14. Siap?

189 27 2
                                    


"Butuh tumpangan?"

Celinesse tak dapat di pungkiri. Ia takut sampai membuat dirinya hilang akal. Apa yang barusan ia perbuat.

Sekarang, Halenta berjalan mendekati nya. Lalu menarik paksa tangannya untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Dengan terdiam kaku di samping Halenta, Celinesse benar-benar di landa ketakutan. Sedangkan dengan Halenta ia masih setia terfokuskan pandangannya ke arah jalan raya yang cukup lancar.

"K-kak, aku, m-minta maaf. Tadi, b-barusan aku cuma," ucapnya tersenggal.

"Mau aku hamili dulu. Kamu mau aku lakuin itu? Iya?!" teriaknya masih dengan nada yang lumayan rendah.

Sampai di sebuah villa.

"Kita harus pulang." cegah Celinesse yang sudah sangat amat ketakutan.

Halenta turun dari mobilnya lalu membuka paksa pintu mobil bagian dimana Celinesse duduk.

"Kita pulang, minggu depan kita menikah."

Celinesse merasakan sakit di pergelangan tangannya. Halenta terus menerus menarik nya sampai masuk ke dalam villa tersebut.

Sampai di dalam.

"Cel, kamu bisa nggak sedikit aja kasih rasa sayang kamu buat aku. Aku udah cukup sabar. Kamu pikir kesabaran aku bisa kamu permainkan seperti ini. Kamu bisa buat aku gila. Kamu udah menang. Aku gila sama kamu sampe rasanya aku mau hamili kamu biar kamu nggak usah pergi keluar sana." ucapnya dengan nada tinggi membuat Celinesse ketakutan dan menangis.

Halenta membuang napas kasar. Ia memandangi gadis yang sebentar lagi akan menikah dengannya dalam hitungan hari ke depan.

"Cenes, aku nggak akan kayak gini kalo kamu nggak berbuat seperti tadi. Aku nggak berani kasar sama perempuan yang aku sayang. Tolong, kasih aku sedikit kepercayaan kamu dan tolong untuk mencintai aku dan menyayangiku. Aku mohon kamu belajar mulai dari sekarang. Aku mohon," pintanya sambil memohon dimana ia terduduk di lantai sedang Celinesse duduk di atas sofa.

Celinesse mendengar permintaan Halenta sampai tak percaya ia melirik sedikit ke arahnya yang masih duduk bersimpuh.

"Maaf, Kak. Rasa benci aku sama kakak bener-bener keterlaluan. Bahkan untuk belajar mencintai kakak aja aku kayak nggak akan pernah bisa." Halenta mulai menatapnya. "Maaf aku selalu buat kakak mencoba untuk menahan amarah. Enggak tau kenapa aku nggak suka dengan semua kebaikan yang kakak lakuin buat aku. Karena aku pikir itu semua bohong dan karena kakak emang kasian aja liat aku sebagai anak broken home. Sampe mama aku entah apa yang kakak perbuat selalu dengerin omongan kakak ketimbang aku. Kakak pikir aku senang? Kakak pikir aku punya ruang untuk berbaur? Terbebas dari kakak aja sulit. Aku tau kakak selalu bayar orang suruhan kakak buat ikutin aku kemanapun aku pergi. Aku tau semuanya dan aku capek. Aku nggak mau ruang gerak aku di urus campuri oleh orang lain."

"Aku bukan orang lain,"

"Bagi aku kakak itu orang lain,"

"Aku calon suami kamu,"

"Bahkan aku nggak mau nikah sama kakak."

Saat itu juga Celinesse terkejut saat melihat Halenta yang meneteskan air mata. Celinesse melihat ke arah lain tak mau menatap Halenta yang masih setia menatapnya. 'Apa dia terlalu kejam?' tanya nya dalam hati.

**

Halenta benar-benar membuat Celinesse terkejut tak menyangka bahwa seminggu itu adalah hari yang cukup dimana keduanya melampauinya dengan penuh kesabaran sedangkan yang satunya dengan keterpaksaan. Bagaimana tidak, melihat wajah cantik Celinesse yang tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu seruan 'sah' dari orang-orang yang berada di luar sana. Suara lantang Halenta benar-benar membuat nya sedikit bergetar. Ia tak menyangka akan secepat ini. Rasanya ia ingin lari namun mama nya selalu berada di sampingnya.

"Alhamdulillah, ayo keluar sayang." seru sang mama yang tak kalah bahagia sedangkan Celinesse mati-matian untuk tak meneteskan air mata.

Sampai di pelaminan. Yang bertamu kebanyakan adalah kawan-kawan orang tua keduanya. Sedangkan anak kampus teman mereka hanya beberapa kawan dekat Halenta dan tidak ada kawan dari Celinesse yang datang. Ia bahkan pernah mengharapkan pernikahan ia suatu saat akan terlihat megah dan di langsungi dengan air mata bahagia juga diiringi canda tawa kawan-kawannya. Namun, itu semua adalah mimpi. Ya, Celinesse bahkan tidak sadar jika ini semua adalah nyata.

Halenta mengulurkan tangan kanannya untuk disalami oleh sang istri namun Celinesse masih nampak dalam tidurnya, ia belum terbangun sepenuhnya. Halenta masih bisa menahan segalanya. Demi, Wanitanya. Cenesnya.

Akhirnya Halenta yang menarik telapak tangan kanan Celinesse lalu ia kecup dengan sangat dalam hingga membuat tamu yang datang berteriak heboh. Ternyata hal itu membuat Celinesse terbangun dan melihat ke sekeliling yang cukup ramai melihat serius keduanya.

"Kalian pasangan yang serasi. Langgeng, ya. Aamiin." ucap kawan mama Celinesse.

Di amin kan oleh Halenta dan hanya di balas senyum oleh Celinesse.

'Nggak nyangka si bajingan itu udah nikah duluan.'

'Mulut, Lo?!'

'Iri? Bilang, paman!'

Suara riuh dari kawan-kawan Halenta yang sudah mengenal lama dengannya.

"Nama cewek nya siapa?" tanya Galendra sambil memandang lurus ke arah Celinesse.

"Bini nya bukan cewek nya, gimana si, Gal," sungut temannya.

"Iyaudah, apa susahnya si jawab nama si cewek nya," kesal balik Galendra.

"Celinesse. Kenapa?" tanya Angga curiga.

"Cantik," ia mengangguk lalu, "manis."

"Jangan jadi pelakor, kan nggak lucu kalo pelakornya cowok."

"Emang kenapa kalo cowok?"

"Pelakor cewek, kan udah biasa kerjaannya nge godain lah kalo cowok pelakor, apa kabar,"

"Baik. Lagian lebih menggodaan gue kemana-mana ketimbang Halenta yang muka nya dingin kek kulkas."

"Jangan salah, badan Halenta lebih berotot dari Lo,"

"Sialan. Mana ada. Gue aja nggak pernah tuh liat dia nge gym."

"Santai dong, Gal. Gue cuma bercanda. Ya, lagian, omongan Lo ngaco jangan yang aneh-aneh deh." sungut Angga yang berlalu sambil meneriakinya. "Buruan, Gal, gue udah lapar nih!"

"Berisik banget si brengsek!" kesal Galendra mulai mengikuti Angga namun tatapannya tak lepas dari wajah Celinesse.

🍀

HALENTA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang