14.

16.9K 2.4K 114
                                    

Haloooo, semoga nanti gak kecapean, aku usahakan double up. Klo tepar, ya besok.

Selamat membaca kesayangaaaan.

***
Kendra membuka pintu mobil, tapi dengan cepat Erik menahan, memegang pergelangan tangannya dengan erat. 

"Kamu ngomong apa sih?" 

"Lepasin gak??" 

"Gak Ken! Kamu mau kemana?" 

"Pulang, gak usah nganter aku." 

Tatapan mata Kendra sengit. Tangan kirinya sudah membuka pintu mobil, meski yang kanan berada dalam cengkraman Erik, rasanya sakit. 

"Jangan pergi, kita ngomong baik-baik." Akhirnya dia yang mengalah. Merasa jiwa kelelakiannya lah yang harusnya mengayomi. Kendra masih kecil, mudah terbawa emosi dan perasaan. Begitu pikirnya. 

"Kita sudah ngomong baik-baik, tapi kamu selalu membawa nama Mas Erwin." 

"Kamu juga selalu membawa nama Iren." 

"Kasusnya beda, aku dan Mas Erwin gak punya hubungan apa-apa, sementara kamu?" Kendra menatap tajam, "aku mau kita putus." 

"Kendra!" Erik rasanya tak percaya, gadis mungil yang biasanya riang dan tak pernah semarah ini, berubah menjadi muntahan lahar. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Lama mereka bersitatap, air mata Kendra membuat Erik tersiksa. Emosinya mengendur, berganti dengan helaan napas yang panjang. 

"Kuantar pulang, sebentar lagi hujan, manut lah," pintanya pelan. Melepaskan cengkraman dan menarik pintu sisi sebelah kiri Kendra. Hingga menutup sempurna. 

"Kita bicara lagi kalau kamu sudah tenang." 

Kendra tak menggubris, memalingkan muka. Menata emosinya. Sampai kapanpun keputusannya sudah bulat, dia mau putus dan pergi sejauh mungkin. Tak mau melihat Erik, ataupun Erwin. 

Sepanjang perjalanan, hujan turun. Sesekali Erik menoleh, memastikan kondisi Kendra. Gadis itu duduk bersandar dengan tatapan lelah ke luar jendela. Sesekali bahunya terguncang. Sisa isakan tangis. 

***

Mama, langsung bisa menebak ketika melihat anak dan calon menantunya datang dengan atmosfer yang beku. Kendra langsung naik ke kamar setelah mencium punggung tangan mamanya.

Tak peduli apakah Erik akan duduk dulu atau langsung pulang. Tak peduli juga apakah Erik akan mengadu pada mamanya atau tidak. Dia hanya ingin mandi dan merebahkan diri. Perasaannya sedang tidak baik-baik saja. 

Tiga hari berlalu, Kendra masih berwajah muram, pesan dan  telepon dari Erik sama sekali tak digubrisnya. Kadangkala dia mematikan ponsel, menyalakan sebentar untuk mengecek ada pesan penting atau tidak, lalu mematikannya lagi. Percuma, pesan yang masuk kebanyakan dari Erik. 

"jangan dipaksa lagi Ma." Papa akhirnya bersuara, setelah Kendra naik lagi ke kamar, setelah sarapan. Tetap dengan wajah murung dan diam. 

"Erik bilang, mereka hanya salah paham, tapi kenapa wajah Kendra bisa tertekan begitu ya Pa?" 

Papa menghela napas dalam-dalam. Beranjak dari ruang makan, ke ruang TV, Mama mengekor di belakangnya. 

"Bagaimana kalau kita biarkan dia memutuskan masa depannya Ma?" 

Mama mengernyit, "Soal pertunangan?" 

Papa mengangguk, "Erik memang baik, keluarganya juga baik, tapi kalau ternyata Kendra terpaksa bagaimana?" 

"Terpaksa bagaimana Pa? Dia bahagia di pertunangannya waktu itu." 

"Ma, Kendra itu masih muda, jarak usianya dengan Erik juga terlalu jauh, kita tidak tahu hubungan mereka sebenarnya seperti apa kan?" 

Bittersweet [Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang