"Sekarang lo udah bisa fokus latihan gak?" tanya Sila. Hari ini latihan band terakhir mereka karena lusa sudah memasuki gladi resik, kemudian besoknya adalah hari-H.
Niki dan Zafran mulai memeriksa kembali alat musik serta sistem suaranya. Pokoknya ini akan menjadi penampilan terakhir Niki sebelum lulus.
"Gue selalu fokus." Jawab Bian, tersenyum sembari membawa gitar kesayangan bersamanya.
"Sekarang sangat fokus karena sesuatu kan ... " goda Sila. Setidaknya dia tahu garis besar yang akhir-akhir ini membuat Bian semakin bersemangat.
"Heh!" panggil Niki, dengan wajah serius dan tangan yang mengacungkan stik drum. "Bagaimanapun, ini latihan terakhir yang harus kita fokuskan. Bantu gue, karena ini penampilan terakhir gue."
"Iya, bang, kayak mau ke alam lain aja lo—"
Plak!
"Adaww!"
"Jaga cocot lo ya, Zaf."
Sila dan Bian tidak menghiraukan keributan diantara Niki dan Zafran. Malahan, Sila semakin gencar mendekat kepada Bian, lalu berbisik.
"Kak Allen gak kesini?" tanya gadis itu.
Bian melirik padanya dan tersenyum, "Gak. Dia ada urusan, dan lo— gak usah kepo, oke?"
Sila langsung memukul punggung Bian secara brutal, "Heh! gue butuh asupan."
Untungnya, Bian tahu apa yang dimaksud dengan 'asupan' itu.
.
.
Hari ini kesabaran Wira benar-benar diuji. Ia rela untuk pulang terlambat hanya agar Dhani dan Allen bertemu. Kini mereka bertiga duduk diam di warung pakde Uyon.
Baik Allen maupun Dhani belum ada yang membuka obrolan. Sampai-sampai Wira merasa kakinya mulai kesemutan. Ayolah, jangan buat ia merasa pengorbanannya untuk episode terakhir anime kesukaannya yang akan tayang, sia-sia sudah ia tunda.
Wira tidak bisa seperti ini terus. Diam itu memang emas, istilahnya, tetapi tidak sunyi mencekam seperti ini juga. Apalagi pakde Uyon hanya menambah buruk suasana dengan terus menawarkan es kiko.
"ELAH!" teriak Wira sambil menggebrak meja. Berhasil membuat Dhani yang sedari tadi lempeng menjadi sedikit tersentak kaget. "Ngomong kek lo berdua."
Allen mengangkat kedua alisnya kemudian meringis. Jika biasanya dia dan Dhani akan langsung menggeplak Wira saat meneriaki mereka, namun sekarang mereka hanya mendengarkan seolah sedang diceramahi.
"Gini aja," Wira menutup matanya sekilas, lalu menghela napas, mengisi ulang kesabarannya, "gue kasih lo berdua ruang untuk bicara— dari hati ke hati, oke?" usul Wira, menampilkan senyum yang entah mengapa cukup mengerikan di mata Allen dan Dhani, bahkan Pakde juga.
Wira berdiri, memberi isyarat pada Allen agar menyelesaikan semuanya hari ini. Lalu ia menghampiri Pakde yang sedang pura-pura mengelap meja.
"Yok Pakde, kita ke warung Bude Lilis aja, saya traktir Extrajoss." Kata Wira, merangkul Pakde menuju warung di dekat pintu masuk kantin.
"Sekedar Extrajoss saya juga ada."
...
Wira sialan.
Bagaimana bisa Allen ditinggalkan berdua saja dengan Dhani? bahkan saat masih ada Wira pun, mereka masih canggung untuk memulai pembicaraan. Apalagi tanpa Wira, dan juga Pakde.
Kenapa daritadi Pakde Uyon selalu dibawa-bawa?
Tetapi Allem tidak bisa lari dari masalah. Mereka teman. Dia membutuhkan Dhani, begitu juga sebaliknya.
Kedua tangan Allen di atas meja tidak mengepal lagi, ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegak. " ... Dhan," panggilnya. "Gue pengen nyelesain semuanya sama lo."
Dhani terlihat biasa saja lalu mengangguk pelan, atau itu adalah usahanya. Dia tidak dikuasai emosi seperti saat kemarin. "Ya, bicaralah."
"Gue tau kalau dengan gue coming out, pasti ada yang menentang. Tapi gue cuma pengen lo tau—bahwa gue tetaplah Allen yang selama ini lo kenal."
Tidak ada balasan dari Dhani. Ia tampak sibuk berkutat dengan pikirannya. Memang benar, bukan keinginan Allen untuk coming out. Kenyataan bahwa temannya itu menyukai lelaki terbongkar karena dirinya yang memojokkan. Seharusnya Allen sendiri yang memutuskan untuk jujur dan terbuka tentang jati dirinya. Dan kemarin belum saatnya, tetapi Dhani lah yang membuat Allen terpaksa untuk mengungkapkan semuanya.
Dhani mulai merasa terbuka. Tetapi pada akhirnya, tetap ada perasaan yang membuatnya menolak kenyataan. Dhani itu siapa? hanya sahabat Allen. Punya hak apa dirinya untuk melarang siapa orang yang akan Allen suka dan benci? Dia hanya takut kehilangan sosok Allen yang sebenarnya, namun dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kehidupan Allen bukan masalahnya.
Dhani menghela napas. Matanya terpejam, seolah kesulitan untuk mengutarakan semua hal yang mengganjal.
"Rasanya susah, Len," kata Dhani. "Gue cuma pengen yang terbaik buat lo."
"... dan yang terbaik buat gue —adalah pilihan gue sendiri," lanjut Allen.
"Gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf. Maksudnya —gue gak punya hak apapun untuk pilihan hidup lo." Jelas Dhani, matanya menatap Allen dengan penuh rasa bersalah. "Gue gak jijik sama lo, Len, gak pernah. Gue cuma —susah menerima kenyataan."
"Lo janji gak bakal bersikap idiot lagi kayak kemaren?" tanya Allen, lalu tersenyum.
Dhani mengangguk. "Apa yang bisa gue lakuin sebagai sahabat lo selain menerima."
"Gue percaya sama lo." Kata Allen. "Gue minta maaf, untuk sikap gue kemarin, untuk kata-kata gue yang juga menyinggung lo."
"Ya ... maaf juga udah ngehajar lo, tapi—" kalimat Dhani terputus, "bagaimanapun, gue merasa puas banget bisa mukulin lo." Pada akhirnya, Dhani tertawa pelan melihat ekspresi konyol pada wajah Allen.
"Apa-apaan, sialan," Allen mengambil sendok dan langsung memukul kepala Dhani dengan benda itu. "Gue balas lo."
"Satu lagi, Len ... "
"Apa?"
"Jangan —pacaran di hadapan gue." kata Dhani, tegas.
Allen hanya bisa tertawa lagi mendengarnya.
"Apa gue bilang ... " Wira muncul di samping mereka, dengan gelas minumannya. "Gak perlu lama bagi kalian untuk baikan. Gue yakin gak ada drama."
Dhani dengan tidak ada adabnya langsung menyambar pop es milik Wira dan menyeruputnya begitu saja.
"Gue tau sih bakalan lo palakin," kata Wira. Lalu menoleh kepada Allen. "Bang, untuk acara ulang tahun sekolah kali ini, lo harus datang. Seenggaknya bersenang-senang sebelum ujian. Lagipula, Bian bakal tampil."
"Allen datang ke acara sekolahan? mimpi lo. Gak yakin gue." Celetuk Dhani. Memang benar ia berpikir begitu. Bagaimana pula tidak tahu, dia sudah mengenal Allen sangat lama. Temannya itu sangat susah diajak menghadiri party-party di sekolah.
Wira duduk di samping Dhani. Jarinya menyentuh dagu, seolah berpikir keras. "Gue gak bisa nyebut lo pesimis sih bang, karena opini lo itu realistis."
"Maksud lo?" tanya Allen.
"Yah ... siapa tau dengan progress hubungan lo sama Bian, membuat lo beneran datang ke acaranya. Untuk nonton band Bian tampil." Jelas Wira, sambil menjentikkan jari tengah dan jempolnya.
"Len ... " tiba-tiba Dhani memanggil dengan nada suara yang rendah. Jarang-jarang ia terdengar serius, itu membuat bulu kuduk Allen dan Wira berdiri. "Bekas pukulan gue —masih sakit gak?"
...
Allen menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lo —bisa berhenti ngomongin itu gak?" untuk pertama kali, merasa harga dirinya dipermainkan Dhani.
.
.
.
Continue.
![](https://img.wattpad.com/cover/301341884-288-k564446.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Teen FictionAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...