22

17.8K 2.7K 258
                                    

Erwin memutuskan untuk mendatangi rumah Kendra setelah masa perenungannya habis. Meskipun sudah jauh-jauh healing ke Lombok dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, tetap saja keresahan hatinya tidak hilang. 

Erwin tidak tahu, apakah karena faktor usia yang makin bertambah, sementara masih belum ada seseorang yang menemani, membuatnya jadi resah gelisah? Entahlah.  

Maka, setelah mengobrol banyak dengan sang Papa, satu-satunya penasehat dalam hidupnya, sosok yang tidak hanya menjadi bapak tapi juga ibu, Erwin, mendatangi rumah gadis itu. Namun, hatinya kembali ragu, antara mengakui perasaan, atau tarik ulur lagi, mengingat, Kendra juga baru putus dari sepupunya. 

Ah meresahkan. 

Benar-benar gila rasanya, bagaimana bisa di usia  kepala tiga, dia menjadi sangat canggung berhadapan dengan anak kemarin sore. Lama dia menimbang, akhirnya memilih beralasan mampir setelah kembali dari Lombok. Padahal dia kembali sudah tiga hari yang lalu. Rasanya alasan itu lebih aman dan tepat untuk saat ini, sambil melihat situasi dan kondisi. 

Tak lupa, oleh-oleh untuk sang Ratu di rumah ini. Mama Kendra pasti berbinar ketika dibawakan gelang dan kalung mutiara Lombok asli. Yang penting saat ini, adalah bagaimana tetap dekat, agar Kendra tidak jauh dari jangkauannya, dan bisa mengawasinya dari Erik.

Namun, binar mata dari penguasa rumah ini hanya sebentar. Jantung Erwin berdegup lebih kencang, ketika sang penguasa meletakkan kembali mutiara- mutiara cantik itu di atas meja, lalu menatapnya dengan tajam. 

"Tante mau tanya sama Mas Erwin." 

Papa menyadari perubahan sikap Mama pasti ada hubungannya dengan kedatangan Erik dan hasil mencuri dengar pembicaraan anaknya tadi. Dibiarkannya saja sang Istri menjalankan perannya sebagai seorang ibu yang melindungi putri mereka. Papa cukup mengikuti saja alurnya lebih dulu, jika ada hal yang kurang sesuai, barulah pasang badan. 

"Tujuan Mas Erwin selalu baik pada kami, kira-kira kenapa ya? Suka sama putri kami?" Mama Kendra bertanya tanpa basa basi, dengan melipat kedua tangan, bahkan menatapnya seperti seorang polisi yang tengah menginterogasi tersangka. 

Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba itu, tentu saja Erwin kelabakan, karena tak menyangka akan ditembak sedemikian rupa. Ah, dia lupa, bukankah minggu lalu, Papa Kendra juga menembaknya telak? 

Diliriknya pria paruh baya itu, yang justru duduk tenang dengan menahan senyum geli. Ah bapak satu ini, bukannya bantuin. 

"Kalau hanya untuk mendekati Kendra, tapi Mas Erwin sudah ada yang punya, sebaiknya gak usah! Putri kami terlalu berharga  kalau cuma untuk disakiti."

Lho? Belum juga ngaku sudah ditolak. Dia masih memikirkan jawaban, ketika Mama Kendra terus saja menyerang. 

"Kalau memang punya rasa, buktikan keseriusan, tunjukkan kalau benar-benar belum punya calon atau wanita simpanan. Jangan pernah sesekali punya pikiran memanfaatkan kepolosan Kendra!" 

Suara Mama melengking. Emosinya untuk Erik terlampiaskan pada Erwin. Pria muda di depannya tentu saja terkejut luar biasa. 

Perempuan yang setiap dia datang selalu berwajah datar, tiba-tiba saja menunjukkan kegarangannya. 

"Ma wes Ma." Papa yang semula duduk bersandar dengan tenang, menegakkan punggung dan menyentuh lengan istrinya supaya lipatan tangan di depan dada itu turun."Ojo melampiaskan emosi ke Mas Erwin." (wes=sudah, ojo= jangan)

"Ini gak melampiaskan emosi Pa, ini demi menjaga putri kita, kebahagiaan putri kecil kita. Mas Erwin ini kan sudah dewasa, punya niat apa selalu baik sama kita? bolak-balik membantu Kendra, kalau ujung-ujungnya seperti sepupunya itu, mending gak usah. Kalau memang ada rasa ya nikahi, gak usah mendekat, apalagi kalau ternyata punya simpanan. Emangnya putri kita apaan? Belum menikah sudah diduakan, kalau sudah menikah, ada jaminan tobat? Belum tentu Pa!"

Bittersweet [Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang