08

3.1K 279 5
                                    

Allen akhirnya kembali dan bertemu pandang dengan manik legam itu. "Gue bukan merhatiin lo, tapi cuman gak sengaja lihat."

Bian tidak peduli apa jawabannya, yang jelas ia menganggap bahwa tindakan Allen yang melihatnya bermain gitar itu sebagai tindakan seseorang yang sedang mengagumi secara diam-diam.

Narsis memang, Bian akui.

"Kenapa? gak pernah lihat gue nampil?"

Dengan mata yang sangat jelas menunjukkan sorot tidak tertarik, Allen menjawab. "Memang."

Sebentar ...

Bian menjadi tidak percaya dengan pernyataan barusan.

"Serius, lo gak pernah lihat gue ngeband sebelumnya? seenggaknya di acara sekolah?"

Allen menggeleng.

"Emangnya lo gak pernah dengar orang ngomongin gue setelah band? ngomongin band kami? temen cewek di kelas lo gak ada yang bilang gue keren?" Sebenarnya ada sedikit rasa geli dalam diri Bian mendengar kalimatnya sendiri.

Allen mengusap telinganya yang mulai panas. "Gak ada! Lo narsis banget."

Bian masih gigih. "Lo punya sosmed? di grup chat kelas lo atau twitter, instagram, facebook gak pernah muncul saran pertemanan dari gue?"

Astaga. Allen sangat ingin menyeret Alice pulang sehingga ia tidak perlu menunggu disini dan mendengar celotehan percaya diri berlebihan dari Bian.

"Hidup lo kayaknya sebatas masalah, nongkrong, dan masalah. Warnai dengan yang lain kek, jangan galak amat, kalau bisa senang-senang di sekolah kenapa gak?"

"Gue seneng-seneng aja, sih." Allen tidak protes karena Bian ada benarnya.

Bian mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?"

Hening.

"Tapi seenggaknya lo bisa punya relasi, tau satu atau dua nama murid yang bukan seangkatan, main sama orang-orang. Lakuin di saat kita masih muda." Lanjut Bian.

Allen diam. Sepertinya sedang menimbang setiap kata dari yang Bian bilang.

"Padahal temen lo Wira, dan dia temen sekelas gue, kok bisa gak tahu ... "

"Justru dia yang kasih tau kalau lo orang yang buat Alice nangis."

Bian mengangguk, "Iya gue tahu, Wira yang bilang sendiri, dia merasa gak enak sama lo dan gue. Lo pasti tahu kenapa."

Sejenak Allen tertegun. Ia benci mengakui, tetapi kenapa dirinya tidak terpikir juga bagaimana perasaan Wira yang berada di posisi tengah pertikaian antara dia dan Bian.

Ada satu hal yang akan Allen putar balikkan pada Adik kelas di depannya ini. "Oi ... " panggilnya, membuat Bian menoleh. "Bukannya sebelumnya lo juga gak kenal gue?"

"Memang, tapi gak separah lo. Gue tahu lo kakak kelas, lo itu orang yang sering buat onar disekolah, cuman gue gak tahu nama lo."

Enggan Allen akui jika dia memang kurang mengenal murid-murid lain disekolah. Kalau teman satu kelasnya, tentu saja ia kenal, namun boro-boro mengenal adik kelas satu atau dua tingkat di bawahnya, mengetahui sekedar nama murid seangkatannya saja tidak. Dan juga mengenai sosial media, ia punya, tetapi jarang digunakan, kebanyakan lupa kata sandi dan akunnya berakhir menjadi kosong melompong.

Kenapa masih ada saja makhluk seperti Allen di zaman secanggih ini?

Tiba-tiba Bian mendekat ke telinga Allen, lagi, mengingat lelaki itu sudah pernah mendekati bagian sensitif tersebut saat pertemuan pertama mereka pada sore hari di ruangan kelas. Allen refleks menjauh, ia tidak mau jika harus mendengar Bian membisikkan hal aneh lagi.

"Gue cuma mau kasih saran." Bisik Bian, untungnya bukan hal aneh.

Ya, bukan hal aneh, namun malah perasaan Allen yang aneh. Apakah mereka sudah menjadi cukup kenal untuk bisa saling berdekatan dan berbisik begini? bukan saling, karena hanya Bian yang mendominasi untuk mendekat, Allen mah ogah.

"Lo harus nikmati masa SMA sebelum lo lulus." Bian kembali menjauhkan diri dari Allen.

"Gak penting, gue lulus apa gak juga orang-orang gak akan tahu." Celetuk Allen.

"Penting. Masa depan lo penting. Seenggaknya buat waktu SMA berkesan. Harus lo warnai, jangan berurusan dengan masalah melulu."

"Memang lo tahu apa."

"Gue tahu kalau lo kurang menikmati sekolah, makanya ... mau gue bantu?"

"Gak perlu. Sok tau lo."

Tiba-tiba, Bian bergeser dan dengan sengaja menyenggolkan bahunya dengan milik Allen.

"Kali ini gue yang nawarin bantuan, lo gak perlu hutang budi, gue tahu lo paling anti minta tolong." Lanjut Bian, seringai mulai muncul di wajahnya.

Untuk pertama kali, Allen tidak bisa berlagak sangat seperti saat ia berhadapan dengan orang lain. Dia justru penasaran, apa yang ada di pikiran bocah kelas 11 di sampingnya ini.

Tidak merasa sungkan kah Bian pada Allen?

Bian menyentuh bahu Allen. Kontak fisik kedua kali mereka setelah yang pertama saat Bian membopong Allen yang encok keluar dari toilet.

"Mulai sekarang, lo harus mengenal gue lebih dalam. Itu akan membuat masa SMA lo lebih berkesan." Kata Bian, sembari senyum percaya diri, masih dengan tangan yang betah menempel di bahu Allen.

"Apa-apaan ... "

"Lo kurang bersosialisasi sama orang-orang di sekolah, untuk langkah pertama, lebih baik lo mengenal gue dulu. Oke? oke, lo terima." Bian menepuk bahu Allen dan melepaskan tangannya.

"Ngawur banget omongan lo. Ogah gue kenal sama lo."

"Tapi gue bisa bikin hari-hari lo menjadi luar biasa."

"Yang ada malah luar binasa ... " sungguh Allen tidak mengerti pola pikir Bian. Beberapa hari yang lalu mereka berdua seperti dua buah kutub magnet yang sama, tidak bisa berdekatan, saling tolak-menolak. Tetapi sekarang, kenapa banyak perubahan seolah mereka menjadi teman dekat?

"Gue kakak kelas lo, seenggaknya panggil gue dengan embel-embel Kak atau Bang." Omel Allen lagi.

"Kak ... ?"

Suara itu membuat atensi mereka berdua teralihkan pada sosok Alice yang telah berdiri di samping Allen.

Melihat adiknya, Allen merasa ini bukan waktu yang tepat, apalagi ia dipergoki bersama dengan Bian. Alice pasti akan menjadi sensitif. Allen grogi dan gelagapan, ia melihat Bian, tanpa bicara apapun segera melangkah menjauh sambil menarik adiknya.

"Udah selesai? ayo pulang." Ucap Allen, masih terus menuntun Alice keluar aula.

Sementara Alice hanya bisa memberi pandangan curiga pada sang Kakak. Lalu mencuri pandang pada Bian di belakang.

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang