[28] Ini Prank?

556 165 64
                                    

“Terjebak diantara dua pilihan, mencintai atau dicintai.” —Alvian Satya Wahyuda.

happy reading 🐷

Zaga menatap langit dengan mata menyipit. Atap ruang guru menjadi tempatnya yang favorit sejak pertama kali datang di SMA ini. Ia lebih suka menyendiri. Tapi akhir-akhir ini ia terbayang dengan masa depannya sendiri.

"Jadi gue nggak akan hidup lama ya?" gumam Zaga saat angin membelai rambutnya dengan lembut.

"Woi!"

Satya datang mengusik ketenangannya. Zaga tersenyum tipis menyambut kedatangan lelaki itu. Baru saja datang, Satya sudah melemparkan pertanyaan. "Kenapa lo menyendiri terus?"

"Kepo."

"Jiah, gue tahu, niat lo mendekati Agista emang nggak bener sejak awal," katanya tanpa basa basi.

Zaga beralih menatapnya dengan alis terangkat. "Lalu? Apa lo akan membenci gue?"

Satya menggeleng. "Nggak. Hari ini gue udah nggak melihat niat nggak bener dari mata lo. Sebaliknya, gue lihat lo sangat menyukai Agista." jelasnya gamblang. Zaga mencemooh.

"Khayal."

"Eh gue serius. Kalo Abay pasti udah menghajar lo karena membuat Agista nangis, su."

Zaga tahu Abay pasti tidak suka dengan perilakunya. Sejatinya, Abay itu amat menyayangi Agista sebagai Adik namun tidak terlihat secara kasat mata. Zaga sebagai pembaca ekspresi yang handal, tak kesulitan mengetahuinya.

"Gue nggak pernah punya pikiran untuk membuat cewek yang gue suka menangis," balas Zaga lugas menjelaskan semuanya. Satya menarik napas panjang.

"Nah kalau begitu, perbaiki semuanya. Jalani hubungan baik dengan Agista lagi. Lo nggak mau Agista terus-terusan membenci lo, 'kan?"

Agista membencinya? Ah mungkin saja. "Bagus, dia bisa membenci gue."

Dahi Satya berkerut. "Kok bagus?"

Zaga beralih menatap langit. Matanya menyipit, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. "Gue nggak mau meninggalkan kesan baik sehingga dia sulit melupakan gue."

Satya benar-benar tak paham konteks pembicaraan Zaga. "Maksud lo asu? Kagak paham gue nyet."

Zaga hanya menepuk pundak Satya sebagai balasan sebelum berdiri dan meninggalkan lelaki itu terjebak dalam jurang kebingungan.

Langkah Zaga menuntunnya ke lapangan basket. Ia berhenti di sana dan menatap ke arah ring. Ia teringat Agista begitu menyukai basket. Ia bisa membayangkan senyuman Agista saat bermain basket. Ia selalu mengamati Agista secara diam-diam saat bermain. Termasuk saat perenpuan itu bermain dengan Royvan. Zaga mengamati segalanya.

Zaga menarik napas. Ia melihat sebuah bola di pinggir lapangan dan tergerak untuk mengambilnya. Ketika bola oranye berada di tangan, Zaga memantulkannya ke tanah dan menyipitkan mata, menatap ke arah ring.

"Gue udah kasih lo kesempatan."

Zaga menghentikan aksinya. Ia menatap ke arah orang yang baru saja bersuara. Orang itu bersuara lagi. "Lo gagal karena udah membuat Agista kecewa."

Zaga mengabaikannya. Ia memasukkan bola ke dalam ring. Namun bola tersebut tidak mulus melewati dan memantul ke arahnya. Zaga berdecak.

"Agista udah kecewa dan lo nggak berhak deket lagi sama dia."

Zaga beralih menatap Royvan dengan jengkel. "Lo juga udah pernah buat Agista kecewa. Harusnya lo nggak berhak deket lagi sama dia," kata Zaga mengungkap masa lalu Royvan dan Agista. Lelaki berwajah datar itu masih terlihat dingin.

SCIENCE 7 : UNITY IS PRIORITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang