mohon ya vote, komen, terus kasih pendapat di akhir. jangan sampai aku ikutan galau kek agista yaw, huhu
happy reading :)
~Science 7~
Agista tak bisa tidur. Semalaman ia memikirkan pertengkaran yang terjadi antara Royvan dan Zaga. Jujur ia tak bisa memihak salah satu, dan tak bisa melabeli siapa yang salah. Kenyataan bahwa dua orang itu menaruh rasa padanya juga membuatnya semakin tertekan.
"Gue pikir gue punya rasa sama Royvan."
Agista mengingat kilas balik saat dirinya masih menjadi Lava. Perempuan lugu yang menyukai basket tanpa syarat lalu jatuh hati dengan anak laki-laki berwatak dingin dan acuh tak acuh.
"Karena itu gue menjadikannya sahabat bahkan tanpa sadar."
Agista memiringkan tubuhnya ke kiri. Ia mengingat hari itu. Hari dimana ia tak sengaja memakan es krim blueberry milik Ze dan membuat dirinya diambang bahaya.
"Andai gue nggak memakan es krim itu, gue yakin gue nggak akan pernah berpikiran suka sama Royvan."
Agista memejamkan matanya. Setelah kejadian itu, dunianya memang berbeda. Ada banyak perubahan. Jika saja Agista bisa memutar waktu, ia akan menghindari segala jenis rasa suka yang tumbuh karena di dekat Royvan yang dahulu jelas-jelas membencinya.
"Lalu Zaga datang. Dia cowok yang baik. Dalam sekejap gue bisa akrab sama dia."
Agista membuka matanya, mengingat beberapa interaksi kecilnya dengan Zaga. "Dia pengertian. Dia memahami perempuan dan menghargainya."
Agista merentangkan tangannya. Ia menatap langit-langit kamar. "Gue nggak pernah berpikiran bakalan baper sama perhatiannya. Tapi kalo sama dia, gue merasa aman."
Ya, Zaga sangat ahli menjaganya. Lelaki itu mengantarnya pulang, membelikannya makanan, bahkan terkadang menemaninya berbelanja kalau tak sengaja berpapasan. Seakan Zaga tak punya kegiatan lain selain bersamanya.
"Kenapa mereka berdua suka sama gue? Gue bukanlah orang yang cantik. Gue pendek dan cerewet. Gue lebih banyak drama dan ilusi."
Agista merasa dirinya tak pantas. "Eh, kenapa gue berpikiran kayak gini? Ck, sia-sia aja. Papa sama Kak Vino juga nggak bakalan izinin gue pacaran sampai dewasa."
Ya, alasan Agista tak pernah memikirkan semua perlakuan teman laki-lakinya kepadanya adalah karena kedua pria di rumahnya. Papanya melarang keras berpacaran dan Kakaknya juga sepemikiran. Menurut mereka, anak perempuan itu harus dijaga baik-baik dan jangan sampai salah pergaulan. Mereka akan mengerahkan apa saja untuk melindungi dan menjaga kehormatan Agista.
"Tapi setidaknya kalo gue nggak pacaran, gue bisa suka sama orang 'kan?" Katanya semangat, mengingat nasihat Abay dahulu. Ah, dia memang Kakak bohongan yang baik karena menjiwai perannya.
Agista memiringkan tubuhnya ke kanan. "Pertanyaannya, suka itu gimana rasanya? Gue udah nggak bisa mengenali rasa itu sejak beberapa tahun yang lalu."
Di tempat lain, Royvan juga berbaring di kamarnya yang bernuansa gelap. Lelaki itu memikirkan semua kejadian hari ini. Tadi saat ia mengantarkan Agista ke makam Ze.
Flashback on
"Hai Ze."
Agista berjongkok, ia mencabut rumput liar yang berada di sekitar nisan. Tatapannya melemah. "Ini Lava. Ya, Lava anak kecil yang manja."
Royvan menatapnya dengan datar. Dalam waktu ini ia lebih memilih untuk mendengarkan ocehan perempuan itu. "Aku datang bersama Royvan lho. Kamu senang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCIENCE 7 : UNITY IS PRIORITY
Ficção AdolescenteIni masih tentang kelas XII IPA 7 yang sudah melepas gelar Silvernya dan menyandang gelar Diamond, suatu gelar paling tinggi yang pernah SMA Gemilang berikan. Ini bukan lagi masalah besar, melainkan pertikaian antaranggota yang tak bisa dihindarkan...