Bian berusaha sebisa mungkin, memicingkan matanya, menatap lurus pada nametag di bagian kiri dada sang kakak kelas.
'Allen Yohanes'
Sang kakak kelas yang kini namanya sudah Bian ketahui itu bergerak maju, menarik bagian kerah kaos oblongnya dan mendorongnya ke belakang sampai punggungnya menyentuh loker besi cukup keras.
Bian masih berusaha tetap tenang dengan wajah lempengnya, kedua tangannya terangkat di depan dada, "Santai, bang. Dengerin gue dulu," Bian melepaskan tangan Allen dari kerahnya perlahan, "adek lo? Alicia?"
"Iya, lo tahu sendiri."
Bian berdehem, lalu bersikap seolah ia sedang merapikan baju kaosnya. "Sebenarnya ... itu bukan hal yang serius."
Tanpa aba-aba, Allen memukul loker tepat di samping kepala Bian. "Jadi maksud lo adek gue itu cuma mainan?"
"Gue gak bilang gitu." Bian menatap lurus Allen, "jadi gini, dengan lo datang ke gue sambil marah-marah, seolah-olah lo mikir kalau adek lo itu nangis karena perasaannya gue mainin. Begitu?"
Rahang Allen semakin mengeras. Ia tidak memedulikan rasa nyeri di tangannya yang baru saja memukul loker besi. Walau bagaimanapun itu cukup ngilu.
Namun sekarang Bian mulai maju, langkah demi langkah secara pelan. "Gue gak mainin adek lo, gue cuma nolak perasaannya."
Allen tidak tahu kenapa, tetapi pergerakkan Bian yang secara perlahan maju itu membuatnya harus mundur. Sampai kini keadaan berbalik, bokong Allen menyentuh tepi salah satu meja, kali ini giliran dirinya yang terpojokkan. Mata tajam Bian ternyata cukup mengintimidasi dan membuatnya susah menelan ludah.
"Berhenti basa-basi, sialan!" umpatan Allen sekaligus pertama kalinya ia melayangkan pukulan pada pipi Bian sampai menyebabkan pemuda itu terdorong mundur.
Bian menyeka pipinya, rasa ngilu membuatnya mengernyitkan alis. Kalau tahu begini, harusnya ia duluan yang bermain fisik. Hanya saja Bian masih menghormati senior itu.
"Sekali lagi lo macam-macam sama adek gue, jangan harap cuma dapat satu pukulan." Kata Allen, dengan emosi yang memuncak, terutama wajah Bian yang kebanyakan cengir semakin membuatnya kesal.
Bian tidak mau kalah. Sebuah ide baru muncul, namun sebelum itu ada beberapa hal yang berkecamuk dalam benaknya.
Pertama, kebenaran pasti bahwa Alicia memberitahu kepada Allen kalau dirinya baru saja ditolak oleh Bian.
Kedua, kebenaran yang belum jelas, apakah Alicia juga memberitahu kepada Allen bahwa Bian mengatakan ia menyukai kakak Alicia yang notabenenya adalah Allen.
Opsi kedua yang Bian artikan kalau Alicia tidak melakukannya, jadi idenya sekarang mungkin akan berhasil membungkam Allen.
Lagipula, Bian juga sudah terlanjur kesal pada senior di depannya ini yang telah menonjoknya dengan tangan kotor itu.
Bian langsung berniat membalas. Kemudian ia menarik kerah kemeja Allen dengan kasar, sampai-sampai salah satu kancingnya terlepas. Gerakan itu tentu mengejutkan Allen.
"Lo mau tahu apa yang gue bilang ke adek lo untuk nolak dia?" tanya Bian, tangannya masih bertengger di kerah Allen, membuat yang lebih tua berkedip beberapa kali.
Malu mengakui, harusnya Allen yang membuat Bian tunduk, bukan malah sebaliknya.
Bian memajukan kepalanya, sangat dekat dan makin dekat sampai jarak di antara mereka terkikis. "Gue bilang ke Alicia kalau ... " Bian beralih mendekat ke telinga Allen, seolah akan mencium benda itu. " ... gue lebih suka abangnya."
...
Tubuh Allen menegang dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Bukan, ia bukan homophobic.
Akan tetapi mendengar langsung kalau seseorang yang sedari tadi berdebat dengannya di kelas ini, tiba-tiba membisikkan hal yang tabu tepat di telinganya, membuat Allen bergidik ngeri.
Hening. Bian menunggu reaksi sang target. Marah? jijik? senang?
Sekarang jujur, Bian lebih memilih Allen untuk ia permainkan daripada adiknya. Pada akhirnya, walaupun secara tidak langsung, Bian memang berniat mempermainkan Alicia maupun Allen. Bian tidak bisa mengatakan bahwa dirinya bukan orang yang munafik.
"Ken—"
"Bian, lama banget—"
Bian dan Allen menoleh pada sumber suara. Terlihat sosok Sila di ambang pintu, diam dan melotot ke arah mereka dengan mulut terbuka. Sementara Allen ikutan terkejut saat menyadari bahwa posisi mereka masih berdempetan dengan tangan Bian mencengkeram kerah bajunya.
Bian tahu soal apa yang selanjutnya dipikirkan Sila mengingat gadis itu adalah tipe-tipe delusi ketika melihat sesuatu yang fenomena.
Allen menepis tangan Bian dari kerahnya dan mendorong sang adik kelas menjauh dari jalannya. Sebelum pergi, ia memberi tatapan sangat sinis kepada Bian.
.
.
"Ngapain aja lo di kelas? nge-vlog?" omel Niki, seorang drummer band mereka. Bagaimanapun Niki adalah yang paling tua dan tepat waktu di antara mereka, sudah jelas dihormati.
"Dia nganu sama kak Allen—aw!" Sila tidak berhasil menyelesaikan kalimat itu karena kepalanya lebih dulu Bian jitak.
"Hah? maksudnya?" tanya Niki lagi.
Sila berdehem, "Dia kayaknya lagi berantem sama kak Allen di kelas."
Niki semakin heran, lalu memandang Bian, "Ngapain lo sama Allen? jangan berurusan sama dia. Repot."
Zafran yang berposisi sebagai bassist, akhirnya ikut bergabung dalam pembicaraan. "Tadi pagi gue denger bang Allen buat keributan di kantin, ya."
Dari semuanya, dapat Bian simpulkan bahwa teman satu band telah lebih dulu mengenal Allen. Mungkin memang dirinya saja yang kurang mengenal nama-nama siswa pembuat onar di sekolah.
Akan tetapi mata Bian diam-diam melirik Sila. Gadis itu terlihat menahan senyum. Sedari perjalanan saat mereka menuju ke studio, Sila memang berusaha menutupi rasa tidak tahannya setelah memergoki Bian dan Allen di kelas.
"Oke," Niki menepuk tangan, meminta perhatian ketiga yang lainnya, "Ayo kita mulai tentuin lagu."
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...