"Kayaknya es kopi bukan penyebabnya. Ini karena gue gak sarapan aja sih," Bian menyuap sesendok bubur, langsung ditelannya dan kembali mengoceh, "tapi biasanya gue gak pernah begini kalaupun gak sarapan. Apa jangan-jangan gue diracun? Tapi gue kan belum ada makan apapun dari pa- "
Semuanya terhenti saat Allen menangkup wajah gembul yang asik menyantap bubur itu dengan kedua telapak tangannya. "Makan dulu, Bian ... jangan sambil ngomong, lo lagi sakit."
Mungkin setelah ini Allen akan merutuki dirinya sendiri karena perubahan sikapnya secara tiba-tiba. Bukan tanpa alasan, tetapi Bian yang sedang sakit dan manja berkali-kali lipat menarik, anak itu jadi menggemaskan, lucu, membuat Allen ingin melindungi Bian di pelukannya seolah dunia tidak boleh menyentuh.
Tentu saja semua itu tidak Allen ungkapkan. Bisa-bisa habis diledeki Bian jika anak itu sudah sembuh.
"Lo ngerepotin kalau lagi sakit."
Bian menunduk, memandang buburnya yang sama sekali tidak membuat nafsu makan. "Maaf."
God, so adorable. Batin Allen.
"Lo punya maag?"
"Jarang kambuh."
"Ya, sekarang kambuhnya," Allen mengusap peluh di pelipis Bian, kemudian menyisir rambut kusut dan lepek sang pacar dengan jarinya. Sepertinya ini menjadi kebiasaan baru. "Habis ini kita pulang aja. Mau gue temenin di rumah?"
Bian tidak menjawab. Ia diam, melihat Allen dengan mata bulat. "Lo kok jadi-jadi gentle begini? Allen sumpah, gue gak ada bikin salah kan? Maksudnya- "
"Bisa diem gak?" Allen membungkam Bian dengan memegang dagu yang lebih muda diantara ibu jari dan telunjuknya. "Oke, masa bodoh kalau setelah ini lo mau ledekin gue. Tapi memangnya salah gue bersikap begini ke pacar sendiri? Jujur ... lo manis banget di saat begini, dan gue senang jika seseorang bergantung ke gue. Makanya, habis ini kita pulang. Istirahat di rumah lo, mau apa aja minta sama gue. Biar gue yang memimpin hari ini."
Rasanya Bian ingin menyingkirkan bubur di pangkuannya dan menarik Allen keluar dari uks berbau obat yang sangat menganggu penciumannya ini. Keluar menjauhi sekolah dan menikmati waktu berdua. Kapan lagi Allen mengungkapkan pernyataan seperti tadi? Ini seperti mengetahui sisi lain dalam diri Allen.
"Tapi tetap aja, lo gak boleh malah jadi manja dengan sengaja, gue tau akal bulus lo." Allen mengingatkan sambil menjepit hidung Bian.
Lagi-lagi kontak fisik yang Allen lakukan hari ini melewati batas. Bian belum terbiasa karena dalam situasi normal Allen akan ogah-ogahan disentuh dan ditempeli olehnya. Kalau begini ia akan berterimakasih kepada tubuhnya yang sakit dan lemas.
Allen benar-benar perhatian dan lembut. Bian ingin tenggelam saja dalam perasaan terbuainya sekarang. Tidak baik untuk jantungnya.
.
.
"Masih sakit?" Allen bertanya saat melihat Bian di ranjang, menyelimuti diri dan terlihat menahan perut dengan tangannya.
"Gak terlalu."
Allen mengambil obat maag di atas meja, "Nanti malam minum lagi."
"Lo nginep?"
"Orang tua lo belum balik?" Bian mengangguk. "Boleh deh, gue pinjem baju lo."
Raut wajah Bian menjadi cerah. Ia bergeser dan menepuk sisi kosong tempat tidur di sebelahnya. "Sini."
Dengan menurut, Allen bergabung di ranjang. Tidak peduli lagi dengan rasa gengsi karena jika bersama Bian, sekarang ia merasa tidak ada yang perlu ditahan. Bian berbaring membelakanginya, sengaja agar tidak begitu mengganggu Allen, bagaiamanpun dia sedang sakit dan tidak mungkin merepotkan Allen lagi saat tidur. Namun Allen bergerak maju sehingga dadanya bersentuhan dengan punggung Bian. Ia mulai melingkarkan lengannya di tubuh yang lebih muda, membawa ke dalam dekapannya.
Beberapa saat hening. Wajah Allen berada di bahu Bian. Jika biasanya Bian yang memeluknya dari belakang, maka hari ini biarkan Allen yang mengambil alih. Tentu saja ini posisi yang sangat nyaman, memeluk Bian seperti bantal. Berbagi kehangatan dan mendengarkan deru nafas teratur dari Bian. Entah sejak kapan Allen menjadi budak cinta, tetapi ini adalah Bian, seluruh hatinya.
Bian telah melakukan banyak hal kepada Allen, bahkan sebelum hubungan mereka berada di tahap ini. Hubungan adalah dua orang yang saling memberi dan menerima, bukan sepihak. Maka sekarang adalah giliran Allen, ia tidak akan menahan diri lagi, ia membutuhkan Bian dan sebaliknya. Tidak akan Allen abaikan dan tidak akan melepaskan seseorang yang menjadi sandarannya sekarang.
"Hm ... lo gak keberatan kan." Gumam Bian di sela-sela kantuknya dengan suara serak.
Allen mengecup bagian belakang kepala Bian, menghirup aroma mint pada surai hitam itu. "Istirahatlah."
.
.
"Apa kabar, Alice?" Bian malah bingung melihat reaksi Alice yang tidak melakukan kontak mata dengannya. "Hei adik ipar, lo malu sama gue?"
"Langsung masuk aja deh, Bang Allen di kamar tuh."
Begitu melangkahkan kaki dan baru sampai di ruang tamu, ia bertemu dengan dua orang lain, Dhani dan Wira, di belakang mereka berdiri Allen.
"Kata lo mau belajar?" tanya Dhani kepada Allen.
"Itu gurunya," jawab Allen sambil menunjuk Bian dengan anggukkan.
Dhani hanya mendelik sinis dan menggelengkan kepala, setelah itu langsung menarik lengan Wira untuk keluar sebelum bicara, "Ayo pulang, Wir. Jangan mau jadi setan diantara orang pacaran."
Hanya Bian dan Allen di ruang tamu, duduk di bawah, menyiapkan beberapa buku.
"Lo kan anak ipa." Kata Allen.
"Tenang aja, gue udah pinjem sama alumni jurusan ips buku-buku soal."
"Seberapa banyak sih kenalan lo?"
Bian tidak menjawab, ia hanya tersenyum bangga.
Kini mereka fokus belajar, sudah sekitar tigapuluh menit. Lebih tepatnya hanya Allen yang belajar begitu gigih, sebuah perubahan yang bagus. Bian mengawasi, walaupun sebenarnya dia tidak mengajari sepenuhnya. Hanya membantu mengoreksi soal bagian pengetahuan umum.
Bian anak IPA ingat? Berbanding terbalik dengan Allen.
"Ahh anjing. Bisa kagak Geografi diskip aja." Celetuk Allen, menjatuhkan pensilnya.
Bian mencubit hidung Allen gemas. "Ya udah istirahat dulu yuk? Gue bikinin minum dingin deh."
"Dih, ini kan rumah gue."
"Memang kenapa? Bikin minum doang." Baru akan berdiri, gerakan Bian terhenti ketika seseorang masuk.
Reaksi Allen yang sedikit terkejut dan langsung duduk tegap membuat Bian setidaknya paham siapa orang di hadapan mereka sekarang. Lelaki paruh baya dengan setelan jas formal membawa tas gandeng di tangannya, menatap mereka berdua penuh selidik, terutama kepada Bian.
Ayah Allen berdiri di sana.
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...