Kelas masih sepi— hanya ada beberapa siswa —menjadi saksi bisu untuk kedua kalinya atas interogasi Bian terhadap Jeremy.
Bian tidak habis pikir, kenapa bisa orang seperti Jere terlibat sebuah permasalahan dengan kakak kelas. Selama ini Jere adalah orang yang lebih suka dianggap seperti butiran debu. Lebih suka tidak diperhatikan dan masa bodoh dengan urusan orang lain jika tidak menyangkut dirinya.
Kenapa sang sahabat bisa hampir dihajar oleh kakak kelas preman pembuat onar? dan lebih buruknya lagi, nama Bian ikut terbawa. Benar-benar kesialan pertamanya di hari ini.
"Coba lo ingat-ingat, lo pernah ngutang gak sama mereka?" pertanyaan Bian terdengar sangat tidak berbobot bagi Jere.
"Kalaupun gue ngutang, mending sama lo daripada sama mereka." Jawab Jere, sibuk memperbaiki kerah bajunya yang kusut akibat remasan sang kakak kelas.
"Sialan. Gue serius."
"Gue juga. Gue bahkan gak kenal mereka. Ini salah lo."
"Kenapa gue?"
"Mereka nyamperin gue karena gue temen lo, mereka nanyain lo, tapi gue bilang gak tahu, malah dihajar." Jelas Jere.
"Hampir dihajar lebih tepatnya."
"Ya, berarti ini salah lo kan. Masih baik tadi gue gak bilang kalau lo di kelas." Jere bersandar pada punggung kursinya, memandang keluar melalui jendela kelas.
"Oke. Maaf dan makasih."
Hening. Bian merasa tidak enak tetapi ingin tertawa juga mengingat wajah cemas Jere saat dipojokkan oleh kakak kelas di kantin, apalagi menjadi tontonan murid lain.
Jere bergerak dan menatap serius Bian di sampingnya, "Jadi apa masalah lo sama mereka?"
Diam beberapa detik sebelum Bian menjawab, "Kayaknya gue inget ... "
Memorinya juga memutar ulang perkataan sang kakak kelas. "Berani lo main-main sama adek gue."
"Kenapa? lo ngempesin ban motor mereka?"
Pertanyaan Jere tak kalah tidak berbobotnya dengan pertanyaan Bian sebelumnya.
"Kayaknya karena gak jadi sarapan, otak lo makin ngawur," lanjut Bian sambil memutar jari telunjuk di samping kepalanya. Kemudian mengerutkan alisnya masih memikirkan apakah tebakannya benar, "cowok tadi itu abangnya Alicia."
Kembali dengan sedikit rasa terkejut saat mengetahui fakta itu. Gadis cheerleader yang cukup populer itu, yang penampilannya begitu feminim, ternyata kakak lelakinya adalah seorang siswa bandel. Bian tidak mengira dia akan mengaku menyukai lelaki pembuat onar kepada adiknya. Tidak tahu mesti tertawa atau bagaimana setelah menempatkan dirinya dalam posisi konyol begini.
...
"Alicia siapa?"
Bian lupa kalau Jere tidak tahu apa-apa. Ia terlalu malas untuk menjelaskan situasinya.
"Adek kelas yang gue tolak. Anggota cheerleader."
...
"Pfftts ... "
Bian memberikan tatapan seolah ia akan memotong bagian tubuh Jere, kemudian dimasak, dan yang terakhir disantap.
"Maaf maaf. Gue kelepasan. Tapi masalah ini klasik banget, beneran," kata Jere, masih tersisa senyum tahan tawa di wajahnya, "lo nolak Alicia, terus abangnya datang marahin lo. Klasik banget kayak sinetron."
Bian mengangkat sebelah kaki ke kakinya yang lain. "Gue gak tahu kalau abangnya preman. Kakak beradik sama-sama ngerepotin."
"Pokoknya jangan sampai aja mereka nyerang gue lagi," lanjut Jere. Sudah cukup ia dipermalukan pagi-pagi di kantin.
"Gak apa-apa sih. Gue mau liat apa yang bakal mereka lakuin nantinya."
"Nanti lo dikeroyok beneran gimana?"
"Lo bantu."
"Bantu doa aja."
"Hoi!" teriak seorang gadis— atau bisa kita panggil Sila —tepat di antara Bian dan Jere. Cukup untuk membuat telinga mereka berdenging.
"Kenapa mesti teriak?" keluh Jere, mengusap-usap telinganya sambil meringis.
"Iseng." Jawab Sila, lalu duduk di tempatnya tepat di depan kedua lelaki itu.
Gadis itu terdiam dengan tampang polosnya saat mendapati kedua temannya memiliki wajah yang suram, padahal masih pagi. "Kenapa kalian? pagi-pagi begini udah ketiban sial?"
"Gue sih yang ketiban paling sial. Soalnya gara-gara Bian." Jawab Jere, membaringkan kepalanya di atas meja. Sepertinya ia akan melanjutkan tidur nyenyaknya di sekolah.
Sila tidak mau ambil pusing. Ia sudah cukup jenuh dengan masalah di hidupnya, dan sekarang wajar kan jika dia lebih tidak mau tahu lagi masalah Jere.
Gadis itu memutar kursi sepenuhnya ke belakang untuk berhadapan dengan Bian, lalu menepuk lengan lelaki itu. "Eh, gue udah nemuin lagu-lagu yang cocok untuk kita bawain di ulang tahun sekolah."
"Apa nih? jangan lagu Thailand." Celetuk Bian, ia mengatakan itu bukan tanpa alasan. Sila itu memang penggemar series Thailand. Tidak jarang saat pelajaran berlangsung, dia bisa tiba-tiba bernyanyi lagu bahasa Thailand yang bahkan membuat Bian ingin menyumpal mulut gadis itu dengan kaus kakinya.
"Yah, padahal ada beberapa lagu Thailand yang liriknya udah gue translate ke bahasa Indonesia." Sila langsung membuka dan merogoh sesuatu di dalam tasnya.
Bian mengernyitkan alisnya. Bersiap untuk menyaksikan keanehan apa lagi yang akan temannya perbuat.
Sila mengeluarkan secarik kertas yang sudah ditulis beberapa kalimat, lalu menunjukkannya kepada Bian. "Nih daftar lagunya, gue pilihin yang bener-bener bisa relate sama cerita anak sekolahan, misalnya kisah Jere yang ngenes karena gak pernah dapat cewek."
"Eh gue denger ya!"
"Peace, Jerr, hehe ... "
"Oke, kita ngumpul pulang sekolah aja." Kata Bian, belum selesai ia membaca semua daftar lagu-lagu itu, kertasnya sudah dikembalikan.
.
.
Sesuai janji beberapa jam lalu, sepulang sekolah, mereka akan berkumpul di ruang ekskul seni, atau lebih tepatnya studio musik. Sila pergi lebih dulu karena ia mau modus dengan si ketua ekskul yang juga akan ikut memantau perkembangan band mereka.
Semantara Bian, hidupnya dipenuhi oleh tingkah laku yang santai. Lelaki itu baru saja melepas kemejanya, hanya menyisakan kaos abu-abu polos di badan tegapnya. Kemudian menyelempangkan tasnya di bahu.
BRAK!
"Anjing!" Bian melompat kaget, ia berharap tidak ada yang melihat wajahnya saat itu.
Bian memandang kesal pada sosok yang membuka pintu dengan sangat kasar itu.
Satu orang, berjalan memasuki kelas yang lagi-lagi sudah sepi— sepertinya banyak insiden terjadi di kelas ini saat sedang sepi —dengan wajah tanpa keramahan sedikit pun.
"Lo yang bikin adek gue nangis."
...
Sialan. Kakak kelas yang tadi pagi berbuat onar di kantin kembali lagi.
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...