[ CW : kiss.]
.
Di tengah-tengah acara mereka menghabiskan beberapa potong martabak manis, ponsel Allen berdering, dan itu malah mengganggu Bian yang sedang asyik memandangi Allen makan.
Bucin.
"Ya, Alice?"
Oh. Adiknya ternyata. Mengganggu saja. Pikir Bian.
Namun ada yang lebih penting sekarang. Melihat bagaimana Allen menunjukkan raut wajah yang tidak biasa. Seakan semuanya siap untuk tumpah.
Yang lebih tua menghela napas berat untuk kesekian kalinya hari ini. Memutuskan sambungan telepon lalu menyimpan kembali ponselnya di dalam saku.
"Gue ... mesti gimana ya ... " gumam Allen, lalu mengusap wajahnya. Bian hanya diam melihatnya.
Sekarang Bian mengerti seberapa buruknya suasana hati Allen.
"Lo bayangin. Gue laki-laki, anak pertama. Tapi gue gak bisa apa-apa, dan itu karena sejak awal gue diperlakukan seolah gue gak punya arah dan tujuan," ucap Allen. Tiba-tiba ia tidak peduli dengan siapa bercerita. Semua itu keluar begitu saja. "Rasanya kesal." Semua kata itu penuh penekanan.
"Gue cowok. Gue gak bisa jadi yang orang lain harapkan, tapi itu bukan berarti gue gak berusaha. Sampai di titik gue bingung harus gimana lagi dan akhirnya memutuskan untuk menjadi seperti sekarang."
Semakin lama, kepala yang lebih tua menunduk, menutupi wajah dengan tangannya. Menghela napas lagi, dan helaan itu makin terdengar seperti isakan. Isakan yang cukup pilu namun bersusah payah disembunyikan.
Rasanya dada Allen semakin sesak saat dirinya berusaha menekan dalam-dalam isak tangisnya.
Lagi-lagi kalimat 'Karena gue lelaki, gue gak akan memperlihatkan tangis gue' lewat di benak Allen, mengetahui itu prinsipnya.
Dan untuk kali ini ia gagal menerapkan prinsip itu, gagal di hadapan Bian.
Sementara sang lawan bicara sedari tadi hanya diam memandang dan mendengarkan. Bian akan membiarkan Allen mengeluarkan semuanya sampai lega. Hatinya mencelos saat isakan itu terdengar pilu.
Tangan Bian bergerak ke belakang kepala Allen, lalu ia menggerakan jemarinya untuk mengelus-elus kepala yang lebih tua, memberikan sentuhan lembut pada tiap helaian rambut coklat Allen. Terus dilakukan sampai isakan Allen berkurang, sampai lelaki itu mengusap air mata dengan punggung tangannya.
"Sorry," ucap Allen, kesusahan mengeluarkan suara paraunya. "Gue jadi baper."
Bian menarik tangannya kembali, "Gue antara senang dan sedih lihat lo nangis."
Allen tidak ingun sedikitpun bertatapan mata dengan Bian. Tidak sampai matanya kembali bersih dari air mata sedikitpun. Namun sebuah sentuhan lembut walau bertekstur kasar mengejutkan Allen dan membuatnya memandangan Bian di samping.
Yang lebih muda mengeluskan tangannya ke pipi Allen. Menghapus jejak air mata di kulit halus itu.
Masa bodoh jika Bian mendapati dirinya didamprat Allen jika dianggap mencari kesempatan. Yang ia inginkan sekarang hanyalah memberi perasaan nyaman pada seseorang di sampingnya yang sedang bergelut dengan batin.
"Gak papa," ucap Bian. "Cowok juga boleh nangis."
Apa yang Allen lakukan sangat mengejutkan Bian. Lelaki itu mengenggam tangan Bian yang masih bersemayam di pipinya. Membawa tangan yang lebih muda untuk turun, kemudian lanjut menggenggamnya erat di atas meja.
Bian sedikit terperangah mendapati perlakuan yang— sangat bukan Allen.
Allen mendongak, tidak mempedulikan pemikirannya beberapa menit lalu untuk tidak menatap Bian dengan wajah sembabnya. Sekarang, ia ingin melihat orang di sampingnya yang entah kenapa datang membawa perasaan tenang saat dirinya terjatuh.
Bian memandang Allen, menelisik setiap wajah yang lebih tua, memperhatikan mata merah yang sembab itu, raut wajah yang seakan pasrah pada kondisi apapun.
Bian tidak mau. Tidak akan pernah mau melihat wajah yang begitu. Hatinya sakit dan merasa seharusnya dia bisa menjadi setidaknya yang terbaik dan mampu membuat wajah yang biasanya sombong itu kembali seperti semula.
Detik berikutnya, Allen tidak tahu dan hanya merasakan sebuah benda kenyal mendarat di bibirnya. Saat ia membuka mata, dirinya mendapati wajah Bian yang sangat dekat, tidak ada jarak lagi, dan kedua bibir mereka saling bertaut. Tidak ada tenaga bagi Allen untuk memberontak dan menonjok Bian karena seenaknya merebut ciuman pertamanya. Namun satu hal yang memberi rasa amat nyaman— tidak ada pemaksaan dari ciuman itu. Tidak ada nafsu dan hanya ada afeksi yang Bian salurkan padanya.
Hanya sebentar, namun waktu terasa layaknya berhenti. Hal yang beruntung karena sebelumnya mereka memilih meja di pojok sehingga tidak terlalu menjadi pusat perhatian pembeli lainnya.
Bian menjauhkan bibirnya dari Allen, sementara tangannya masih setia berada di tengkuk yang lebih tua, mengusap-usap dengan lembut.
"Silahkan kalau setelah ini lo mau ngehajar gue," celetuk Bian, "Tapi gue mohon, jangan menghindari gue."
Allen masih menatap Bian. Setengah tidak percaya bahwa dirinya baru saja melakukan hal intim dengan seseorang yang beberapa waktu lalu sempat menjadi orang yang ia benci.
Tidak ada yang bicara lagi setelah itu. Perasaan Allen menjadi lebih tenang dan itu membuat Bian merasa lega. Mereka hanya saling membisu, terkadang bertukar pandang seakan sedang bertelepati.
Sampai akhirnya yang membuat Allen kepikiran bukanlah masalahnya dengan sang ayah lagi, tetapi hubungannya dengan Bian yang semakin rumit.
Bahasa kerennya itu, complicated.
Akan tetapi rumitnya itu berbeda, Bian yang memenuhi pikirannya bukanlah hal buruk. Entah kenapa saat berada di rumah, bersama dengan kasur empuk kesayangannya, tiba-tiba senyum samar Allen merekah. Kini dirinya seperti orang gila yang tersenyum sendiri memandang langit-langit kamar.
Segera senyum dan segala pikiran di benak Allen buyar ketika ketukan pintu kamarnya terdengar.
"Kak, Allen ... "
Allen menoleh ke pintu. "Masuk aja."
Alice membuka pintu dan melangkah, lalu duduk di pinggir ranjang sang kakak. "Disuruh Ayah lihatin Kakak."
"Tumben."
"Ayah mau tahu, siapa yang tadi antarin kak Allen pulang."
Bian?
Agak susah juga kalau Alice tahu, sebenarnya.
"Temen gue, bilangin Ayah gak usah mikir aneh-aneh. Gak penting juga."
Alice berdecak. "Bukan itu masalahnya."
Allen mendudukkan dirinya, "Terus apa? si Tua Bangka repot amat." Dia langsung mendapat pukulan dari bantal yang dipegang Alice.
"Mulutnya! itu Ayah lho."
Allen membuat gestur tidak peduli dengan sorot matanya. "Jadi masalahnya apa?"
"Masalahnya, karena yang antarin kakak pulang bukan Kak Dhani ataupun Kak Wira. Ayah kan gak tahu kalau kakak punya teman dekat selain mereka." Jelas Alice.
"Bian."
" ... Ha?"
Allen berdecak dan menatap Alice, "Itu Bian."
Alice terdiam. Menampilkan raut wajah yang— bukan kecewa ataupun iri.
"Maaf kalau buat lo gak nyaman."
Alice mangacungkan tangan guna menginterupsi kakaknya, "Gak. Kalau kakak pikir aku akan marah, kecewa ataupun nangis, salah besar. Karena aku sebenarnya bingung— apa jangan-jangan kalian memang ada sebuah hubungan?"
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...