20.

20K 2.6K 273
                                    



"Mas Erwin lagi gak di Malang, jadi gak bisa mampir, sayang sekali, padahal kare ayam buatan Mama, kesukaan dia." Papa kembali ke meja makan, setelah menerima panggilan telepon pagi-pagi. 

"Namanya juga Bos Pa, kemana lagi dia sekarang?" tanya Mama, setelah meletakkan sepiring nasi di depan Papa. 

"Lombok." 

"Waaah, disana terkenal mutiara Lombok kan? Yang asli pasti mahal, kira-kira... Mama dibeliin oleh-oleh lagi gak ya?" 

Kendra memutar bola mata. Sejak Erwin membawakan Mama kain ulos khas Sumatera Utara waktu itu, Mama jadi sering bertanya, kenapa Erwin enggak datang ke rumah. Kapan dia datang lagi, dan sejenisnya.

Pft, khas emak-emak yang gampang disogok barang mahal. Impiannya bermantu Erik langsung bergeser seketika. Sepertinya, hubungan Mama dengan Tante Yuli tetap baik-baik saja, minggu lalu mereka arisan, Mama pulang dengan tetap berwajah riang, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Sengaja Kendra tak mengantar, Papa yang menggantikan tugasnya. 

"Kerjaan Mas Erwin keliling-keliling gitu Pa?" Mama masih bertanya kepo. 

"Ya gak juga, katanya kalau dia keliling gitu, biasanya klien VVIP, bos-bos besar yang harus dia sendiri yang turun, kayak di Medan itu, pengusaha kelapa sawit itu Ma, punya tambang juga katanya." 

"Waah, komisinya berapa ya Pa kalau deal proyek sama pengusaha gede gitu?" 

"Kenapa memangnya?" 

"Nitip Kendra ke perusahaan mas Erwin kan lumayan." Tawa Mama menggelegar. 

"Matreeeee." Ledekan Kendra hanya ditanggapi tawa. Tapi, anak gadisnya itu juga ikut tertawa, tak luput suaminya. Diam-diam Mama lega, sebagai orang tua, bukannya tak peka, dia tahu Pria muda itu menaruh hati, meski mungkin tak terlalu kentara. Tersirat saja, tapi bagi Mama cukup gamblang, suaminya juga mengatakan hal serupa. 

Tapi, untuk cepat memberi restu, tak semudah itu. Yang terlihat baik, bagi Mama belum tentu baik. Mama juga diam-diam masih menyelidiki, kenapa Kendra menolak Erik. Pria yang bagi Mama tak kurang suatu apapun. Dan tak kalah mapan dari Erwin. Aneh. 

Lain pikiran Mama, lain pula pikiran Kendra. Gadis itu melirik ponselnya yang sepi. Sudah seminggu Erwin tak ada kabar, terakhir ketemu minggu lalu, saat mereka ke Surabaya, dan bermain drama, pura-pura jadi calon Nyonya Bos Mediterach.

Kalau diingat kembali rasanya memalukan tapi juga menggelikan. Padahal sekedar lelucon, iseng, tapi keterusan. Dia senang, tak protes, bahkan saat Erwin menggandengnya keluar kantor untuk makan siang. Diiringi Cuit-cuitan. 

Astaga! Kalau diingat kembali rasanya bikin berdebar. Senyum Erwin menawan, tak ada yang saling mengatakan isi hati. Seolah sama-sama tahu, tanpa perlu saling mengutarakan. 

Mereka menghabiskan waktu, makan siang di cafe dengan interior urban, mengamati, mengomentari, lalu menjelajah internet, mencari perbandingan cafe. Mencicipi menu, lalu jalan-jalan mengelilingi tunjungan plaza.

Erwin terlihat capek, tapi dia tak menolak ketika diajaknya keluar masuk toko melihat hal-hal yang baginya imut. 

Astaga! Mereka seperti sepasang kekasih betulan. Kendra benar-benar tak peduli, tentang keberadaan si kakak Medina apakah ada atau tidak. Sampai rumah sekitar jam delapan malam. Erwin tak langsung pulang, ngopi dan ngobrol sama Papa soal otomotif sampai sekitar jam sepuluh malam, baru pamitan pulang. 

Lalu, kekasih gadungannya itu, selama seminggu ini tanpa kabar. Eh, tapi kenapa harus bertukar kabar? Memang dia siapa? 

Haufth! 

Bittersweet [Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang