20

2.6K 196 1
                                    

[CW : kiss.]

.

Ada suatu atmosfer yang berbeda ketika Allen dan Bian memilih untuk sekedar saling diam pada saat ini, masih di UKS. Bahkan Bian membuang kebiasaannya yang selalu nyerocos hanya untuk memahami Allen.

Begitu juga sebaliknya. Allen tidak mengumpat atau menyumpahi Bian seperti biasa. Pada situasi ini mereka bertukar pikiran dan mencoba mengerti lewat pandangan masing-masing.

"Apa yang mau lo bilang?" tanya Allen, begitu dirinya menyadari bahwa cara Bian memandangnya seperti mencoba menyampaikan sesuatu.

"Lo yakin?" tanya Bian. Untuk pertama kalinya, Allen mendengar suara seberat dan sedalam itu. Dia tak pernah tahu bahwa bocah itu bisa menunjukkan sisi maskulin seperti ini. Allen khawatir suara berat itu akan meningkatkan hasratnya.

"Seandainya gue bisa terus menyangkal." Jawab Allen, dia tersenyum, seolah sarkas pada dirinya sendiri. "Jadi ... iya, gue yakin," lanjutnya.

Sebuah pengandaian, membayangkan jika dirinya adalah seseorang dengan perasaan yang kuat, yang mampu menolak tiap keinginan hatinya untuk memutuskan. Seandainya Allen masih bisa untuk terus menolak perasaannya terhadap Bian. Tapi nihil. Itu hanyalah pengandaian semata.

Detik berikutnya, Bian berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang mabuk ataupun kehilangan kesadaraan saat Allen mempertemukan bibir mereka.

Sentuhan tangan kasar Allen pada tengkuk Bian semakin mengerat guna mempertahankan ciuman yang tidak direncanakan itu. Kali ini Allen yang memimpin dan memulai, maka setiap perbuatan pasti akan ada konsekuensinya.

Bian menerima semua perlakuan Allen. Tangannya bergerak menuju pinggang yang lebih tua, menariknya mendekat. Mengesampingkan sudut bibir Allen yang terluka, Bian tetap menggerakkan bibirnya, mencari celah untuk masuk menjelajahi Allen, meskipun rasa povidone iodine yang baru saja dipakaikan di bibir itu lumayan mengganggu.

Tidak ada paksaan seperti ketika ciuman singkat di gudang. Kali ini Allen sendiri yang memberi jalan untuk Bian. Lidah mereka saling bertaut, bergerak secara sensual di dalam sana, menyampaikan perasaan yang mereka alami sekarang.

Bian semakin maju, tangannya mulai menggapai punggung Allen, mengelus lalu perlahan naik menuju tengkuk yang lebih tua. Jemarinya menelisik surai coklat itu. Aroma harajuku dari tubuh Allen semakin menambah rasa nyaman bagi Bian.

Begitu tautan antara bibir mereka terlepas, tangan Bian masih senantiasa berada di tengkuk Allen, memberi usapan terakhir sebelum menariknya.

Mereka kembali bertemu pandang. Bian sekilas melirik bibir ranum yang barusan ia lumat, sementara Allen memandang matanya. Tidak ada lagi Allen yang memberontak ataupun menonjok jika dicium seperti tadi. Bahkan Allen sendiri yang memulai.

Tangan Bian terangkat lagi dan menyentuh pelan luka di sudut bibir kakak kelas. Cukup memberi efek kejut bagi sang penerima.

"Masih sakit?" tanya Bian, hanya takut jika ciuman yang mereka lakukan mungkin terasa sedikit kasar untuk kondisi bibir Allen yang terluka.

Allen meraih tangan Bian yang masih mengusap bibirnya, "Gak lagi," kemudian ia berdiri dari ranjang, dan mengambil tasnya, "Waktunya pulang."

"Lo mau pulang dengan kondisi begitu?" ujar Bian. Dia punya rencana dan sebagai awal yang baik ia harus memancing targetnya lebih dulu.

"Gue udah gak sakit lagi." Jawab Allen, baru saja akan memutar kenop pintu untuk keluar.

"Bukan itu, tapi wajah lo. Lo yakin orang tua lo gak banyak tanya setelah melihat lo hancur gitu?"

Mungkin kata hancur seharusnya tidak perlu, karena wajah Allen tidak sebabak belur itu.

"Mereka gak peduli. Lagipula gue bisa manjat ke jendela kamar." Lanjut Allen.

Bian bergerak maju, kini dirinya tepat di belakang Allen. Satu tangannya mendarat di bahu sang kakak kelas.

"Kalau memang mereka gak peduli, kenapa lo harus berpikir untuk manjat ke jendela?" tanya Bian lagi. Ia sangat pintar membolak-balikkan pertanyaan yang akhirnya mampu membuat Allen menyerah.

Bukan berarti orang tua Allen tidak peduli sama sekali, dan juga bukan berarti mereka peduli sepenuhnya. Jika Allen pulang dengan kondisi begini, orang tuanya hanya diam, namun secara sembunyi, mereka akan menyita kendaraan roda dua kesayangan Allen agar ia tak bisa keluar seenaknya —setidaknya harus meminta izin— dan membuat masalah lagi.

Dan Allen benci terkurung tak bisa kemana-mana di rumah.

"Jadi, apa yang lo rencanain?" tanya Allen. Sejak awal dia tahu bahwa Bian merencanakan sesuatu dimulai saat si adik kelas itu bertanya bagaimana cara Allen pulang.

Lagipula Allen sudah cukup lelah untuk beradu argumen.

"Pulang ke rumah gue." Jawab Bian, mantap, terdengar seperti perintah mutlak.

"Lalu?"

"Nginap di rumah gue."

Biarkan Allen berpikir. Tidur di rumah Bian? itu berarti satu ranjang?
Wajahnya merona memikirkan itu.

Mana mungkin. Pasti ada kamar lain. Memang pikiran Allen saja yang aneh sejak dihajar oleh Dhani. Menghela napas pasrah, ia mengangguk. "Oke," lalu berjalan keluar.

Bian mengikuti langkah Allen. "Oke apa?"

"Nginep di rumah lo."

Seketika, senyum penuh kemenangan tercipta di wajah tampan Bian yang membuatnya kelihatan semakin menawan. Dia yakin bisa meruntuhkan dinding pertahanan Allen. Dan ia bangga.

.

.

Allen mengedarkan padangannya pada rumah dua tingkat dengan warna abu-abu.

"Gak ada orang?" tanyanya.

"Orang tua gue dinas di luar kota sejak tiga hari yang lalu." Jawab Bian.

Tidak ada yang spesial dari rumah Bian. Isinya seperti rumah pada umumnya. Interior yang biasa, beberapa potret keluarga dan Bian saat masih kecil terpampang di dinding.

Allen mendekati meja di ruang tamu. Matanya tertuju pada sebuah toples berisi cemilan di atas meja tersebut. Kemudian dengan perlahan, ia meraih dan membukanya.

Sementara Bian masih diam memandang gerak gerik sang kakak kelas.

"Ini untuk tamu, kan," celetuk Allen saat menyadari bahwa ia diperhatikan oleh sang empunya rumah. "Gue juga tamu, minta ya." Allen melanjutkan aktivitasnya lalu mencicip cemilan itu.

Malam ini ia tidak tahu apa yang salah dengannya. Kemana prinsip yang selalu Allen terapkan selama ini? dengan mudahnya dia mengiyakan tawaran Bian untuk menginap, dan bahkan tiba-tiba meminta cemilan di meja hanya karena tampilan toplesnya yang cantik.

"Gue mau cepat-cepat tidur," celetuk Allen. Menggosok kedua tangannya setelah selesai mencicip cemilan. "Kamar mandi dimana ... "

Allen berjalan ke sembarang arah. Menuju lorong pendek di dekat tangga, ia langsung ditarik oleh Bian.

"Salah. Lo gak tahu di mana kamar mandinya." Kata Bian, sembari menjepit hidung Allen di antara telunjuk dan ibu jarinya, dan langsung mendapat tampolan di kepala dari Allen.

Memang dasarnya saja rumah ini yang terlalu besar. Bagaimana tidak, Allen juga sudah bosan berkelana di rumahnya sendiri yang tak kalah besar dari rumah Bian.

"Kalau lo tersesat disini kan gak lucu." Ujar Bian, kemudian memberi kedipan jahil.

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang