05

4.3K 334 2
                                    

Allen duduk manis di sofa. Satu tangannya sibuk mengambil keripik kentang dan tangan satunya lagi memegang remote guna mengganti saluran televisi yang mana jika acaranya sudah tidak layak tonton lagi bagi Allen.

Tiba-tiba bunyi pintu terbuka terdengar dari arah belakang, lalu adiknya keluar.

Alice menjatuhkan bokongnya tepat di samping Allen, dan tangannya menyambar keripik kentang milik kakaknya yang tinggal sedikit lagi.

"Jangan ganggu." Ujar Allen.

"Ge-er, aku mau nonton juga," balas Alice.

"Pasti mau bilang sesuatu lagi, nih."

"Itu tau."

Allen meletakkan remote ke meja di depan mereka, dan mengubah fokus yang tadinya ia berikan penuh pada tayangan televisi, menjadi kepada adiknya.

"Kenapa? siapa lagi yang gangguin lo?"

Alice memutar bola matanya. "Gak mau lagi bilang ke kakak siapa yang gangguin aku."

Alis Allen menyatu saking herannya, "Kenapa?"

"Kakak langsung buat keributan besoknya. Itu memalukan."

Allen menghela napas, "Kan demi lo."

Alice mengambil bantal di sampingnya dan ia gunakan benda lembut itu untuk memukul sang kakak.

"Halah, memang pada dasarnya kakak suka aja dengan keributan."

"Oke, jadi mau bilang apa?"

Alice menjilat bibir saat dirasanya sudah kering. Lalu menelan ludah ketika topik pembicaraan akan sedikit sensitif.

"Kakak pernah kenal kak Bian sebelumnya?"

Allen diam menatap adiknya. Lalu matanya kembali melihat pada tayangan televisi, "Kenapa mikir gitu?"

"Soalnya waktu kak Bian nolak aku, dia bilang sesuatu seolah kalian udah saling kenal."

Itu pasti Bian. Menyebut nama bocah itu malah akan menambah dosa Allen.

Dia tahu betul maksud adiknya. Itu pasti karena Bian bilang dia lebih suka kakaknya yang notabene adalah dirinya sendiri. Padahal selama hampir tiga tahun sekolah di SMA itu, ia bahkan tidak tahu ada anak bernama Kenan Biantara. Bagaimana bisa saling kenal?

Memang bocah itu sengaja mengatakan kebohongan agar Alice tidak menyukainya lagi, atau jangan-jangan, Bian memang telah memperhatikan Allen dan menyukai secara diam?

Opsi terakhir sangat menggelikan dan tidak akan pernah Allen harapkan terjadi.

"Gue gak kenal," hanya itu yang bisa Allen jawab.

.

.

Bian tidak tahan. Ia tidak tahan duduk di samping Jere. Bukan karena Jere nya, tetapi karena ada Sila di depan mereka. Dan Sila terus mengganggu Jere yang sedang dalam mode tidak bisa diganggu.

"Jer, kayaknya lo harus bantuin gue deh."

"Jere ... "

"Jeremy ... "

"Jerami— eh salah."

"Jeremy Samudra."

"Samudra pun akan rela kusebrangi."

Jere melepas earphone— yang sedari tadi bertengger di telinganya untuk mengabaikan Sila —begitu melihat Bian beranjak dari tempat duduknya.

"Mau kemana lo? jangan tinggalin gue sama nenek lampir ini."

"Sorry, tapi kali ini gue lebih milih kewarasan gue daripada persahabatan kita. Bye, bro." Bian memberi kiss bye kepada Jere yang langsung dibalas dengan ekspresi ingin muntah.

Sebenarnya tujuan Bian keluar kelas karena memang ia perlu ke toilet, bukannya benar-benar sengaja menghindari Sila dan Jere. Ia berbelok menuju toilet lelaki, tempat di mana banyak rahasia yang dilakukan oleh kaum Adam.

Bian berdiri di depan wastafel tepat di hadapan cermin. Lalu masuk ke bilik kosong, mulai menyelesaikan ritualnya.

Beberapa waktu kemudian, ia keluar, kembali memandang dirinya di cermin, lalu mencuci tangan—

BRAK!

Gerakan menggosok kedua tangannya terhenti begitu suara tersebut mengagetkannya. Ia melihat bilik di belakangnya melalui pantulan dari cermin. Memang ada bilik yang tertutup, dan Bian yakin sumbernya dari sana. Kayaknya sekolah ini memang angker.

"Fuck!"

Wow.

Setannya bisa mengumpat juga. Keren.

"Woi! ada orang gak?!"

Oke. Bukan setan, tapi seseorang yang terkunci. Dan Bian merasa familiar dengan suara itu namun tidak ingat siapa.

"Sebentar." Bian mendekat dan mencoba membuka bilik tersebut. Terkunci dari luar, perbuatan orang iseng, masih ada saja yang seperti itu.

Pemandangan di dalam bilik tersebut cukup mengejutkan Bian. Dia memang mengenal orang itu.

Allen terlihat kesakitan saat dirinya duduk di toilet sambil memegangi pinggangnya. Wajahnya meringis menahan sakit.

"Makasih." Ucap Allen. Lelaki berambut coklat dengan manik jati tersebut berusaha bangkit dan berjalan keluar bilik, membuat Bian sedikit menyingkir memberi jalan.

Bian terus memperhatikan jalan Allen yang terseok-seok masih memegang pinggangnya. "Lo encok?"

Allen berdecak, "Jatuh di toilet berhasil bikin gue keliatan lebih tua berpuluh tahun."

Bian tidak bisa menahan tawa mendengar keluhan Allen. Siapa sangka sang senior preman pembuat onar sekarang tampak tidak berdaya dan berjalan dengan cara yang memalukan.

Allen diam. Ia hanya menatap lurus pada Bian melalui pantulan di cermin. Pada dasarnya Allen sudah membenci bocah itu, songong, sok keren. Tetapi sekarang kebencian itu meningkat saat dirinya menyadari bahwa mungkin ia juga sedikit iri. Lihatlah Bian yang notabene adalah adik kelas namun lebih tinggi darinya, proporsi badan yang ideal, dengan bahu lebar, wajah yang— yah ... lumayan menurut Allen —rambut hitam tanpa poni dengan kening terekspos, bibir merah bata, dan kulit tan serta manik legam yang tajam.

Allen buru-buru mengenyahkan pikiran bodohnya yang secara tiba-tiba menganalisis rupa adik kelas menyebalkan di depannya ini. Matanya bergerak gelisah, "Bantuin gue ... ?" terdengar seperti perintah daripada minta tolong.

Bian mulai menunjukkan wajah lempeng songongnya, "Kalau mau minta tolong yang baik, dong."

Allen lagi-lagi berdecak. Dosa apa yang ia perbuat pagi ini sampai harus terkunci di toilet, dan ditolong dengan salah satu orang yang ia benci (tidak suka).

"Tolong bantu gue."

Bian merasa ekspresi kesakitan yang Allen tunjukkan itu benar-benar asli, bukan sandiwara. Baiklah, akan ia bantu, kesempatan untuk bolos pelajaran juga.

Bian meraih lengan Allen dan dirangkulkan pada bahunya sendiri. Lalu mulai berjalan pelan.

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang