Jeremy Samudra, atau biasa dipanggil Jere.
Lelaki dengan rambut cepak bewarna coklat kemerahan itu termangu saat memasuki kelas begitu melihat sosok seseorang. Bukan, bukan hantu atau apapun yang mengerikan, melainkan sahabatnya sendiri, Bian.
Bukannya sombong. Jere selalu menjadi orang yang datang paling awal. Begitu melihat sosok Bian sudah lebih dulu duduk manis di kelas sebelum dirinya, Jere merasa tidak terima.
Jadi begini rasanya ditikung sahabat sendiri.
"Tumben lo datang pagi? biasanya datang saat detik-detik bel masuk bunyi." Kata Jere, lalu duduk di samping Bian.
Bian tak merespon, lebih mementingkan game point blank di ponsel pintarnya. "Biasa aja kali, kayak lihat setan aja."
Jere sedikit melirik permainan yang Bian tekuni. Kemudian ia berdiri, berhasil membuat Bian menoleh dari gamenya.
"Mau kemana lo?"
"Kantin, sarapan." Jawab Jere, sambil melenggang pergi, seolah tak ada beban di hidupnya.
Terkadang Bian heran dengan sahabatnya sejak SMP itu. Jere selalu datang pagi tetapi juga selalu melewatkan sarapan. Padahal seharusnya jika datang pagi, pasti bangunnya lebih pagi dan segala aktivitas lain telah selesai.
Akan tetapi, bagaimanapun Bian tak pantas berpikir begitu mengingat dirinya juga sering teledor di pagi hari.
Bian kembali sendirian di kelas. Perasaannya tidak enak mengingat kelas ini menjadi saksi bisu atas insiden pernyataan cinta Alice kemarin. Kalau dipikir lagi, Bian saja tidak kenal secara personal yang mana kakaknya Alice. Namun ide untuk mengatakan bahwa ia menyukai kakak gadis itu mengalir tiba-tiba.
Sepersekian detik berikutnya, Bian bangkit, berniat menyusul Jere ke kantin. Saat menelusuri koridor, ia menyadari bahwa pagi ini cukup sepi. Padahal sudah pukul setengah tujuh, tetapi beberapa kelas tampak masih sunyi.
Apakah dirinya yang tidak tahu bagaimana keadaan sekolah di pagi hari karena biasanya selalu datang saat bel masuk hampir berbunyi, atau memang sedang libur dan hanya ia dan Jere yang tidak tahu?
Pertanyaannya terjawab begitu memasuki dan melihat segerombolan murid berkumpul di bagian tengah kantin. Cukup mengundang rasa penasarannya, walaupun ia yakin bahwa itu sudah pasti adalah sebuah perkelahian.
Suara sorak para murid menghancurkan ciri identik dari pagi hari yang tenang. Para penjual ikutan menonton dari kedai mereka dengan pandangan miris. Kantin yang seharusnya menjadi tempat untuk berbagi cita rasa kini berubah seketika menjadi tempat tontonan sebuah perkelahian yang alasannya tidak jelas.
Mempunyai tujuan mencari sang sahabat, Bian menerobos para murid kurang kerjaan yang seharusnya berusaha melerai, tetapi malah menonton saja sambil provokasi.
Mata Bian membulat saat mendapatkan bahwa Jere terlibat dalam perkelahian ini. Wajah Jere terlihat cemas dan gugup saat seorang lelaki meremas kerah bajunya. Bian tidak bisa diam saja, bisa repot kalau Jere sampai babak belur dan mati.
Bian bergerak masuk, muncul di antara Jere dan sang lelaki yang hampir saja menghajar sahabatnya itu. "Woi santai, ada apa nih?" tanyanya, langsung berhadapan dengan lelaki itu.
Sebetulnya, Bian tidak kenal siapa lelaki ini. Wajahnya cukup sangar. Tiga kancing kemeja bagian atasnya terbuka, serta rambut coklat dengan poni berbentuk koma yang acak-acakan. Itulah penampilan lelaki yang menyebabkan keributan di kantin sekarang.
Akan tetapi perawakan lelaki ini tidak asing. Ia sering melihatnya berkeliaran di sekolah bersama para antek-anteknya. Dan Bian menyadari, bahwa orang dengan penampilan berantakan ini adalah sang pembuat onar.
"Siapa lo?" tanya si lelaki, rahangnya mengeras, setengah membentak.
"Cuma mau bilang, kalau gue teman orang yang mau lo hajar ini." Jawab Bian, sambil melirik Jere di sampingnya.
Lelaki itu maju mendekat, lalu sedikit mendongak untuk menatap Bian, menusuk dengan mata tajamnya.
Bian akui bahwa lelaki ini lebih pendek darinya dan Jere, namun selisihnya tidak terlalu jauh. Lalu kenapa Jere tidak melawan balik saja?
Pertama, Bian yakin bahwa Jere menyadari kalau lelaki ini adalah kakak kelas. Jere paling anti dan tidak mau masa sekolahnya dipakai untuk berurusan dengan kakak kelas pembuat onar.
Kedua, Bian yakin, Jere tidak suka menjadi pusat perhatian seperti peristiwa sekarang ini. Lagipula Bian juga setuju untuk diam dan tidak melawan, apalagi kakak kelas preman di depannya sedang dalam kondisi emosi yang meluap-luap, pasti akan menyebabkan hal yang lebih daripada sekedar onar.
"Lo yang namanya Kenan Biantara?"
Wow.
Kakak kelas preman ini mengenalnya?
Bian tahu wajahnya tampan, apalagi jika mengingat dirinya adalah anggota sebuah band. Sangat memudahkan siswa-siswa di sekolah mengenalnya. Tetapi apa perlu kakak kelas preman pembuat onar mengenalnya juga?
"Iya, gue Kenan Biantara."
Mendengar jawaban Bian, sang kakak kelas dan para antek-antek di belakangnya seolah mendapat hadiah dan merasa puas.
Sang kakak kelas preman menoleh ke arah antek atau teman atau apanya itu.
"Bubar bubar! balik ke kelas lo pada!" Teriak salah satu antek-anteknya kepada gerombolan murid.
Kakak kelas itu kembali mendekat, memperlihatkan ekspresi marahnya. "Berani lo main-main sama adek gue."
Setelah mengatakan itu, para pembuat onar pergi. Meninggalkan Bian dengan segala pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.
Sementara Jere hanya diam dengan mulut terbuka. Merasa baru saja melihat adegan drama anak sekolahan.
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Ficção AdolescenteAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...