Gadis berambut hitam sebahu itu terlihat lega begitu telah menyatakan perasaannya. Perempuan menyatakan duluan? bukanlah hal yang aneh pada zaman sekarang.
Tetapi tunggu, ini bukan cerita romansa yang berjalan mulus, menyatakan perasaan–diterima–pacaran–berakhir bahagia.
Tidak semudah itu.
Kelas kosong dan benda-benda di dalamnya menjadi saksi bisu.
Gadis itu masih diam, dengan senyum penuh percaya diri dan masih terus memandang lelaki yang menjadi target hatinya, berharap dari mulut sang lelaki itu akan keluar beberapa kata yang menunjukkan kalau perasaannya terbalas.
"Alicia?" Panggil Sang Lelaki. Awalnya cukup mengangetkan gadis yang cukup dikenal sebagai anggota cheerleader ini meminta waktunya sepulang sekolah. Bian merasa kenal namun hanya sebatas nama, mereka tidak pernah berinteraksi.
"Ya?" kini jantung Alicia berdegup makin kencang. Ia harap lelaki di depannya tidak dapat mendengar itu.
"Tapi gue sukanya sama yang lebih tua."
...
Agak kasar, namun Alicia menganggap itu hanyalan candaan. Ia baru saja akan memberikan respon sebuah tawa tidak percaya.
"Kak Bian lucu— "
"Gue juga gak ngelawak." Potong Bian. Ia terus memasang wajah datarnya, dengan kedua tangan disimpan dalam saku celana. Menandakan bahwa tidak ada ketertarikan pada apa yang mereka bicarakan.
Wajah Alicia yang sedari tadi optimis kini berubah menjadi sinis. Ia telah memberanikan diri untuk menyatakan perasaan lebih dulu, bukankah tipe perempuan seperti itu jarang? ia juga telah membuatkan sekotak kue coklat untuk Bian.
Lalu dia ditolak? tidak masalah ditolak jika ia tidak punya malu, tetapi dia kan punya! Dan ia malu!
Alicia menghentakkan kakinya pelan menandakan kegelisahan, "Gak bisa begitu dong, Kak. Aku udah ngasih Kakak kue."
Bian mengangkat kedua tangannya di samping kepala, dengan watados —wajah tanpa dosa— melihat ke kiri, kanan, depan dan belakang, "Mana? lo gak ada kasih tuh."
Mungkin memang ada sedikit keteledoran yang Alicia dapat dari kakak lelakinya. Lemot? pelupa? di antara kedua itu pokoknya.
Alicia cepat-cepat merogoh isi tasnya dan mengeluarkan sebuah loyang berbentuk kotak yang terbungkus kertas kado dengan motif lucu, namun membuat Bian bergidik aneh. Lalu memberikan benda itu pada Bian.
"Sekarang udah kan? Kakak harus terima, kalau gak, aku bakal malu." Kata Alicia, dengan nada mengancam yang terdengar sangat menjengkelkan di telinga Bian.
Permasalahan ini semakin rumit. Hari sudah sore, matahari seharian ini cukup cerah menjerumus terik dan badan rasanya sangat capek. Sekarang, Bian terjebak di dalam kelas yang suasananya pengap begini, bersama seorang adik kelas yang merepotkan.
Bian maju beberapa langkah mendekati Alicia, "Dengar ya bocah, lo malu, itu bukan salah gue. Lo yang mutusin untuk nyatain perasaan, dan lo juga yang harus terima kenyataan lo ditolak atau enggak."
Silahkan katakan bahwa Bian cukup kasar, kata-katanya menusuk seolah tidak punya hati.
Melihat bahwa manik gelap milik Alicia mulai berkaca-kaca, membuat sebuah erangan kecil keluar dari mulut Bian. "Please, jangan mewek." Ucapnya, tanpa sadar bahwa dirinya sendirilah yang menjadi sebab akan menangisnya Alicia.
"Aku gak nangis karena kakak tolak, tapi aku nangis kenapa bisa ada cowok yang gak suka aku." Jawab Alicia sambil mengusap hidungnya.
"Lo bukan tipe gue."
"Jadi tipe Kakak yang kayak gimana?"
"Yang lebih tua."
"Cuma itu?"
Bian ingin sekali mengumpatkan kata-kata kasar. Berurusan dengan perempuan seperti ini merepotkan baginya.
"Alice, pasang telinga lo baik-baik," Bian memegang bahu Alicia, wajahnya serius, cukup membuat Alicia deg-degan. "Gue ... lebih suka kakak lo."
...
"Kak Bian kalo ngelawak gak lucu, nih." Sanggah Alicia, sebisa mungkin beranggapan kalau kalimat yang didengarnya tadi adalah sebuah candaan. Berharap Bian meresponnya dengan pembenaran, namun nihil, kakak kelas di hadapannya itu memasang wajah serius dengan tatapan yang tajam, melunturkan senyum cemas di wajah Alicia.
"Kakak serius?"
"Menurut lo?" garis wajah Bian makin mengeras.
"Lho? Kakak suka laki-laki?" tanya Alicia, sekali lagi, sambil menatap lekat mencoba mencari kebenaran di sorot mata sang kakak kelas.
Tidak ada jawaban dari yang lebih tua. Bian sengaja hanya menaikkan satu alisnya, membuat raut muka seyakin mungkin agar sandiwaranya tidak ketahuan.
Hening. Situasi awkward mulai mengisi seluruh ruang kelas yang pengap itu. Entah Alicia yang terlalu spechless atau mungkin Bian yang mendominasi aura mengerikan sehingga sang lawan bicara memilih untuk diam.
Bian mendengar gumaman "Dunia udah gila ... " sebelum sang adik kelas meraih kembali kotak kue dan memasukkan benda yang tadinya ia buat untuk Bian kembali ke dalam tas nya.
"Kayaknya, otakku perlu berpikir jernih ... " ujar Alicia, lalu menarik kakinya dan melangkah meninggalkan Bian di kelas yang makin tidak enak hawanya.
Pandangan Bian mengikuti setiap pergerakan Alicia sampai keluar kelas, sambil membisikkan "Dahh ... "
Bian bersandar pada tepi salah satu meja. Dalam hati memberikan pujian untuk diri sendiri atas kemampuan sandiwaranya.
Hanya sandiwara. Dia tidak benar-benar menyukai lelaki, tidak benar-benar gay, tidak benar-benar menyukai kakaknya Alicia. Semua itu ia lakukan hanya untuk membungkam sang adik kelas. Lagipula itu sebenarnya adalah keberuntungan karena Bian mengingat bahwa Alicia punya saudara lebih tua dua tahun, namun dirinya tidak ingat secara pasti siapa nama kakak Alicia.
Bagaimanapun caranya ampuh. Alicia langsung kehabisan kata-kata, dan Bian jamin gadis itu tidak akan mendekatinya lagi. Satu hal adalah tidak dia memikirkan apakah gadis itu akan menyebarkan gossip bahwa Bian gay.
.
.
.
Started.
[Cerita ini draftnya sudah lengkap, tinggal upload aja. Enjoy~]
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Novela JuvenilAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...