24

19.4K 2.6K 274
                                    

Definisi 'jalan yuk' versi Erwin ternyata memang the real jalan-jalan. Kendra pikir, Erwin seperti Erik yang memilih quality time dengan nongkrong di cafe dan saling mengobrol ini itu, atau menghabiskan waktu dengan menonton film di bioskop.

Kebiasaan yang membuat Kendra berpikir, kalau semua pria dewasa lebih suka menghabiskan akhir pekan dengan rileks di sebuah tempat yang homey dan cozy, dan tidak menghabiskan banyak tenaga setelah hampir sepekan digempur rutinitas kantor yang melelahkan sekaligus menjemukan.

Erwin, merubah mindset itu. Dia bahkan menawarkan beberapa destinasi wisata, yang membuat Kendra tertawa terbahak-bahak.

"Jadi, selama tiga puluh tiga tahun hidup anda Pak, belum pernah ke Jatim Park?" ledeknya semalam.

"Gak punya waktu, namanya juga orang sibuk."

Ya ya ya, mungkin memang sibuk beneran, mungkin juga ada alasan lain. Kendra hanya tertawa saja, tak melanjutkan ledekannya.

Lalu esok paginya. Masih jam enam pagi, Kendra saja baru selesai mandi, Erwin sudah muncul, dengan motor bebek. Bukan dengan mobilnya yang hitam dan elegan itu.

"Nyolong sepeda dimana Pak?" tawanya kemudian, saat menyambutnya di teras, masih dengan rambut yang digelung handuk, plus baju rumahan sepasang celana kulot tie dye dan atasan lengan pendek yang longgar.

"Di perempatan." jawaban pendek itu membuahkan tawa Kendra, "masuk yuk, Mama lagi bikin sarapan, aku juga mau ganti baju dulu."

"Gak usah dandan menor."

"Lah, ngapain juga dandan menor? Kita ke Jatim park, bukan ke kondangan mantan, Pak."

Mau tak mau Erwin terbahak juga. Lama-lama dia menemukan satu kesamaan diantara keduanya, sama-sama absurd kalau ngomong, nyinyir tanpa dipikir.

Papa yang semula sibuk dengan burung-burung peliharaannya di halaman belakang, bergegas keluar ketika putrinya bilang, kalau Erwin sudah datang. Mama dengan cekatan menyelesaikan membuat nasi goreng, tidak lupa pakai telor ceplok mata sapi yang sudah belekan alias kuning telurnya ambyar.

"Sarapan dulu, biar gak masuk angin."

Nasehat khas orang tua, padahal tadi Erwin berniat mengajak Kendra sarapan di luar. Menikmati seperti apa makan berdua dengan gadis ini di pinggir jalan, dengan udara pagi yang sejuk.

Keinginannya itu harus ditahan dulu. Wanita paruh baya yang kemarin melampiaskan amarahnya itu, terlihat sangat ramah pagi ini. Menawarinya kopi, menyiapkan sarapan, dan memastikan kebutuhannya terpenuhi dengan baik.

Kendra muncul tak lama kemudian, dengan setelan kulot jeans ⅞ dan atasan kaos yang dipadukan dengan jaket stylish warna mocca. Ada tas selempang kecil yang dipakainya. Segar, dan sangat remaja sekali.

Erwin butuh beberapa detik untuk mengembalikan fokusnya, berdehem sejenak agar tidak terpengaruh dengan penampilan gadis itu.

Rasanya ingin menertawakan diri sendiri, di usianya yang kepala tiga, yang seharusnya lebih tertarik dengan perempuan seperti Katrin, dengan penampilan dewasa, anggun, dan keibuan, justru terpikat pada pesona remaja akhir yang tengah menuju dewasa awal.

Ella, bisa menertawakannya juga, meski sekretarisnya itu terus saja bertanya kepo tentang Kendra yang hanya sekali saja muncul di kantor mereka.

"Jangan main-main sama anak orang, kalau serius nikahi, umur udah mendekati ajal, kelakuan jangan kayak dajal."

Pedas, dan membuatnya tertawa saja saat itu. Ella menjulukinya pedofil, jika menggiring Kendra dalam hubungan dengan status yang tidak jelas.

Mereka pergi sekitar jam tujuh pagi, diiringi nasehat panjang lebar Mama. Erwin hanya mengangguk patuh, padahal Kendra sudah gak betah karena bising.

Bittersweet [Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang