07

4.7K 356 15
                                        

"Lo dimusuhin sama Bang Allen, kan."

Allen lagi, Allen lagi.

Akhir-akhir ini Bian jadi sering mendengar nama Allen. Mungkin karma atas omongan dustanya bahwa ia menyukai Allen.

"Gue yang ngasih tahu ke dia kalau kita temen sekelas. Gue bingung di pihak siapa. Satu sisi, Bang Allen itu temen gue dari kecil, sisi lain lo juga temen sekelas gue."

Oh oh. Dalam hati, Bian mengangguk paham. Dia tidak menyadari kalau Wira adalah salah satu dari antek-anteknya Allen.

Bian menepuk bahu Wira lagi, mencoba membuat situasi menjadi sewajarnya. "Gak papa lah, lagian, Allen gak ngapa-ngapain gue. Santai aja. Gue seneng malah bisa berurusan sama Kakak kelas yang satu itu."

Iya, dia memang senang.

Berbicara dengan Wira, membuatnya menyadari bahwa anggota band-nya pasti sudah menunggu lama. Lagi-lagi ia terlambat dan harus menerima omelan dari sang ketua, Niki.

Sambil berlalu pergi, Bian menyempatkan bicara, "Kirimin salam dari gue untuk Bang Allen. Bilang gue pengen terus berurusan sama dia."

Kalimat itu membuat Wira berpikir dua kali untuk menyampaikannya kepada Allen.

.

Koridor masih ramai oleh murid yang mondar mandir dengan kesibukan yang tidak jelas. Salah satunya, ia berpapasan dengan Alicia di belokan menuju tangga ke lantai satu. Mereka berakhir menuju arah yang sama. Bian hanya bisa memberikan senyum sapaan sewajarnya. Sementara si Adik kelas mempercepat langkahnya mendahului Bian.

Mereka masih terus berjalan beiringan dengan Bian di belakang. Sesekali Alice menoleh, dengan wajah tertekuknya.

Lalu tiba-tiba, gadis itu berbalik, memandang Bian dengan sengit. "Kak Bian kalau suka dengan Kak Allen jangan coba-coba deketin aku!"

Ekspresi Bian seperti sedang menonton sebuah tayangan televisi yang sudah jelas merupakan sebuah settingan.

"Dek, kayaknya lo kebanyakan nonton sinetron, deh."

"Kakak pasti mau deketin aku dulu baru bisa dapetin Kak Allen kan?"

Lagi-lagi pokerface terpampang di wajah rupawan Bian. Ia mengerti bahwa wanita itu kebanyakan sangat menyukai Drama Korea, contohnya adalah ibu Bian sendiri.

Akan tetapi, Bian memohon dalam hati, jangan bawa plot dari Drama Korea ke dalam real life.

"Begini, ya. Kalau Kakak gay, dari sekian banyak cowok di sekolah ini, kenapa harus Kakakku?"

"Karena gue suka Kakak lo."

Jelas dan singkat. Lima patah kata itu Bian keluarkan demi membungkam sang adik kelas dan ternyata berhasil.

Maaf ya Allen, kamu menjadi korban yang tidak tahu apa-apa.

"Gue gak deketin lo, gue cuman mau ke ruang seni yang mungkin lo juga mau kesana, makanya searah." Alice hanya diam tak merespon apapun, sampai akhirnya gadis itu berbalik dan berjalan lagi, dengan segala macam asumsi dalam kepalanya.

.

.

Alunan dari berbagai alat musik memenuhi studio. Wajah-wajah sumringah dari para pelantun kelihatan sangat menikmati setiap nada maupun lirik dalam lagu yang mereka bawakan tersebut.

Namun tiba-tiba satu tangan Niki teracung ke atas, memberi isyarat untuk berhenti. Mata anggota yang lainnya bertanya pada Sang ketua.

"Maaf, ini untuk vokal," Niki melirik Sang Vokalis, "Sil, bisa gak di chorus ke 2, vokal lo bener-bener dikeluarin? jangan ada suara dalam sedikitpun."

Usulan tersebut diberi acungan jempol oleh Sila yang berarti, aman, tidak ada masalah selagi dirinya yang menjadi vocalist.

Jika saja band mereka tampil di luar dan menjadi tontonan, sudah dipastikan akan banyak para siswi yang menonton dan bahkan rela bersorak demi menyemangati gitaris, dan drummer. Bukan hal aneh lagi jika rata-rata murid tahu bahwa yang menjadi gitaris dalam band yang sudah sejak lama berdiri di sekolah mereka ini adalah Kenan Biantara.

Ekspresinya yang selalu menjiwai tiap kali memetik senar gitar dan entah bagaimana sangat menarik perhatian, menjadi warna dalam band itu.

Begitu juga, Niki, satu-satunya senior dan pendiri band. Sangat tekun dan tidak bisa main-main jika menyangkut urusan kelompok musiknya itu. Bisa dibilang, Niki dan Bian adalah pentolan band tersebut. Sedangkan Sila dan Zafran? dua orang yang sangat disukai sebagai penyempurna di dalam band.

Jika mereka dibilang sebagai artis sekolah, jawabannya tidak juga. Percayalah, di belakang band, mereka sebenarnya tidak lebih dari sekedar murid yang sekolah dengan cara aman dan biasa.

Latihan masih berlanjut sampai Bian menangkap seseorang yang sedang memperhatikannya dari luar melalui kaca studio. Meskipun orang tersebut hanya melirik sambil melipat kedua tangannya di dada, Bian tahu betul bahwa seseorang itu sudah cukup lama melihat penampilannya.

.

.

Latihan band sudah selesai dari tujuh menit yang lalu, namun Bian masih belum pulang. Ia malah berdiri di pinggir aula, melihat anak-anak supporter latihan. Meskipun sebenarnya, mata Bian tidak fokus hanya pada satu titik, justru manik legamnya bergerak kesana kemari tidak tentu.

Tiba-tiba ditengah ketenangannya melihat para perempuan berlompat-lompat sambil menyanyikan lagu supporter-an, seseorang datang dan berdiri di sampingnya.

"Lihatin Alice? nyesal pernah nolak dia?" celetuk Allen dengan santainya. Datang tak diundang.

Bian masih belum memalingkan wajahnya dari anak-anak perempuan itu, "Iya. Lihatin Alice dan bertanya-tanya dalam benak gue kemana kakaknya."

Allen membuat ekspresi seperti 'Hah? apaan sih anjir?'

Tidak mau bertahan untuk bicara dengan Bian yang ketidakjelasannya semakin jadi, Allen memilih berbalik dan menunggu Alice selesai latihan diluar aula saja.

Saat itulah Bian menoleh dan berkata, "Siapa tadi yang merhatiin gue main gitar? gimana? keren, kan?"

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang