18

2.3K 208 5
                                    

Allen tidak menyukai situasi ini. Mata tajam Dhani dan Wira seolah mengulitinya sejak lima menit yang lalu. "Lo berdua ngapain sih, sat?" akhirnya ia bertanya dengan kesabaran yang sudah menipis.

"Serius, Len, gue mau nanya," ucap Dhani, wajahnya sangat serius begitu juga Wira. "Lo homo?"

Allen muak dan bosan. Jika saat di rumah ia akan bertemu adiknya yang terus-menerus menanyakan hal yang sama, meskipun bukan pertanyaan langsung tetapi ia tahu dan merasakan bahwa ketika obrolan dengan Alice dimulai, maka secara tersirat itu menyimpan perihal orientasi seksual dirinya.

Allen memutar bola matanya menunjukkan ekspresi jengah. "Bosan gue dengan pertanyaan itu."

Wira sedikit melotot, lalu mendekat, "Jadi beneran, bang? kok ... gue gak nyangka ... "

Jangankan Wira, Allen sendiri juga tidak menyangka dirinya akan menjadi seseorang yang mungkin dianggap menjijikan oleh orang lain.

Meskipun tak bisa dipungkiri Allen menolak terang-terangan ketika Bian menyatakan perasaan dan berusaha menggodanya. Akan tetapi titik puncaknya adalah ciuman pada malam itu, di kedai martabak.

Terlintas di pikirannya, apakah harga diri Allen hanya sebatas ciuman pada bibir? Apakah saat itu dia hanya baper karena suasana hatinya sedang buruk? Baiklah, kesampingkan dulu pertanyaan tanpa jawaban itu.

Kita berlanjut pada kejadian siang kemarin. Ciuman secara paksa di gudang sekolah. Allen yakin bahwa Bian dapat mengenali sedikit rasa kasar dari rokok yang beberapa waktu sebelum ciuman bersemayam di bibirnya. Dia juga melayangkan pukulan keras kepada Bian guna menunjukkan kekesalannya. Padahal sebenarnya ia tidak menolak dan tidak menyangkal kalau dirinya juga menikmati ciuman itu.

Dari semua pernyataan di atas, Allen masih ingin menyangkal bahwa dirinya gay.

"Gue bukan homo— " ucap Allen. "—kayaknya," lanjutnya.

"Bian yang bikin lo jadi homo?" tanya Wira.

"Gak tau juga."

"Tapi lo gak suka gue kan?" tanya Dhani. Pertanyaan yang sangat mengundang Allen untuk mengumpat.

"Jangan bikin gue nambah dosa dengan ngatain lo ya, Dhan."

Dhani meringis. Kini mereka kembali menyantap sisa gorengan. "Len, gue serius? lo beneran suka cowok?"

"Gue gak suka cowok— "

Baru saja Wira membuka mulut untuk bicara namun kepalanya ditepis dari belakang oleh Dhani. "Jangan motong, Allen masih lanjut ngomong."

"— tapi kayaknya pengecualian untuk Bian."

Dhani melotot, "Lo beneran suka sama bocah itu?"

Allen menelan ludah, tenggorokkannya terasa kering dan menjadi sulit untuk mengatakan sesuatu. Sebelum menjawab pertanyaan Dhani, ia berdoa dalam hati. "Perasaan gue bilang iya, tapi logika gue gak."

Dhani sepertinya butuh waktu untuk mencerna pola pikir sahabatnya itu, begitupun Wira.

"Lo berdua masih mau temenan sama gue?" tanya Allen, membuat mereka bertiga sedikit gugup.

"Kita udah temenan lama, mau gimanapun, apa yang bisa kita lakuin? ini hidup lo, Bang." Jawab Wira sembari menginjak sisa puntung rokoknya.

Dhani bergerak gelisah, tampak tidak tenang, lalu mendekat dan memegang bahu Allen dengan satu tangannya. "Len, gue— "

Allen diam dan menunggu kalimat gantung itu. Namun yang didapat hanya helaan napas pasrah dari Dhani. Lelaki itu menepuk pelan bahu Allen beberapa kali, lalu dengan tatapan yang sulit diartikan, ia beranjak pergi.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang