"Halo, Om." Bian menunduk hormat, berjalan menghampiri dan menyalami ayah Allen. Beruntungnya cukup membuat Allen terkejut karena sang ayah menerima salam Bian dengan baik, bahkan sedikit tersenyum.
"Bian, bukan?" tanya sang ayah. Bian masih kaget karena namanya diketahui dan ayah Allen sadar akan ekspresi itu. "Alice cerita ke saya tentang teman baru Allen, katanya namanya Bian dan anaknya baik. Biasanya Allen cuma pernah kelihatan sama Dhani dan Wira."
Masuk akal. Ternyata lebih banyak Alice yang bercerita kepada sang Ayah.
Ayah melihat Allen yang masih duduk bersila di bawah dengan meja berserakan kertas dan buku-buku soal. Wajah sang ayah biasa seperti biasa namun kali ini memberi respon.
"Ya, lanjutkan belajarnya." Sudut bibir sang ayah sedikit naik. Setelah itu pergi ke dalam, meninggalkan Allen dan Bian berdua lagi.
...
Helaan napas Bian terdengar berat dan lega. Dia kembali duduk di samping Allen. "Sayang ... "
Buset, terkejut Allen dalam hati.
Memang akhir-akhir ini Bian meminta izin untuk menggunakan panggilan itu, namun tetap saja Allen belum terbiasa. Masih sering kaget dan benar-benar malu ketika kata itu Bian ucapkan, begitupun sebaliknya.
Kata Bian, 'Dibiasain ya.'
Bian duduk lemas. "Gue deg-degan."
Allen hanya tersenyum sambil mengusap tengkuk Bian. "Sebenarnya gue juga agak gugup tadi. Oh ya, gak jadi bikin minum dinginnya?"
"Oke." Bian hendak berdiri lagi namun berhenti sejenak, "nanti ketemu ayah lo gak ya? Ah udah lah, gas aja." Ia tanpa ragu segera jalan cepat ke dapur.
Allen tersenyum. Kenapa setelah pacaran ia baru tahu kalau Bian bisa gemas juga?
.
.
"Gue bener-bener melihat sebuah perkembangan karakter secara nyata." Celetuk Dhani, rokok di tangannya sudah pendek.
"Hah? Apaan dah? Jelas dikit kalau ngomong." Sahut Allen.
Mereka melakukan aktivitas seperti biasa, berada di warung Pakde Uyon. Ini adalah hari terakhir ujian kelulusan kelas 12, sehingga mereka berdua bisa santai untuk sejenak sebelum ujian-ujian berikutnya datang.
"Tcih," lanjut Dhani, tersenyum remeh. "Ya elo. Sudah berapa lama sama Bian? Hampir tiga bulan kan ya."
Allen tahu kemana arah pembicaraan ini. Heran juga, padahal dulu Allen ingat perkataan Dhani perihal jangan pacaran di depannya karena Dhani belum begitu terbuka dengan hal-hal semacam itu. Tetapi lihatlah sekarang, temannya itu malah menjadi yang paling semangat jika membahas hubungan Allen dan Bian. Bahkan sekarang begitu memperhatikan dinamika hubungan mereka.
"Semenjak pacaran sama itu anak, lo jadi clingy. Lo jadi gak ragu untuk kontak fisik, padahal kan itu gak lo banget." Baru Allen akan menimpali, Dhani mengangkat satu tangan, sebauah isyarat untuk jangan memotong ucapannya. "Memang Bian yang dominan memulai, tetapi sejak sekarang lo gak ada gengsi-gengsinya. Bahkan lo kadang ngusap kepala dia duluan? Nyisir rambut dia pake tangan? Gandeng tangannya? Meluk dia tiba-tiba?"
"Ya kenap-"
"HAHAHAJAJAJAHHHAHA AJABSJWWMS!"
"Heh, anjing, Dhan! Kalau gila jangan di sini." Allen mengetuk kepala Dhani dengan kotak rokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Roman pour AdolescentsAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...