17

2.7K 253 4
                                    

[ CW : smoking, harsh word, kiss (kinda no consent) ]

.

Allen lagi-lagi melarikan diri saat jam pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal beberapa minggu lalu- ia baru saja mengikuti try out mata pelajaran itu sendirian di perpustakaan. Dan sekarang dengan wajah tanpa dosa, ia berkeliling sekolah di jam pelajaran yang sangat ia tidak suka.

Allen sendirian. Masa bodoh dengan Dhani yang berada di kelas bersama teman-teman yang lain, mendengarkan celotehan sang guru.

Dirinya datang ke kantin, ke warung Pakde Uyon seperti biasa.

"Lho? bolos lagi?" tanya Pakde, saat Allen duduk di salah satu kursi dan mulai mengeluarkan rokoknya.

"Bosen di kelas." Jawab Allen, celingak celinguk melihat apakah ada guru. Lalu mengeluarkan pemantik api dan langsung menyalakan rokoknya.

"Saran saya, sekarang ini kurang-kurangin bolos. Bagaimanapun kamu itu sudah kelas 12," kata Pakde, memang sudah sering ia memberi nasihat seperti ini. "Masih juga tahan ngerokok." Pakde melempar lap di tangannya tepat ke wajah Allen.

"Bentaran doang, Pakde." Allen kembali menyesap rokoknya, mengeluarkan asap dengan hembusan nafas lembut.

"Kalau kamu gak mau jadi kayak saya, lebih baik berubah dari sekarang."

"Memangnya apa yang salah dengan Pakde sekarang? Jajanan buatan Pakde kan sedap." Lanjut Allen.

Pakde hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan anak muda di depannya.

Allen tiba-tiba tersentak dari posisi nyamannya begitu melihat di pintu masuk kantin sesosok manusia yang berhasil membuat pikirannya kalang kabut belakangan ini.

Siapa lagi kalau bukan Bian. Lelaki itu datang ke kantin bersama dengan Jere. Kalau dipikir-pikir, setiap melihat Jere, Allen merasa bersalah karena pernah hampir menghajar anak itu.

Allen memutar badannya, membelakangi Bian di sana, sebisa mungkin tidak terlihat mencurigakan.

"Woi, Allen!"

Dhani, bangsat! Umpat Allen dalam hati begitu suara nyaring Dhani memenuhi seisi kantin yang sepi karena belum jam makan siang.

Allen menoleh dan mendapati Dhani mendekat dengan cengiran khasnya. "Ngapain lo kesini?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.

"Hah? apa?"

Allen memberi kode dengan matanya yang melotot, berkali-kali melirik ke arah Bian di ujung berharap Dhani akan mengerti maksudnya. Namun begitu pandangannya bertemu dengan Bian, jantungnya terasa membeku karena yang lebih muda memberi tatapan menusuk yang sangat tajam. Apa pula maksudnya?

Allen berdiri, melempar sekotak rokoknya kepada Dhani yang langsung menangkap dengan sigap. Kemudian ia berjalan cepat keluar kantin melewati Bian dan Jere.

Tentu saja mata Bian tak pernah lepas dari Allen bahkan sampai lelaki itu menghilang di belokan koridor sekolah.

"Lah? kok gue ditinggal?" gumam Dhani.

Begitu juga dengan Jere yang hanya menjadi penonton. Untung saja di kantin hanya ada mereka dan para penjual.

"Crush lo kenapa tuh?" tanya Jere.

Bukan Bian yang merespon, tetapi malah Dhani yang terkejut begitu mendengar omongan Jere secara tidak sengaja.

Crush? siapanya siapa? yang baru pergi- Allen? Crush nya- Bian?

Hah?

Apa yang gue lewatin?

Biarkan Dhani dengan segala perdebatan di batin serta benaknya.

Melihat Allen yang menghindari Bian dan terlihat tidak ingin bertemu bahkan bertatap muka, membuat Bian semakin gencar dan ingin sekali menangkap kakak kelasnya itu. Ia mengejar kemana Allen pergi, berharap belum terlalu jauh.

