Malam itu, setelah pernyataan tentang perasaan Allen bahwa ia telah menerima Bian, maka tidak ada yang berbicara lagi di antara mereka. Terlelap dalam pikiran masing-masing sampai akhirnya terjun ke alam bawah sadar. Masih dalam posisi berpelukan.
.
.
Cahaya matahari yang menembus pintu kaca serta tirai menusuk ke dalam iris Allen yang masih tertutup. Alisnya mengernyit, merasakan bahwa badannya tidak bisa bergerak bebas. Setelah itu ia membuka mata, berusaha memfokuskan penglihatan, berkedip beberapa kali lalu mengucek matanya.
Wow. Wowowowow.
Hal pertama yang ditangkap oleh manik jatinya adalah wajah tampan seseorang yang dari semalam tidur dengan memeluk erat dirinya, lengannya dengan sempurna mengelilingi tubuh Allen. Wajah pulas Bian yang masih tertidur di hadapannya terlihat sangat damai. Berbeda sekali ketika bocah itu bertingkah menyebalkan.
Tanpa sadar, sudah beberapa waktu Allen hanya memandang diam Bian. Lucu juga kalau sedang tertidur. Tidak ada aura dominan sama sekali.
Sudah cukup mengamati pemandangan indah. Allen bergerak, mencoba membebaskan diri dari kukungan sang bocah yang masih asik mendengkur.
Namun percobaan untuk bangun semakin susah ketika lengan itu malah mempererat pelukannya. Allen menatap sengit sang pelaku. Sudut bibir Bian sedikit naik.
Sialan. Anak ini sudah bangun rupanya, malah sedang menahan tawa.
Allen mendengus. Telunjuknya menyentuh dan mendorong dahi Bian. "Minggir. Gue sempit."
Tidak ada respon. Bian hanya menggerakkan badannya untuk menyamankan posisi.
Allen berdecak sebal. Dengan tidak berperikemanusiaan, ia menggerakkan satu kakinya dan menendang Bian hingga—
—BRUK!
"Aww!" Bian mengelus bokongnya yang menjadi korban pendaratan tidak sempurna di lantai. "Kok gue ditendang sih?"
"Salah sendiri! gue bilang minggir malah jadiin gue guling." Omel Allen. Lalu kembali membaringkan diri sambil menarik selimut hingga menutupi bahunya.
Bian berdiri masih dengan tangan yang memegang dan mengusap bokongnya. Membuka tirai dan membiarkan sinar matahari pagi masuk. Ia melirik Allen dan tersenyum samar. "Lo gak mandi?" tanyanya.
Allen tidak bergerak, namun menjawab, "Ini Sabtu. Gak usah kerajinan."
Memang. Lagipula Bian hanya iseng bertanya. Ia mendekat dan duduk di pinggir ranjang, tangannya menyentuh bahu Allen yang terbalut selimut. "Mau sarapan apa?"
Terlihat bahu itu sedikit bergerak, "Apa aja oke."
Bian berdiri. Lalu sedikit melakukan sesuatu di kamar. Allen tidak mau tahu dan tidak mau melihat juga. Ia masih ingin memejamkam mata dan berbaring dengan nyaman.
Setelah beberapa saat Bian sibuk, akhirnya ia membuka pintu, "Gue pergi beli sarapan dulu, jangan kemana-mana," katanya, berdiri di ambang pintu.
Allen masih tidak menjawab dan hanya memberi anggukan, itu membuat Bian menghampirinya kembali.
Lelaki itu berjongkok di samping ranjang tepat di sisi Allen berbaring sampai dirinya sejajar. Wajah mereka bertemu lagi, tetapi Allen sepertinya tidak sadar dan matanya masih tertutup.
Detik berikutnya, sebuah kecupan singkat mendarat di dahi Allen. Sangat singkat, bahkan Allen sampai tidak sadar begitu membuka mata bahwa Bian sudah keluar dan menutup pintu kamar. Meninggalkan dirinya dengan wajah malu yang tidak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...