[CW : smoking.]
.
Bian tidak tahu sejak kapan ia mulai memandang Allen di sampingnya sekarang. Lelaki berambut coklat itu hanya melihat pemandangan di luar. Mereka sedang berada di sebuah kedai sederhana, duduk di balkon lantai dua.
Angin malam membuat rambut Allen bergoyang pelan, serta asap rokok yang sang senior keluarkan pun mengikuti arah angin.
Memang Bian yang awalnya mengatakan bahwa Allen harus mengenalnya lebih dekat. Ia merasa bahwa Allen itu orang yang kesepian. Semua perbuatan yang ia lakukan untuk Allen— dari saat mereka bertengkar di kelas, lalu di aula saat Allen menunggu Alice pulang, dan sampai detik ini, di balkon sebuah kedai —hanya didasari oleh keisengan. Tidak ada niat tertentu. Bian hanya senang saja menjadikan Allen teman beradu argumennya.
Bian selalu menganggap Allen hanya seorang pembuat onar di sekolah, julukan itu telah melekat pada Allen. Namun sekarang, perlahan pandangannya berubah.
"Kenapa mesti merokok?" tanya Bian. Membuat Allen sedikit berhenti menghisap rokoknya.
"Lo gak merokok, jadi gak tau rasa nikmat dan lega setelahnya." Jawab Allen.
Ada sesuatu yang sangat mengganjal, yang ingin sekali Bian utarakan pada seseorang di hadapannya ini. "Len, maaf, mungkin terkesan ikut campur tapi gue benar-benar pengen bilang ini."
Allen melirik sebentar, sebelum kembali melanjutnya sebatnya. "Dari awal lo memang sudah ikut campur urusan gue."
"Lo ... punya niat gak untuk sekolah?"
Pandangan Allen perlahan berubah menjadi sendu dari yang tadinya tajam. Sejenak Bian berpikir dan berharap bisa menarik pertanyaannya. Mungkin dia telah menyinggung perasaan Allen.
"Gue gak tahu. Gue bertahan sampai sekarang hanya untuk ... adek gue aja."
Kenapa kebanyakan seorang pembuat onar seperti Allen, memiliki latar belakang yang cukup— suram. Itu menyedihkan dan sangat disayangkan.
"Kalau begitu, Alice bisa jadi alasan lo untuk nyelesain sekolah dan ngelakuin yang terbaik." Ucap Bian. Memang mudah jika hanya memberi nasihat bermodalkan sebuah perkataam.
" ... gue memang pengen cepat selesai dari sekolah ini, lalu ngelakuin apapun yang seenggaknya ngebuktiin kalau gue ada gunanya juga." Kata Allen.
Bian berpikir, orang-orang seperti Allen, punya pemikiran yang abu-abu. Apa yang keluar dari mulutnya cukup membuat Bian yakin bahwa masa sekolah yang Allen rasakan tidak semenyenangkan kebanyakan orang.
"Tapi apa yang bisa gue lakuin? gue tahu kalau, seberusaha apapun gue, orang-orang bakal terus melihat bahwa gue ini ...apa ya? gak sepenting itu." Lanjut Allen.
Alis Bian mengkerut, "Kenapa mikir gitu?"
Allen melirik Bian, lalu pandangannya berubah menjadi seperti biasa, tidak ada lagi tatapan yang sendu. "Kenapa pembicaraan kita jadi seserius ini?"
"Memang salah?"
"Jangan sampai lo buat gue jadi gak mood untuk nyebat."
Tidak ada yang bicara lagi setelahnya. Pikiran Bian berkecamuk. Terus berangan apa yang ada di kepala Allen sekarang. Apakah seniornya itu mengalami masa yang sulit? Karena menurut Bian, entah kenapa setiap kalimat yang Allen ucapkan mengandung banyak arti dan makna yang tidak bisa ia pahami hanya dalam waktu singkat.
