7. Menawar

260 34 7
                                    


"Ayah, apa aku hamili dia aja ya? Aku udah nggak tahan sama sikap penolakan dia ke aku. Tapi aku harus tahan sampai aku dan dia halal. Aku bahkan bakal kurung dia. Sekarang teman dekat dia mulai berani sama aku. Kalo bukan karena Cenesku, mungkin aku udah lempar Sudirman ke laut." jelasnya sambil berdecak kesal. Ia juga sedang mengaduk cokelat hangat yang dibuat bundanya dengan gemas.

Kedua orangtuanya melongo mendengar penuturan anak semata wayangnya.

"Henta, kamu bilang apa barusan. Mau hamili dia?" tanya Sande yang mau menguyup cokelat hangatnya namun terhenti.

"Iya. Ayah setuju, kan. Aku yakin ayah pasti setuju." jawabnya dengan tanpa dosanya.

"Kenapa bisa?" tanya Sande lagi, ia ingin memastikan darimana anaknya ini belajar seperti itu.

"Ya, melihat perangai ayah aja." jawabnya acuh membuat sang ayah menjewer satu telinganya sedangkan bundanya hanya terkekeh melihat kedua lelaki yang ada di hadapannya, karena menurutnya keduanya tak ada bedanya alias sama saja.

"Henta, kamu sama ayah kamu itu nggak ada bedanya. Kalian itu sama aja." kata Armila sambil terkekeh kecil.

"Mas. Sama bocah tengik ini? Enggak, Sayang. Mana berani aku hamili kamu. Bocah tengik, ayah nggak pernah ya ngajarin kamu berperilaku seperti itu. Astaghfirulloh." protes Sande sambil beristighfar kenapa anaknya bisa melebihi dirinya seperti ini.

"Maaf ayah, bunda. Henta bakal sabar sampai aku dan dia sah." ujar Halenta pasrah di hadapan kedua orangtuanya.

"Ini baru anak ayah. Nanti kalo udah halal, mau ngapain aja enak, Hent. Percaya sama ayah." kata Sande sambil merangkul bahu sang anak.

"Mas!" peringatan dari Armila dengan suara lembut tapi penuh ancaman agar otak anaknya tidak tercemar oleh ayahnya sendiri.

"Anak bunda harus perilaku lembut ya, Sayang,"

"Sayang! Yang boleh kamu panggil sayang itu cuma aku, cuma Mas!"

"Mulai deh," umpat Armila kesal.

Halenta terkadang tak habis pikir dengan ayahnya. Segila itu ayahnya dengan bundanya. Maka seperti apa Halenta jika dengan Cenesnya. Ia bahkan sudah sangat amat tergila-gila dengan Celinesse. Halenta tersenyum bagaimana dia ingat saat Cenesnya mau menerimanya. Ya, walaupun dia tau bahwa semua itu hanyalah paksaan. Tapi dia suka saat ia dengan tak sopannya mencium Celinesse dengan brutal. Dan itu yang membuat Celinesse takut, maka dari itu ia tak pernah melihat Cenesnya bermain dengan laki-laki selain, Sudirman. Bahkan menyebutkan namanya saja membuat Halenta kesal setengah mati. Apa dia harus memberinya sedikit pelajaran. Ah, jika tak ingat betapa cintanya dan sayangnya ia dengan Celinesse mungkin ia akan melenyapkan lelaki itu. Ia harus bertahan.

Di kampus.

"Nesse, soal rangkuman kemarin gimana? Oiya, Adisti kayaknya bakal ikut grup kita."

"Oke. Gue seneng malah kalo ada cewek di grup kita." jawabnya sambil mencatat.

"Iya, emang kalo kita cuma berdua aja kenapa?" tanya Sudirman yang sudah ancang-ancang ingin membuat Celinesse lebih dari teman untuknya.

"Nggak apa-apa, Sudir." jawabnya masih terus mencatat di buku catatan nya.

"Please jawab yang bikin aku ngerti." ujar Sudirman yang kini duduknya menghadap ke arah Celinesse.

"Wait, sejak kapan Lo ngomong 'aku' sama gue?" tanya Celinesse menghentikan mencatat.

"Mulai hari ini, aku beneran sayang banget sama kamu, Nesse."

"Sudirman, Lo baik-baik aja, kan. Apa Lo lagi sakit?" tanya Celinesse kaget karena ucapan Sudirman yang tiba-tiba.

"Enggak, Nesse. Aku serius." balasnya.

"Jangan bilang lo udah berani mabuk?"

"Aku sadar, Nesse. Aku seratus persen sadar sama apa yang aku bilang barusan."

"Nggak lucu, ya. Atau Lo lagi nge prank gue. Ih nggak asik banget deh, Sudirman."

"Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu, Celinesse."

Keduanya sama-sama terdiam.

"Sudirman. Lo tau, kan. Kalo gue udah sama kak Halenta."

"Fine. Finishnya gini aja, aku nggak apa-apa jadi selingkuhan kamu, Nesse." ujarnya dengan kukuh.

"Lo gila, ya. Sadar, Sudirman."

Keduanya sama-sama melihat dengan wajah protes.

Tak lama datang seorang mahasiswi yang membuat keduanya berhenti.

"Hai, gue Adisti. Celinesse. Sudirman. Kalian kenapa?" tanyanya terkejut karena melihat keduanya dengan beradu tatap namun kesannya seperti kecewa, mungkin.

"Oh, hai, Adisti. Dis, ikut gue ke kantin yuk. Kita obrolin soal rangkuman anak hukum." ujar Celinesse sambil merangkul lalu ia dengan cepat membereskan barangnya.

"Emang Lo maunya gimana?" tanya balik Adisti yang mulai lupa dengan yang ia saksikan tadi.

"Pengacara nggak masalah si, public speaking gue aman kayaknya," terdengar lelucon namun tersirat keinginan.

"Kayaknya?" Adisti benar-benar tak tahu jika Celinesse sedang mengalihkan, bahkan ia berharap Adisti lupa dan tak menanyai perihal tadi.

Keduanya terkekeh dan lambat laun semakin jauh hingga perbincangan mereka tak terdengar oleh Sudirman. Apa ia salah memilih jalan, barusan (?) Fuck! Shit! Ia tak bisa berhenti di tengah jalan seperti ini.

Di kantin. Adisti melihat ada notif telpon, ia pun segera mengangkat karena ia pastinya akan memberitahu dan meminta maaf pada Celinesse setelah kembali ke toilet bahwa ia tadi mengangkat telpon tanpa izin.

"Ya, halo."

"Ini siapa ya,"

"Adisti bang, temen kelompoknya Celinesse. Maaf saya lancang angkat telpon, Celinesse nya lagi ke toilet."

"Ok. Tadi liat Celinesse sama seseorang nggak sebelum kalian ketemu?"

"Oh, tadi saya liat Celinesse sama Sudirman tatap-tatapan,"

"Tatap-tatapan, maksudnya,"

"Kurang tau deh, Bang, kalo itu,"

"Ok, nanti tanyain Celinesse, terus setelah itu kabarin saya. Ok."

"Ok, Bang."

Setelah itu panggilan terputus dengan meninggalkan hawa dingin.

.

.

.

.

.

.

Hai semuaaa~ 🐨

P L E A S E E N J O Y W I T H M E 🥰

HALENTA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang