Allen Yohanes. 12 IPS 3.
Banyak yang bilang kalau dia itu anak nakal, tetapi sebenarnya tidak bisa juga dibilang sepenuhnya bandel, dia hanya tipe yang sedikit memberontak. Tidak terlalu suka jika diatur dan punya prinsip sendiri.
"Hidup gue, ya urusan gue, selama masalah masih bisa gue selesain, jangan ikut campur."
Terdengar egois memang, tetapi akhirnya ialah yang sering menjadi pemimpin. Lebih tepatnya, ia paling pantang meminta bantuan orang lain, paling tidak ingin orang lain repot karenanya dan paling tidak mau berhutang budi pada orang lain.
Satu hal yang paling akan membuatnya marah adalah jika seseorang berani berurusan dengan adiknya.
Bisa dibilang, Allen tidak akan menyenggol jika tidak ada yang memulai.
Bersama dengan kedua sobat sejak lamanya, Riandhani Wijaya (Dhani, 12 IPS 3) dan Abimana Prawira (Wira, 11 IPA 2), mereka kerap kali berkeliaran di sekitar sekolah, terkadang cukup lantang, menimbulkan kesan bandel bagi murid lainnya.
Tempat mereka biasa bersemayam adalah kantin Pakde Uyon, karena posisinya yang strategis. Di belakang warungnya Pakde adalah pagar belakang sekolah yang telah mereka permudah menjadi jalan pintas untuk keluar.
Dan biasanya lagi, Allen yang paling banyak bicara dengan suara nyaring, entah menceritakan kekonyolannya sendiri atau hal-hal absurd lainnya. Namun kali ini, Wira sebagai yang paling muda bingung dengan senior sekaligus teman semasa kecilnya itu.
Sejak sedari pagi, Allen seperti menampung beberapa pokok pikiran dalam otaknya.
"Len, diam-diam aja?" pertanyaan Dhani juga mewakili Wira.
"Gue lagi mikir." Jawab Allen, lalu kembali menyedot es kiko nya.
Jangan salah paham. Rokok mereka habis dan nongkrong dengan tangan kosong itu kurang mantap. Alhasil Pakde Uyon menawarkan es kiko, daripada tidak sama sekali.
"Mikir apa bang? lo gak jadi ngehajar Bian?" tanya Wira, meskipun ia berharap Allen benar-benar tidak melakukannya. Wira merasa tidak enak mengingat Bian adalah teman sekelasnya.
"Memang gak jadi."
Wira ber-yes dalam hati.
Dhani membuang plastik bekas es kikonya yang sudah habis dan mendekati Allen. "Kali ini lo butuh bantuan kita?"
Mata Wira melotot. Kemudian melirik Allen yang mana lirikannya dibalas dengan datar.
"Gak usah, ada kejadian gak disangka."
"Apa?"
"Kemarin temen ceweknya masuk ke kelas. Gue gak bisa ngehajar bocah itu di depan orang yang gak punya urusan."
Wajah Dhani berubah tidak percaya. "Terus lo berhenti? biasanya halangan sekecil apapun lo gak bakal berhenti. Kayaknya emang lebih baik kita keroyokin."
Wira duduk tegak, "Jangan, bang!"
"Kenapa? lo takut karena dia temen sekelas lo? yang namanya Bian udah bikin Alice nangis lho, Wir." Dhani menaikkan sebelah alisnya, menggoda Wira.
Melihat itu Wira lagi-lagi melirik Allen, berharap lelaki itu tidak mengerti maksud dari gestur alis naik turun yang Dhani lakukan.
"Gue emang masih marah banget sama itu bocah ..." kata Allen.
"Makanya ... apa lebih baik kita hajar lagi aja?" Usul Dhani, lagi-lagi dapat tentangan dari Wira.
"Gue pengen ngehajar langsung, tapi ... " kalimat Allen menggantung.
"Tapi apa?"
Tiba-tiba ingatan saat perdebatan Allen dan Bian kembali terputar di memori Allen. Apalagi saat Bian membisikkan kalimat tabu itu. Seketika tekadnya untuk membalas perbuatan si adik kelas luntur.
" ... tapi gue gak mood."
Mendengar jawaban yang 'bukan Allen banget' itu membuat Dhani mengetukkan kepalanya ke meja kayu kantin.
Mulut Dhani bergerak, seolah bicara namun tidak bersuara. Dari yang Wira tangkap, Dhani seperti mengatakan 'Ada yang aneh dengan Allen.'
.
.
"Sawdhee khaa' Ai' Yahdi.."
Telinga Bian dan Zafran sudah cukup panas mendengar Sila memberi salam kepada Yahdi dengan bahasa Thailand.
Siapa yang tidak tahu diantara mereka bahwa Sila itu naksir dengan Yahdi, anak teater sekaligus ketua ekskul seni. Namun selama ini Yahdi hanya bertingkah cuek dan itu semakin membuat Sila gemas. Kasihan Yahdi.
"Band cuma kalian yang tampil?" tanya Yahdi, tidak memedulikan Sila yang curi-curi pandang padanya.
"Yang benar-benar pasti memang baru kami." Jawab Niki.
"Gini bang Nik, lagunya kalau bisa jangan yang mellow, ini kan acara ulang tahun sekolah, jadi pakai yang instrumennya asik."
"Gampang itu Yahd, serahin aja sama gue." Sila langsung menimpali sambil menepuk bahu Yahdi, membuat lelaki itu kaget.
"Lagu Zona Nyaman recommended tuh." Usul Yahdi, sebelum akhirnya pergi, kembali berkumpul dengan anak-anak seni lainnya di ruang utama.
.
.
"Bian, lo bawa motor?" tanya Sila. Bian tahu kemana pembicaraan ini akan berlabuh.
"Mau nebeng?"
Sila mengangguk dengan cengiran tanpa dosa khas miliknya. Biasanya Sila selalu menumpang dengan Jere, namun lelaki satu itu tidak ada kepentingan di sekolah sampai harus pulang terlambat seperti yang lainnya.
Begitu sampai di parkiran, Bian memberikan helm kepada Sila dan mulai men-starter kendaraan roda dua kesayangannya. Dirinya sedikit risih ketika Sila menepuk punggungnya, awalnya pelan, tetapi makin lama semakin brutal.
"Bian!"
"Apaan?"
"Itu kak Allen bukan?"
Pandangan Bian mengikuti ke arah Sila memandang. Benar saja, di parkiran ujung, Allen sedang mengeluarkan motornya dengan seorang perempuan yang menunggu.
Saat perempuan itu naik ke jok belakang, kemudian motornya melaju dan melewati mereka. Tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu. Allen melihatnya dengan sorot mata yang tajam dan kuat.
Berbeda dengan Bian, sebelum pandangan mereka semakin jauh dan terlepas, Bian sempat-sempatnya memberikan senyum samar pada sang kakak kelas.
"Itu dia sama adiknya kali ya, si Alicia." Gumam Sila.
...
"Btw, kemaren itu lo ngapain sama dia? gue curiga- "
"Bacot, nenek lampir."
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...