Bian juga tidak tahu ini adalah kali keberapanya memandang Allen dalam diam. Ada sebuah perasaan yang muncul. Ia ingin bisa menjadi tempat berbagi cerita untuk Allen, meskipun sekarang lelaki itu belum terbuka padanya, Bian merasa akan berusaha agar dirinya setidaknya bisa menjadi orang yang Allen percaya.
Bian tidak peduli jika dirinya mengenal Allen karena awalnya ia hanya membual kepada Alice soal dirinya yang gay dan menyukai Allen. Bian juga tidak peduli jika awalnya ia kesal dan menganggap Allen hanya pembuat onar tidak penting disekolah. Yang terakhir, Bian sekali lagi tidak peduli jika dirinya jatuh ke dalam kata-katanya sendiri. Jika dirinya memiliki perasaan tabu kepada Allen.
Bian berasumi meskipun sebenarnya ia berharap bahwa hal ini bukan sekedar asumsi semata, bahwa dirinya mulai menyukai Allen. Entah ini karma dan apakah ia harus senang ataupun marah, tetapi dengan Allen di depannya sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Dirinya juga bingung dan ada rasa bimbang.
Allen sadar bahwa terdapat sepasang manik hitam legam menatapnya sedari tadi. "Kenapa? lo heran kenapa ada orang yang mati segan hidup tak mau kayak gue?"
Bian menggeleng. Dengan satu tarikan napas, mulutnya terbuka, "Kalau ternyata, gue jadi beneran suka sama lo ... bagaimana?"
....
Allen kelihatan menghindari kontak dengan manik hitam Bian. Telinganya kelihatan memerah, entah karena malu atau kedinginan dengan angin malam. Lelaki itu hanya diam dan menghisap rokoknya beberapa kali. Sebelum akhirnya kembali menatap Bian.
"Jangan."
Bian masih belum melepas pandangannya, "Kenapa?"
"Karena gue bukan homo." Jawab Allen. Dirinya hanya menjawab hal yang sangat umum, padahal di lubuk hatinya, ia kebingungan untuk merangkai kata yang pas.
"Karena itu?" tanya Bian. Sejenak berpikir bahwa tidak mungkin dia memaksa Allen untuk merubah orientasi seksual hanya demi perasaannya, itu egois.
"Lo belum tahu kan, itu perasaan suka atau hanya—rasa kasihan terhadap gue?"
Alasannya adalah hal yang telah Bian duga. Allen pasti merasa semakin menyedihkan setelah pembicaraan serius tadi dan membuatnya berpikir bahwa hal yang Bian lakukan untuknya hanyalah atas dasar rasa kasihan. Ironis, tetapi Bian tidak ingin menyerah hanya sampai di sini.
"Bagaimana kalau gue mau buat lo untuk suka sama gue?" tanya Bian lagi. Dia tidak peduli jika disebut menjilat ludah sendiri. Pada akhirnya, dirinyalah yang harus menanggung perasaan ini. Perasaan yang awalnya hanya ia utarakan pada Alice dengan maksud mengelabui gadis itu. Perasaan yang membuat Alice merasa ditolak, hingga gadis itu mengadu pada kakaknya, Allen, sampai akhirnya membawa Allen bertemu untuk pertama kali dengan Bian.
Allen tersenyum, dipaksa, "Jangan ngawur. Gue gak mau jadi canggung."
Hanya cukup di sini. Untuk masalah perasaan, Bian sudahi, ia akan melanjutkan suatu saat nanti. Bian memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegak, lalu berdehem. Suaranya menjadi sedikit serak.
"Saat acara ulang tahun sekolah, lo datang gak?" tanyanya.
"Gak."
"Lo gak mau ngerasain asyiknya?" lanjut Bian.
"Gue gak pernah datang ke acara sekolah."
"Kalau gitu ulang tahun kali ini, lo harus datang."
Allen berjengit, "Untuk apa?
"Untuk liatin gue nampil ... ?"
...
"Setidaknya bakal ada peristiwa di SMA yang bener-bener bisa lo kenang sebagai kenangan yang indah." Bian tersenyum dan menaikkan sebelah alisnya.
Allen merasa, ia baru saja menahan senyumnya.
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...