09

3K 242 2
                                    

[CW : smoking.]

.

Allen dan Wira sedang berada di warung Pakde Uyon, tanpa Dhani karena lelaki itu harus mengerjakan tugas remedial Geografi.

Mereka berdua sedang asik menyedot minuman sampai tetesan terakhir.

Allen melempar botol minumnya yang secara tepat masuk ke tempat sampah. Ia melihat Wira yang masih menikmati hingga sebelum akhirnya mengikuti jejak Allen melempar botol tersebut.

"Wir, gue mau ngomong." Intonasi Allen lurus dan serius.

"Lo gak mau nembak gue kan Bang?" kata Wira dengan watadosnya.

"Lo mabuk minuman tadi?"

Wira terkekeh menampakkan giginya, "Sorry, sorry, Bang. Habisnya lo serius banget, gue jadi deg-degan."

Allen mengeluarkan sekotak rokok dan mengambil sebatang, lalu berdiri meminjam pemantik api dari Pakde. Setelah rokoknya menyala, ia memegang benda itu dengan dua jari, seperti pada umumnya dan mulai menghisap serta mengeluarkan asap dari mulutnya.

"Lo sering ngerasa gak enakan sama gue." Kata Allen, di sela-sela sebatnya.

Wajah Wira mengeras, dan benar saja, muncul lagi perasaan tidak enak itu. "Gue harus jujur, nih?"

Allen tidak menjawab, namun isapan rokoknya entah kenapa membuat Wira mengasumsikan itu sebagai jawaban iya.

"Iya, gue sering gak enakan."

"Kenapa?"

Lagi-lagi sulit Wira jawab.

"Kita teman dari kecil Wir, bukan cuma gue kan yang beranggapan begitu?" Allen menjentikkan rokoknya saat ia lihat ujung benda itu sudah menumpuk banyak abu. "Apa karena gue lebih tua dari lo?"

"Itu —mungkin." Jawab Wira, kakinya memainkan ranting yang telah jatuh dari pohon di atas mereka.

"Gue senang lo masih bisa respect ke gue, tapi bukan berarti seenggan itu. Kita tetanggaan sampe sekarang, dan lo bahkan sering minjam sempak gue waktu kita nginap bareng."

Wira meringis, "Bagian itu, gak usah disebutin, Bang."

"Makanya itu, hanya karena gue lebih tua dari lo, bukan berarti lo harus sehormat itu. Lo kayak sama orang baru kenal aja gak enakan begitu." Allen mencoba sebisa mungkin berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti untuk orang seperti Wira yang terkadang —maaf— bolot. "Jangan bikin gue kelihatan seolah-olah lo bawahan gue, gue jadi merasa bersalah. Gue juga udah cukup brengsek di mata orang-orang."

Wira menunduk sebentar, lalu kembali mendongak, "Gue mau rokok juga Bang."

Allen memberi sebatang dan pemantik api. "Jangan merasa gak enak lagi sama gue."

Wira mengangguk.

"Paham gak?"

Direspon dengan anggukkan lagi.

"Jangan aja setelah pembicaraan ini, kita jadi canggung, awas ya, lo ganti nanti rokok gue."

"Iya Bang, astaga. Nanti gue balikin abu rokoknya, nih." Wira lama-lama gedeg juga.

Berbeda dengan Allen yang menahan senyumnya. Ada sedikit rasa senang saat dilihatnya Wira memang tidak pernah berubah.

.

.

"Kuajak kau melayang tinggi, dan ku hempaskan ke bumi~"

Jere hanya bisa makan sambil mendengarkan senandung Sila yang sepertinya gadis itu sedang mengkhayal lagi.

"Kira-kira, Yahdi kalau udah ngajak gue melayang tinggi, dia bakal hempasin gue gak ya ... " ujarnya.

"Mending lo ngehaluin cowok-cowok di series Thailand lo." Kata Jere.

"Itu mah udah setiap hari ... " Sila melihat Bian yang baru saja datang, lebih tepatnya melihat sepiring gorengan yang temannya itu bawa dari warungnya Mbak Lula. "Weiss bagi dong." Sila menggapai bakwan beserta cabai rawit sebagai pelengkap.

Bian memandang sengit, "Jangan kebanyakan gorengan, entar suara lo gak enak. Nanti malah gue yang disalahin Bang Niki gegara gak ingatin lo."

"Gampang, minum air putih sama jeruk nipis juga beres," Gadis itu menjawab. Setelah itu hening di meja mereka. Tetapi tidak sampai lima menit, Sila mendekat pada Bian, wajahnya serius. "Gue masih penasaran apa yang lo lakuin sama Kak Allen waktu itu di kelas."

Jere melirik Bian dan Sila di depannya bergantian. "Ada apa, nih? pasti ada yang gak gue tahu."

"Tentang Kak Allen." Ucap Sila, dan langsung saja wajah Jere berubah menjadi sepet.

"Kenapa dia? gue masih kesal karena dipermaluin di kantin." Lanjut Jere.

Bian tertawa puas, "Yaelah Jer, udah berlalu, lupain aja."

"Gak bisa, tiap ke kantin selalu terbayang lagi. Karena dia kerah baju gue sampai kusut melebihi kisah cintanya Sila."

"Kayaknya giliran gue yang gak tahu apa yang terjadi di kantin sampai Jere merasa dipermaluin." Kata Sila.

...

Jere dengan wajah datar, kembali menyedot es kopi miliknya. Sudah menyerah. Bicara pada dua temannya ini lama-kelamaan menjadi rumit.

Entah kebetulan ataupun tidak, Bian menjadi sumringah saat sosok yang sedari tadi mereka perbincangkan muncul dengan indahnya memasuki kantin, tidak jauh dari posisi mereka duduk.

"Panjang umur, orangnya lewat tuh. Sama Wira dan satu lagi gue gak kenal," ucap Bian, dengan semangat khasnya, ia mengacungkan satu tangan lalu berseru, "Oi Wira!" hanya Wira yang dipanggil, alih-alih tujuan sebenarnya adalah Allen.

Sang pemilik nama menoleh, lalu dengan santainya— tanpa memedulikan Allen yang ogah —ia mendatangi meja Bian dkk.

Bisa Bian lihat sendiri bahwa ekspresi Allen yang makin mendekat seperti "Ngapain anjir nyamperin." Dan Bian senang melihatnya. Berhasil membuat Allen kesal ternyata menyenangkan.

"Apa 'Ian?" tanya Wira. Sedikit was-was kalau-kalau nanti Allen di sampingnya kelepasan menonjok Bian.

Sementara tatapan Jere saat melihat Allen tidak kalah tajamnya dari omongan netizen.

"Gabung makan sama kita di sini." Jawab Bian, ia merasakan kaki Jere menginjaknya.

"Nggak, kita udah selesai." Potong Allen sama tajamnya dengan tatapan Jere.

Ctek ... Ctekk ...

Suara Dhani— yang sepertinya daritadi diabaikan —menjentikkan jari telunjuk dan jempolnya. "Hoi hoi, kalau udah selesai ayo balik ke kelas. Gue belum nyalin Geografi."

Akhirnya Allen, Wira dan Dhani pergi. Sambil bertanya-tanya kenapa Bian memanggil mereka. Sungguh sebuah ketidakjelasan.

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang