16

2.5K 210 5
                                    

Alice semakin mendekat kepada Allen, matanya tajam, kemudian jari telunjuknya mengarah tepat pada wajah sang kakak. "Jujur, kakak memang ada apa-apa kan sama Kak Bian?"

Allen memegang jari adiknya dan menyingkirkan jemari lembut itu dari hadapannya. "Ngapain tunjuk-tunjuk? gak sopan."

Selanjutnya Alice hanya diam melihat kakaknya, rautnya sendu, membuat Allen semakin merasa tidak enak. "Kenapa?" tanyanya.

Alice menggeleng, "Gak. Aku cuma sedih. Pasti berat bagi kakak. Aku pengen ngelakuin sesuatu, tapi aku belum bisa apa-apa. Sedangkan kakak yang selalu berusaha jadi kakak terbaik untuk aku dan itupun masih dianggap kurang sama ayah dan bunda."

Allen tertawa pelan, padahal hatinya ikutan sakit mendengar bahwa sang adik ternyata mengerti bagaimana rasa yang ia tempuh selama ini. "Kenapa jadi bahas ini?"

"Aku gak bisa apa-apa jika ini pilihan kakak. Aku yakin kakak tahu apa yang terbaik untuk hidup kakak. Meskipun yang seperti itu— tabu."

Allen mengulurkan tangan untuk mengusap surai coklat adiknya yang sebahu itu. Tiba-tiba ia menjentik kening Alice dengan telunjuk dan jempolnya. Membuat sang adik berdesis kesal sembari mengelus keningnya.

"Lo bisa mikir kayak gitu juga?" ucap Allen lalu tertawa lagi.

"Kakak berhak senang-senang. Hidup kan cuma sekali jadi harus dinikmati—"

"Gua bukan gay kok. Lo gak perlu mikirin itu."

Alice tersenyum. "Aku gak peduli kakak itu apa, aku bakal berusaha untuk tetap terima jika hal itu bisa bikin kakak benar-benar bahagia." Gadis dengan rambut coklat berponi samping itu pergi. Membiarkan kakaknya berpikir dan memutuskan segala sesuatu yang menjadi pembicaraan mereka beberapa detik lalu.

Gue bukan gay.
Gue bukan homo.
Gue suka cewek.

Kalimat itu terus Allen ulangi di dalam kepala, walaupun bayangan saat dirinya dan Bian saling memberikan ciuman terus menghantui dan berhasil menciptakan senyum di wajahnya.

Allen terus berpikir. Mencari jati dirinya. Mencoba menolak kenyataan yang cukup berat untuk ia asumsikan.

Ting ... !

Allen mengambil ponselnya. Melihat notifikasi di layar benda pintar itu yang menunjukkan sebuah pesan.

21.54
Kenan Biantara
Udah dirumah?
Lo lagi mikirin ciuman tadi? kepikiran gak? gue iya

Kenan Sialan Biantara. Bocah itu kembali menjadi seorang yang menyebalkan seperti biasa. Padahal beberapa jam lalu, lelaki dengan rambut hitam legam itu berhasil membuat Allen cukup— cukup nih ya cukup —mulai menyukainya.

Allen akan mengatakan di dalam hatinya yang paling dalam— kalau perlu jantung dan paru-parunya tidak perlu tahu —bahwa ia mulai menyukai Bian— saat tadi lelaki itu berhasil menunjukkan kepedulian padanya, terutama saat Bian mengusap kepalanya dengan lembut. Untung saja Allen sudah mencuci rambutnya sehingga tangan kasar Bian tak perlu berjumpa dengan ketombe.

Namun tetap saja Allen menyangkal semua perasaan ini. Menurutnya, hubungan ini aneh.

.

.

Jere telah mengantri cukup lama. Dirinya melirik sengit pada dua orang penyebab masalah ini. Dia tahu betul, itu adalah Allen dan Dhani. Dua orang senior kelas 12 itu terlalu lama dan banyak bacotnya saat memilih menu.

Tidak tahu apa kalau Jere menahan lapar sejak jam pelajaran Bahasa Inggris? Ya memang tidak tahu, sih.

Sementara itu hanya dirinya yang menjadi antrian terakhir. Kenapa? karena murid lain keburu malas untuk ikut mengantri begitu melihat bahwa yang sedang memesan adalah Allen dan Dhani. Pasti ada saja kerusuhan yang mereka buat.

Jere juga ingin menyerah dan mengantri di tempat lain, tetapi mau bagaimana lagi, dirinya sedang ingin sekali makan soto. Kalau kata Bian, 'Kayak orang ngidam aja.'

"Jadi yang bener tiga soto ini pakai sayur kol gak?" tanya Mbak Cici, penjual soto yang kesabarannya tinggal setengah.

"Pakai, tapi yang satu gak, yang satunya lagi kolnya tipis-tipis aja, dan yang satunya lagi dan lagi kolnya cuma setengah. Oke? ngerti kan Mbak? ngerti lah, masa gak pula ya kan." Jelas Dhani, lalu sentuhan terakhir, tak lupa memberi kedipan mata pada si Mbak— yang bukannya malah tergoda, tapi malah ingin muntah.

"Mbak, karena kol nya ada yang gak pakai, terus tipis-tipis dan setengah, dapat diskon kan?" ucap Allen lagi. Semakin menambah emosi bagi si Mbak dan Jere yang masih setia mengantri.

"Gak ada diskon-diskon. Cepet sana kamu pergi ke meja! Mau makan aja ribet bener." Omel Mbak Cici. Masa bodoh jika biasanya ia memperlakukan pelanggan layaknya raja dan selalu ramah serta memberikan senyum termanis, tapi pengecualian untuk dua orang pembuat onar di sekolah.

Terkadang Jere bingung. Apa tidak salah sahabatnya, Bian, naksir Allen yang petakilan begitu?

Terlalu tidak penting untuk dipikirkan. Yang penting Jere sudah bisa memesan sekarang.

...

"Lama banget? ngapain aja lo? sensus?" ucap Bian, begitu melihat Jere kembali ke meja mereka dengan dua mangkok soto.

Jere tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya ke arah Allen dan Dhani di meja ujung. Kedua senior pembuat onar itu sibuk melempari kacang ke atas dan berusaha menangkap kacang tersebut dengan mulut mereka.

Bian hanya merespon dengan senyum gelinya. Melihat itu, Jere semakin kesal. "Kenapa gak lo aja yang pesan anjir. Biar sekalian ketemu abang kelas kesayangan lo itu."

Mengingat kejadian semalam, semakin menimbulkan perasaan geli yang menggelitik seluruh tubuh Bian.

"Sarap lo?" celetuk Jere, di sela-sela suapan sotonya.

"Lagi senang aja gue." Diam-diam Bian melirik Allen yang sudah keluar dari kantin.

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang