi ini, biar aku aja," balas Cakra. "Lagian aku udah izin, mereka tau kalau mama masuk rumah sakit."

Gista menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Kamu penyayang banget, padahal kamu sama mama gak terlalu akrab dan kadang aku lihat kamu cuek banget. Defenisi cowok idaman banget, tapi kenapa dulu malah jadi playboy?" tanya Gista asal.

"Karena aku penyayang dan idamana, makanya semua cewek aku sayang," balasnya sambil tertawa, teringat dengan masa lalunya yang tidak baik.

"Yeu, dasar."

Sebelum ke rumah sakit Cakra mengantar Gista ke sekolah dan tidak sengaja melihat siswa yang bersama dengan Gista saat di rumah sakit berdiri di samping sekolah, seperti sedang menunggu seseorang.

"Dia yang waktu itu, kan?" tanya Cakra.

"Iya, yan aku ceritain juga. Yang bandel dan namanya jelek di sekolah tapi gak ada bukti. Satu sisi dia pintar," jelas Gista. "Aku berhenti di sini aja, sekalian mau nanya."

Cakra langsung menatap Gista, "Kenapa?" tanya Gista.

"Kamu dekat banget, ya, sama dia?" Bahunya terlihat melemah.

"Namanya siswa aku, ya, deket dong."

"Tapi," ucap Cakra, tatapannya terlihat menggemaskan. "Oke, tapi tiap jam kamu bakal aku telfon!" tegasnya lalu memasng raut wajah kesal.

"Lah?"

"Gak protes!" tegas Cakra sekali lagi.

**

Gista berjalan mendekati Dani, tangannya masuk ke dalam kantong baju yang digunakan. Dani tersenyum, saat yang ditunggunya datang menghampiri sambil menampungkan tangan.

"Kenapa?" tanya Gista.

"Katanya Ibu mau ngasih permen kalau saya berhenti ngerokok," ucapnya.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Dani menyalami tangan Gista dan sekilas mengecupnya. Membuat Gista kaget dan reflek menjauhkan dari Dani.

"Kenapa? Sama guru lain malah disuruh nyalamin," ucap Dani santai. "Semangat buat hari, Bu," sambungnya dan berjalan keluar dari lingkungan sekolah.

"Kamu ke mana?" tanya Gista.

"Hari ini gak ada kelas sama, Ibu. Jadi buat apa saya di sini!" teriaknya lalu berlari menjauh. Padahal, Gista berniat menanyakan kabar Dani setelah ia tinggalkan begitu saja di rumah sakit.

Jati diri seperti apa yang akan Dani temukan jika ia belum berubah sama sekali. Gista mengusap wajahnya, apa yang harus ia lakukan untuk mengubahnya. Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Hari ini Gista mengajar pada jam kedua, masih ada waktu menyusul Dani setelah absen nanti.

Setelah absen, Gista masuk ke dalam kelas 11 IPS 2, berniat menanyakan di mana tempat Dani biasa menghabiskan waktu pada temannya, tetapi saat sampai di kelas, temannya yang lain juga tidak ada di sana.

"Dani izin, karena mamanya di rumah sakit. Belva ada perjalanan keluar negeri, asisten papanya yang langsung datang ke kepala sekolah. Resta sama Ben ada acara keluarga, kabarnya mereka bakal tunangan," jelas ketua kelas 11 IPS 2.

Saat mendengar Belva keluar negeri, Gista takut akan terjadi seseuatu pada gadis itu setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Ponselnya berdering dan terlihat panggilan dari suaminya, Gista tersenyum sebelum menjawabnya. Laki-laki itu hanya menanyakan keberadaannya lalu mematikannya kembali, aneh.

Tidak ada tempat lagi untuk bertanya dan tidak mungkin Gista ke rumah sakit, bukannya bertemu dengan Dani, tetapi dia akan bertemu dengan Cakra. Karena hari ini suaminya menjemput Regina.

Gista berjalan ke atap sekolah, dia berharap akan menemukan sesuatu di ruangan mereka. Masuk ke dalam gudang kecil dan menggeser papan tulis yang ada di sana karena di belakangnya ada tangga penghubung ke ruangan mereka.

Bau asap rokok langsung tercium, pasti ada seseorang di sana. Namun, Gista malah menemukan Dani dan teman-temannya.

"Haa, jadi tempat ini udah di luar negeri, ya?" tanya Gista sambil berjalan masuk dan mengambil satu kursi untuk didudukinya. "Sekaligus rumah sakit?" tanyanya lagi, kali ini menatap Dani. "Dan katanya ada pertemuan dua keluarga, tapi di mana, ya?"

Beberapa detik mereka saling diam.

"Di dalam imaaa ... jinasi," ucap Ben tiba-tiba saat tatapannya beradu dengan Gista dan se per detik kemudian mereka tertawa.

Walau mereka berbohong, tapi Gista merasa lega melihat keadannya yang baik-baik saja di tempat ini. Tidak banyak hal serius yang mereka bicarakan, sesekali Gista melempar pandangan pada Dani, ingin menanyakan apakah dia baik-baik saja.

"Katanya mau dapetin tujuan dan Ibu pikir harus dimulai dari hal kecil. Contohnya, berhenti ngerokok dan mulai besok masuk kelas, walau gak Ibu yang ngajar di kelas kalian."

Tidak ada sanggahan atas permintaan itu, bahkan mereka menyerahkan kotak rokok pada Gista untuk disimpankan, tapi ia pun sadar. Untuk keluar dan menghilangkan stres yang dirasakan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

"Emang kalian bisa berhenti semudah itu?" tanya Gista.

"Gak, sih, Bu," balas Ben.

"Terus, ini?" Gista memperlihatkan rokok yang mereka berikan.

"Kan bisa dibeli lagi." Gista memejamkan matanya beberapa detik, sama saja mengambil rokok itu tidak akan berhasil. Benda tadi pun diletakkan kembali ke atas meja. "Lah, kenapa, Bu? Biasnya guru lain bakal ambil semuanya," sambung Ben.

"Percuma, kalau dibeli lagi, bakal ngabisin uang, bukannya tujuan kalian buat gak ngabisin uang orang tua kalian yang dapatnya ntah dari mana?"

**

Sebelum kembali ke ruangan guru, Gista memutar langkahnya menuju ruang BK untuk menaruh beberapa batang rokok yang ia ambil dari Dani dan temannya. Ia akan memulai sedikit demi sedikit, karena manusia mana pun tidak akan mudah berubah begitu saja.

"Rokok siapa?" tanya Vina.

Sialnya, di sana juga ada Ivan. Tatapannya yang penuh keingin tahuan tak lepas ia tujukan pada Gista.

"Mereka gabung kayaknya, tadi gak sengaja ketemu di dekat kantin," jelas Gista.

"Kenapa gak kamu bawa ke sini? Ini rokok, loh. Tau gak kamu mereka bisa kena banyak poin,"

Mata Gista sontak menyipit, "Buat apa? Lagian tadi udah aku tegur dan mereka belum sempat bakar rokoknya."

"Pasti orang yang kamu kenal, kan?" tuduh Ivan.

**

Never Ending ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang