"Kamu gak ikut try out lagi?"
Pertanyaan sekaligus awal pembicaran yang dimulai Ayahnya.
Allen merespon dengan anggukan. Selalu begini. Jika ayahnya tahu bahwa dirinya membuat masalah di sekolah, hal pertama yang dilakukan sang Ayah adalah bertanya. Setelah itu, Ayahnya hanya akan menghela napas berat dan menyudahi pembicaraan mereka.
Sempat terpikir di benak Allen. Kenapa hanya itu respon sang Ayah? Apa yang Allen lakukan semasa hidupnya hanya diberi respon yang sepertinya tidak ingin orang tuanya berikan? Bertahun-tahun Allen bergelut dengan batin, bertanya-tanya, membuat sebuah prestasi pun hanya akan selalu diberikan sebuah senyuman oleh orang tuanya, tanpa ada kata-kata.
Tidak pernah ada kata bangga yang Allen dapatkan dari ayah dan bundanya.
Apa yang salah dari dirinya? Apa dia pernah membuat kesalahan? Apakah orang tuanya lupa bahwa dirinya adalah salah satu anak mereka juga.
Sampai di titik Allen mengerti. Sekeras apapun dia berusaha, dirinya bukanlah seorang putra pertama seperti yang diharapkan orang tuanya. Kehadiran dirinya tidak diinginkan. Orang tuanya tidak akan pernah bisa percaya padanya sampai kapanpun.
"Bilang sama Ayah, Allen," pinta Ayahnya dengan suara serak. "Apa mau mu?"
Allen tertawa sinis. Walaupun dia tidak tahu arti sebenarnya dari tawa itu. "Seharusnya Allen yang tanya seperti itu ke Ayah. Ayah dan Bunda mau aku seperti apa?"
"Kami gak pernah menuntut kamu untuk jadi seperti apa—"
"Tapi sebenarnya kalian ingin, kan?"
Sang Ayah menatap lesu putra sulungnya itu. Mulai mengingat kembali kesalahan fatal yang ia lakukan di masa lalu, yang membuat putra satu-satunya kehilangan arah dan tujuan.
Allen mengangkat bahu, "Bukannya kalian ngasih Allen kebebasan sekarang? Harusnya memang begitu dari dulu." Setelah itu, ia beranjak keluar dari ruangan Ayahnya.
.
.
Akibat kepulangan Ayahnya yang mendadak, Dhani dan Wira mau tidak mau harus pulang dengan ekspresi tidak puas. Maka sekarang Allen hanya berdua dengan ayahnya di rumah megah ini, bersama segala perasaan tidak nyaman. Berharap adiknya cepat pulang sehingga dia bisa—setidaknya berbicara dan merasa punya seseorang yang penting di rumah ini.
Allen berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit kamar. Tangannya semakin mengepal dan meremas seprai kasurnya.
Dia beranjak lalu mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu dan segera keluar. Pergi kemanapun, tidak lupa pula sekotak rokok di saku jaketnya. Dia butuh angin segar dibandingkan suasana suram dalam rumah besarnya itu.
Allen keluar tanpa motornya. Kali ini lebih baik berjalan kaki dengan sebatang rokok di mulutnya. Dia ingin tempat yang sepi, sampai ia melihat halte di pinggir jalan yang gelap, hanya diterangi oleh lampu jalan yang temaram.
Begitu mendudukkan dirinya, tangannya merogoh ponsel dari saku, dan mulai menelpon seseorang.
...
"Oit. Kenapa? masalah lagi sama bokap lo?"
Allen menggaruk kepala, lalu berdecak, "Lo tahu, lah." Ia bisa mendengar Dhani menghela napas di seberang sana.
"Ayo ke warnet, ajak si Wira juga."
"Gak usah, gue sebenarnya pengen ke warung Pakde Uyon."
"Kantin sekolah malam-malam gini yang ada malah angker, bego."
Hening, yang Allen lakukan saat ini hanyalah sekedar usaha untuk menaikkan sedikit moodnya.
"Woi!"
"Ya, gue masih disini. Thanks udah ngobrol sesuatu yang unfaedah."
"Hah ... oke. Kalau ada apa-apa telepon gue. Tapi kalau lo laper dan mau minta makan, jangan telepon gue."
"Fuck lo." Telepon langsung ditutup sepihak oleh Allen sambil menggelengkan kepala. Setidaknya, adu bacot dengan Dhani lumayan menyenangkan.
Baru saja menyandarkan punggungnya pada kursi halte, sebuah bunyi terdengar dari ponselnya. Tumben ada sebuah pesan dari aplikasi Linenya.
Matanya sedikit berjengit begitu melihat sang pengirim.
19.25
Kenan Biantara
Gue suka makanan yang manisDan matanya semakin berjengit heran saat melihat isi pesan tersebut.
Kenapa lagi bocah ini?
Allen Yohanes
Heh, bocah. Lo mabuk?Kenan Biantara
Kayaknya lo lupa lagi kalau lo itu harus mengenal gueAllen Yohanes
Terus apa hubungannya dengan makanan kesukaan lo?Kenan Biantara
Itu berarti gue ngasih tau hal yang gue sukaAllen Yohanes
Tapi gue gak mau tauKenan Biantara
Ayo temenin gue cari makanAllen Yohanes
Itu intinya?
Lo gak punya orang lain untuk diajak?Kenan Biantara
Hmmm
Jere sama Sila? gue udah bosan liat mereka
Memangnya hal yang aneh kalau gue ngajak orang yang gue suka untuk makan?...
Fuck.
Allen Yohanes
Gue lagi gak mood ngapa-ngapainKenan Biantara
Gue tebak. Lo pasti lagi nyebat
Ayolah, nikmati malam ini
Lo ada dimana?Allen Yohanes
Bukan urusan loKenan Biantara
Apa perlu gue lacak posisi berdasarkan hp lo?Allen Yohanes
Jangan kebanyakan nonton film detektif-detektifanKenan Biantara
Gak percaya? jangan kaget kalau tiba-tiba gue muncul di samping loKenapa rasanya mulai merinding? Allen jadi teringat cerita yang pernah ia dengar tentang seseorang bertukar pesan lewat ponsel, dan ternyata orang yang bertukar pesan dengannya adalah hantu.
Akan tetapi kisah antara Bian dan Allen kan bukan genre horror.
"Kenapa? lo takut?"
"ANJING!" Allen spontan berdiri dan mendapati bahwa Bian benar-benar ada di sini. Lama-lama bocah itu mengerikan juga.
"Lo pasti bukan manusia." Gerutu Allen, kembali duduk dan mengelus dadanya.
Bian tertawa dan mengambil tempat di samping Allen. "Mau tahu kenapa gue ada disini?"
Allen menatap lelah, lalu mengangguk pasrah.
"Gue habis dari rumah Jere, orang yang hampir lo hajar di kantin waktu itu."
"Gak perlu dijelasin," mata Allen berpendar seolah mencari sesuatu. "Mana motor lo?"
"Kenapa? mau boncengan sama gue lagi?"
Demi Tuhan. Allen berusaha sabar.
"Gak usah pikirin motor gue. Jadi, mau gak nemenin gue?"
Allen menghela napas. "Lo udah datang kesini. Gak mungkin gue tolak." Lalu ia berdiri, bersiap.
Bian tersenyum heboh, "Woah, tadi itu beneran Allen yang bicara?"
.
.
.
Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Fiksi RemajaAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...