[10] Urusan Hati

735 178 62
                                    

Wah baru sadar kalau vote over 500. Happy ya! Soalnya Melta nggak tahu diri. Baru lihat cerita kelas 11, dulu vote mencapai 500 aja part 12-an. Ini baru part 10-an aja sudah lebih. Kalian hebat wkwk.

Jangan lupa meninggalkan jejak.

Oh iya, kalau berkenan, tengoklah ig Melta yang namanya prinxzcess. Siapa tahu suka ya kan.

Happy reading ❤❤

Aliza menopang dagunya melihat kondisi kelas yang amat polos. Didominasi putih pendar yang nyaris tanpa cela. Mendadak Aliza bingung sendiri mau buat kelas menjadi seperti apa.

"Ali, sekarang lo mau buat gimana kelas kita?" ujar Agista duduk di samping Aliza tanpa segan. Walaupun sebenarnya ia takut-takut. Soalnya Agista masih khawatir jika Aliza men-capnya sebagai orang ketiga dalam hubungannya dengan Satya.

"Kayaknya kalau kelas kita buat tema kopi kayak tiga tahun lalu, itu nggak mungkin." ujar Aliza terkesan bermonolog sendiri. Agista jadi ikut-ikutan berpikir tentang tema yang akan dibuat mereka bersama.

"Al, kalau kita diskusiin sama yang lain aja gimana? Soalnya menghias kelas kan harusnya kesepakatan kelas." ujar Agista mengeluarkan pendapatnya. Aliza pun setuju.

"Okelah, habis pulang sekolah nanti, gue bakalan minta mereka untuk di sini dulu."

Agista mengangguk. Lantas ia beranjak menuju bangkunya. "Eh Ca, nanti pulang sekolah lo ada latihan dance nggak?"

Izly menghela napasnya. "Nggak tahu. Malas gue kalau disuruh dance. Mendingan gue ikut menghias kelas aja." ujar Izly. Agista menatap maklum dirinya.

"Ca, jangan gitu dong. Kan lo sudah dipilih sama Atha. Jangan mengecewakan kita dong." ujar Agista mengusap pundak Izly. Izly bergeming. Enggan berkomentar.

"Ta, dipanggil Zaga tuh." ujar Gwen duduk di depan bangku mereka. Gwen tak sadar, itu bangku milik Fariz.

"Zaga? Ngapain?"

"Entah. Dia ada di depan kelas."

Dahi Agista berkerut. Ia meminta persetujuan Izly yang juga kebingungan karena Zaga memanggil Agista secara tak biasa. "Samperin sana, kali aja penting." ujar Izly seakan paham kode Agista. Lantas Agista mengangguk dan bergegas keluar kelas.

"Ada apa Ga?" ujar Agista menghampiri Zaga yang nampak gabut dengan menendang-nendang angin sambil menatap ke bawah. Baru mendongak saat Agista datang.

"Mau apa lo memanggil gue ke sini?" ujar Agista semakin mencecar Zaga dengan berbagai pertanyaan. "Kenapa nggak ngobrol di kelas aja? Pakai acara di luar kayak rahasia amat."

Zaga menatap lekat Agista. Sangat sulit sekali membuka mulutnya untuk mengatakan sebaris kalimat. Akhirnya tak mau berlama-lama, Zaga mengutarakan kalimatnya dalam sekali tarikan napas secara cepat.

"Nanti malem lo mau jalan sama gue nggak?"

Agista terdiam. Ia mengerjapkan matanya. Menatap polos Zaga yang panas dingin dibuatnya. "A-apa?"

Suara Zaga teredam oleh berisiknya kericuhan kelas. Agista tidak bisa mendengar perkataan Zaga barusan. Oleh karena itu ia bertanya.

Zaga menautkan alisnya. "Apa?" ujar Zaga mengulang nada yang sama dari Agista. Agista jadi paham dengan kebingungan Zaga.

"Oh maksud gue, tadi lo ngomong apa? Soalnya kelas berisik banget. Omongan lo sampai nggak kedengeran." ujar Agista mengusak telinganya.

Zaga menatap tak percaya kepada Agista. Ia sudah mengumpulkan keberaniannya selama sehari semalam untuk mengatakan sebaris kalimat tadi dan Agista malah tak mendengarnya. Bentuk kesialan macam apa ini?

SCIENCE 7 : UNITY IS PRIORITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang