Mereka sampai di UKS yang ternyata sepi. Memang biasanya sepi. Ketahuilah, UKS sekolah ini tidak selalu ada penjaganya.
Allen duduk di pinggir ranjang dan mulai berbaring dengan perlahan. Saat memanjat untuk keluar bilik tadi, ia terjatuh dan pinggangnya membentur toilet. Menoleh dan mendapati Bian juga ikutan berbaring, bahkan matanya terpejam.
"Lo gak balik ke kelas?" tanya Allen.
"Lo belum bilang makasih."
Tuh, kan. Ini yang paling Allen malas ketika meminta bantuan seseorang. Hari ini dia gagal menerapkan prinsipnya.
"Iya. Makasih."
Bian lagi-lagi diam dan hanya memandang sepersekian detik. "Lo tau gak sih kalau sebenarnya gue ini orang baik?"
Apa-apaan lagi ini? pikir Allen. Bocah ini mabuk?
Bian bangkit mendudukkan diri, "Inget gak, lo udah nonjok gue disini," jemarinya menunjuk pipi sebelah kiri bekas tangan Allen waktu itu mendarat, "Tapi gue masih baik 'kan mau nolongin lo tadi."
"Maaf untuk waktu itu. Tapi gue masih tetap pengen nonjok lo." Balas Allen, mengangkat kemejanya sebatas perut, berusaha melihat pinggangnya apakah membekas sebuah luka.
Bersamaan dengan Bian yang tiba-tiba berdiri lalu mendekat ke ranjang Allen.
"AKHH!" pekik Allen saat sebuah telapak tangan kasar menyentuh— lebih tepatnya menekan —bagian pinggangnya yang terluka, mungkin memar. "Sakit, bangsat!"
Sang pelaku hanya memasang senyum ala-ala pegawai indom*rt yang sedang menyambut pembeli.
"Pinggang lo biru."
"Makanya mau gue kasih obat." Allen meraih kotak kemasan salep dari lemari. Sesaat kemudian ia terdiam melihat Bian. "Kenapa lo mesti bohong ke adek gue?"
Alis Bian mengernyit, "Tentang?"
"Lo yang bilang ke Alice kalau suka sama gue. Itu bohong dan karena kalimat goblok itu, adek gue terus nanya apa gue punya hubungan sama lo."
Jemari Bian menyentuh dagunya, membuat pose seolah sedang berpikir keras. "Gue gak mikir akibat ke depannya sih."
Allen mulai mengoleskan salep ke bagian lukanya, "Bicara tanpa berpikir. Kacau lo."
Lama-lama Bian tidak mau kalah, "Apa kabar lo? yang pagi-pagi buat keributan di kantin cuma untuk nyari yang namanya Kenan Biantara?"
Allen memejamkan matanya. Jika saja pinggangnya tidak sakit, ia pasti sudah menonjok Bian untuk yang kedua kali. Wajah bocah songong itu benar-benar menganggu jiwa raganya. Ia menatap Bian, dengan manik jati setajam belati, membuat kontak yang sulit untuk Bian hindari. "Lo boleh nolak perasaan adek gue, tapi tolong pakai alasan yang logis."
"Memangnya alasan gue suka sama lo itu gak logis?"
"Silahkan bilang kalau lo gay dan lo suka gue ke siapapun, tapi jangan ke adek gue. Lo tahu dia suka lo. Lo tahu saat itu dia lagi senang-senangnya bisa buat kue coklat dan gak sabar untuk kasih ke lo. Lagipula butuh keberanian untuk dia confess ke lo. Seenggaknya lo tahu dia perempuan, bagaimana bersikap ke perempuan terlepas siapapun dia." Entah kenapa penjelasan Allen sedikit menyesakkan rongga dada Bian.
Dia pikir Allen hanya pembuat onar berotak kosong. Memang kita tidak boleh menilai seseorang dari sekedar luarnya saja.
Hening menguasi seluruh ruang kesehatan yang hanya diisi oleh dua anak Adam tersebut. Suasana canggung mulai datang. Bian menggaruk tengkuknya menunjukkan bahwa semuanya awkward sekarang.
Kalau dipikir, dirinya memang jahat. Allen yang tidak tahu apa-apa harus kena imbas oleh perkataan bualnya hanya untuk menghindari Alice.
Allen berdiri, wajahnya kelihatan masih menahan sakit. Ia kembali memberi tatapan datar pada Bian. "Lo gak suka adek gue, cukup diam. Dengan lo tolak aja udah berhasil bikin dia nangis. Gak perlu pakai embel-embel kalau lo homo."
Setelah itu, yang Bian dapati adalah dirinya sendirian di ruangan. Dengan segala keheningan yang ia manfaatkan untuk merenung. Memikirkan kenapa perkataan Allen tadi berhasil membuatnya mengoreksi kesalahan yang lalu.
Aneh. Biasanya omongan seseorang hanya sekali lewat saja dalam kepalanya.
.
.
Entah kenapa hari ini sangat buruk. Bukan hanya buruk bagi Bian sang tokoh utama, tetapi bagi tokoh-tokoh lainnya juga. Hari yang buruk, kejadian yang buruk, dan yang paling buruk adalah cuaca juga buruk.
Pagi hari hanya berangin, namun siangnya mendung, dan sore sekarang sangat panas. Terik sekali. Panasnya berbeda dari yang biasa, ini sangat sangat panas terik.
Sialnya lagi, kipas angin di kelas mereka rusak dan belum diperbaiki dari dua hari yang lalu. Alhasil, tidak heran hampir semua murid di kelas menggunakan buku catatan mereka sebagai pengganti kipas yang tidak seberapa menghasilkan angin. Aroma di kelas penuh dengan harum semerbak dari keringat para murid laki-laki di masa pubertas mereka. Terbayang 'kan bagaimana sensasinya?
Cuaca yang panas juga bisa mengubah suasana hati. Selain capek, juga mengundang kadar emosi dari guru, yang menjadi marah-marah tidak jelas.
"Pulang ... " gumam Sila, rambut kuncir kudanya sudah seperti kisah cintanya, acak-acakan. Kini ia tak lagi menganggu Jere seperti tadi siang.
"Kayaknya penyebab kelas ini panas bukan sekedar cuaca." Analisis Jere mengundang ekspresi ingin tahu dari Bian disampingnya.
"Jadi kenapa?"
"Karena orang-orang di kelas ini sendiri. Banyak setan." Jawab Jere, penuh penekanan di kata terakhir.
"Oh, lo lagi ngomongin diri sendiri." Bian kembali mengipaskan buku catatannya.
"Wira ngapain sih daritadi ngelirik kesini? dia naksir lo? atau gue? amit-amit." Keluh Jere yang kesekian kali.
Bian memukul kepala Jere dengan bukunya, "Otak lo ikutan korslet nih saking panasnya," lalu menoleh ke arah Wira yang duduk di ujung dekat tembok bagian seberang kelas.
Lelaki yang terkadang dipanggil Abi hanya untuk mengolok-olok itu membuang muka saat Bian membalas lirikannya.
.
Sepulang sekolah, banyak ekspresi lega dari para murid karena berhasil melewati hari yang random ini.
Bian menyempatkan menyentuh bahu Wira sebelum mencapai ambang pintu. "Oi Wir."
Wira menoleh, tiba-tiba wajahnya kaget seperti sedang ditagih uang kas oleh bendahara. "Kenapa 'Ian?"
"Lo ngeliat gue kayak mau ngomong sesuatu, ada apa?"
Wira memegang pucuk kepalanya, terlihat ragu untuk bicara. "Yah ... gak enak aja sama lo."
"Hah?"
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...