Kalau ditanya, apa yang dilakukan Bian dan Jere di kantin saat jam pelajaran berlangsung karena mereka bukan tipe pembolos seperti Allen dan Dhani, anggap saja mereka baru ditugaskan mengantar buku ke ruang guru, lalu mampir sebentar membeli minum di kantin, dan malah membawa Bian bertemu pujaan hatinya.

Bian berhenti saat sudut matanya menangkap bayangan Allen di gudang sebelah perpustakaan. Ia menghampiri dan mendapati yang lebih tua duduk di antara kursi dan meja yang sudah rapuh.

Helaian rambut coklat Allen yang acak-acakan dihembus angin sepoi-sepoi, semakin menambah kesan indah di mata Bian. Dirinya benar-benar merasa candu dengan kakak kelas berandal itu.

"Ngapain lo berdiri di situ?" celetukan jutek Allen membuyarkan lamunan menyenangkan Bian.

"Ngelihatin lo, lah." Jawab Bian, mendekat dan duduk di kursi reyot samping Allen, sedikit berhati-hati kalau kursi itu tiba-tiba ambruk.

Allen menghela napas, lalu menghisap rokoknya lagi, "Gue kesini supaya gak ngelihat lo, kenapa malah ketemu."

Belum sampai rokok di tangannya habis, Bian menyambar benda berasap itu, membuat telinga Allen menjadi merah menahan amarah.

"Maksud lo apa, bangsat? balikin rokok gue!" Allen membentak dan mendorong dada Bian.

Cowok sama cowok kalau berantem memang dorong-dorongan dada 'kan.

"Gue beliin boba sebagai gantinya." Kata Bian, tangannya yang memegang rokok diangkat tinggi-tinggi agar Allen tidak bisa menjangkau.

"Asal lo tahu, rokok sekarang mahal, sialan!"

"Nah makanya, lo cuma dapet mahal dan penyakit."

Allen berhenti meraih rokoknya, lalu matanya menyipit dan tangannya disilangkan di dada. "Munafik lo. Kalau sekali udah ngerokok, bakalan susah untuk berhenti. Gak mungkin lo gak pernah."

"Memang gak pernah. Apa perlu gue tes urin? gue baru praktek itu minggu kemarin."

"Arrgh! diam! gue gak peduli." Allen lagi-lagi mendorong dada Bian dengan keras karena kesabarannya pun semakin terbatas. "Gak usah main-main, sial-

... mmhp!"

Bian mempertemukan bibir mereka berdua di tengah-tengah umpatan Allen. Dengan begini, Allen akan diam dan belajar cara berbicara dengan benar. Sebelum melepas ciuman itu, Bian sempat memberikan lumatan lembut terhadap bibir lembut milik lelaki keras kepala di depannya.

Begitu ciuman perlahan mulai longgar, buru-buru Allen mendorong dan menonjok adik kelasnya itu dengan segala amarah yang telah memuncak terlihat dari bagaimana wajahnya memerah. Dia benci karena ciuman itu tanpa izin dan juga benci karena dalam hati ada rasa nikmat. Pada dasarnya, mereka berdua salah.

"Daripada rokok, lebih baik bibir gue," ucap Bian, mengusap pinggir bibirnya yang sedikit ngilu karena pukulan Allen. "Bukannya sama-sama bikin candu?"

Jika biasanya Allen tidak akan berhenti mengeluarkan sumpah serapah, tetapi kali ini ia hanya menatap sengit Bian, dengan nafas yang terengah. "Lo beneran minta gue hajar ... ?" gumamnya, kembali duduk, menenangkan dirinya.

Sejak ciuman di malam itu, Bian semakin agresif dan terang-terangan menunjukkan perasaannya.

.

Alice berlari pelan menuju ke kelasnya. Jantungnya berdegup sangat kencang dan ia tidak tahu kenapa dirinya terus tersenyum, sangat lebar dan bahagia(?).

Apa yang dilihatnya barusan berhasil membuat perasaannya menjadi aneh, tapi aneh yang menyenangkan. Ia tidak tahu bahwa kakaknya akan terlihat sangat lucu ketika bersama Bian.

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang