Allen tidak tahu dan tak mau tahu kenapa Bian bisa muncul di depannya seperti hantu.
Adik kelasnya itu duduk bersandar, melihat dirinya mengisi soal yang makin lama semakin menyebalkan. Allen menggaruk kepalanya, sirat keputusasaan mulai terlihat di manik jati itu.
"Ngapain lo?" celetuk Allen. Hanya dibalas dengan senyuman dari Bian.
"Lo gak ngerasa aneh, atau canggung gitu saat gue disini?" tanya Bian.
Pertanyaan bodoh. Bocah itu tidak tahu bahwa Allen berusaha mati-matian untuk tidak terlihat grogi dengan menunjukkan sikap kasarnya seperti biasa.
"Kalau perasaan aneh pasti ada. Apalagi setelah pembicaraan malam itu." Jawab Allen, lalu mengambil penghapus.
"Gak apa-apa kalau lo gak suka gue, tapi jangan paksa gue untuk berhenti suka sama lo. Gue menikmati perasaan ini dan ini tanggung jawab gue." Kata Bian. Kini ia melipat tangannya di atas meja dan semakin lekat menatap Allen.
Allen mengangguk-angguk sok mengerti, "Bagus, karena gue bukan homo."
Alis Bian terangkat sebelah, lalu tersenyum samar, "Gue juga bukan homo."
Gerakan tangan Allen yang menghitamkan lembar jawaban terhenti. "Apa-apaan, jadi yang lo bilang malam itu nunjukin kalau lo bukan homo?"
Bian diam namun matanya yang menatap Allen seolah bicara.
Barulah ia bersuara. "Gue Allensexual."
Apa-apaan?
Walaupun tahu Bian bercanda, Allen tetap tidak bisa menyembunyikan rona merah yang tanpa keinginan muncul memenuhi wajahnya. Ia menutup mulutnya dan menoleh ke samping, sebisa mungkin menyembunyikan rupa wajahnya dari Bian.
Sementara sang pelaku yang menyebutkan kata baru itu hanya tetap tersenyum melihat tingkah yang lebih tua.
Setelah rona merah di wajahnya padam dan detak jantungnya kembali normal, Allen kembali menghadap ke depan. Kini ia memasang ekspresi pemarahnya seperti biasa namun kelihatan dipaksakan.
"Kalau lo disini cuma buat gue tambah susah ngerjain soal, mending lo pergi." Omel Allen. Sejak kedatangan Bian, ia yakin separuh jawaban yang dia isi berdasarkan sumber dari otaknya yang ngawur.
"Lo boleh jadi Biansexual juga kalau mau."
Kan. Kalimat itu lebih kacau lagi. Semakin membuat Allen ingin berteriak frustasi jika tidak mengingat bahwa sekarang sedang berada di perpustakaan.
Selanjutnya Allen tidak membalas omongan Bian dengan bahasa sarkas andalannya. Lelaki itu mau tidak mau harus fokus pada soal yang ia kerjakan, dan tidak boleh terganggu dengan Bian yang masih saja memandangnya. Rasanya seperti ujian dengan pengawas yang siap menerkam kapan saja.
Pergerakan Bian semakin mencondongkan badan ke arah Allen. "Itu bukan konjungsi." Celetuknya, mampu membuat Allen menurut dan menghapus jawabannya yang salah.
Hening lagi. Sepertinya Bian tahu bahwa keberadaannya membuat Allen semakin tidak fokus. Ia tidak mau jika dirinya sendirilah yang menyulitkan Allen. Jadi dia berhenti bicara tentang hal ambigu yang memperjelas perasaannya.
"Lo selalu milih jawaban yang panjang." Kata Bian, matanya tertuju pada pilihan opsi C, dimana jawabannya menunjukkan kalimat panjang yang memakan waktu lama jika dibaca.
Allen berkedip polos, dan di mata Bian, itu terlihat lucu. Oke, dirinya mulai bucin, dan itu sulit dipercaya.
"Bukannya jawaban yang panjang itu biasanya betul?" Allen kembali bertanya, sambil memainkan pensilnya.
Bian tertawa, membuat Allen langsung melempar penghapus ke arahnya, namun memang pada dasarnya Bian cekatan, penghapus kecil itu berhasil ia tangkap.
"Balikin penghapus gue!" cerca Allen.
"Bahasa Indonesia itu lo harus banyak baca soalnya, kalau perlu berkali-kali supaya paham." Jelas Bian.
Allen menghela napas.
"Membaca itu jendela dunia, lho," sambung Bian lagi. "Apalagi baca perasaan."
Kalimat terakhir membuat Allen ingin sekali menjatuhkan rak buku di belakangnya tepat ke arah Bian.
.
Mereka berjalan bersisian di koridor. Wajah Allen sudah kelihatan sangat capek. Capek pikiran lebih tepatnya.
Bian memeriksa ponselnya. Lalu menyimpan benda pintar itu kembali ke dalam saku. "Len—"
"Bang Allen."
Bian menghela napas, "Bang Allen~ boleh pinjam ponsel lo sebentar? gue mau nelpon seseorang."
Allen melirik sinis, "Ponsel lo kenapa?"
"Lowbat."
Alasan klasik, namun entah kenapa, Allen terlalu capek berpikir, dan langsung saja memberikan ponsel— yang sebenarnya tidak terlalu penting baginya —kepada Bian.
Bian mulai mengotak-atik ponsel yang lebih tua. Lalu wajahnya menyeringai puas. Setelah itu mengembalikan benda persegi panjang itu kepada sang pemilik.
"Gak jadi nelpon?" tanya Allen.
"Sebenarnya gue cuma mau minta ID Line lo." Setelah itu Bian tertawa pelan. "Seenggaknya lo aktif di Line daripada sosmed yang lain."
.
.
Wira dan Dhani dengan santainya berselonjoran di sofa ruang tamu rumah Allen.
Sang pemilik rumah datang sambil membawa satu bungkus snack, tidak lupa rokok. Terkadang jika mereka bertiga sudah merokok, Alice datang dan marah karena asap mereka mengganggu.
"Gila." Gumam Wira.
"Heh, apa lo bilang?" sahut Dhani, tangannya sibuk membongkar playstation Allen yang sudah jadi mainan mereka sejak kecil.
"Lo berdua lagi sibuk dengan urusan sekolah kan, latihan ngerjain soal lebih penting dari pada main ps." Wira mendadak menjadi penasihat.
"Jangan kebanyakan belajar, nanti kepala lo meledak, entar repot." Balas Allen, tangannya mulai memegang joystick dan memilih game apa yang akan mereka mainkan.
Bukannya Wira sok kerajinan, jika menjadi Allen ataupun Dhani, dia pasti tetap akan bermain juga demi kesegaran otaknya. Tapi dia hanya khawatir jika ayah Allen tahu bahwa anaknya tidak ada persiapan sama sekali untuk ujian, maka Allen akan habis diberi pelajaran.
"Bokap lo gak dirumah, Len?" tanya Dhani, di sela-sela permainannya melawan Allen.
"Gak. Seberapa sering sih itu orang tua disini." Sepertinya mulut Allen memang perlu di filter.
Tepat saat itu juga, bunyi mobil parkir di pekarangan rumah megah itu terdengar. Tak lama, derit pintu menandakan bahwa seseorang yang mereka bicarakan baru saja kembali.
Seketika wajah Allen menjadi datar. Membayangkan wajah ayahnya yang sama sekali tidak pernah menunjukkan kebanggaan terhadap dirinya, semakin membuat Allen ingin menghilang saja untuk sekarang.
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Fiksi RemajaAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...