Allen keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos hijau lumut dan celana pendek abu-abu. Tentu saja pakaian itu milik Bian. Untungnya kaos itu tidak kebesaran mengingat postur tubuh mereka tidak jauh berbeda.
Allen menghampiri Bian yang sedang duduk santai di depan televisi ruang tengah. Bian memakai kaos abu-abu dan boxer hitam. Allen paling sering melihat Bian memakai sesuatu yang bewarna abu-abu. Bahkan rumah ini pun didominasi warna itu.
Mungkin orang tua Bian terlalu sayang padanya sampai mengecat ulang rumah dengan warna kesukaan sang anak satu-satunya. Mungkin lho ya, Allen kan asal tebak saja.
"Sini," kata Bian, sambil menepuk sisi sofa di sebelahnya yang kosong.
Allen menurut.
Sungguh, Bian sangat suka Allen malam ini, tidak ada penolakan sedikitpun dari sikapnya.
Entah sejak kapan sebuah baskom kecil berisi es batu terletak di meja depan mereka. Bian meraih handuk, lalu membungkus es batu dengan benda itu. Kemudian mulai menempelkan handuk es batu tersebut ke bagian wajah Allen yang lebam.
Lagi-lagi Allen hanya diam dan menurut. "Pelan-pelan."
Bian tersenyum. "Katanya lo gak lemah."
Mendengar ledekan itu, Allen cuma bisa berdecak namun tidak membalas.
"Gue minta maaf." Ucap Bian, masih sibuk dengan luka Allen.
"Minta maaf sekali lagi, gue tendang lo." Celetuk Allen. Kakinya sudah bersiap, mengundang tawa dari Bian.
"Oke," Bian menyudahi dan meletakkan handuk es batu tersebut kembali ke baskom. "Istirahat."
Tanpa disuruh, Allen langsung berdiri. "Gue di kamar yang mana?"
Bian tidak menjawab, lalu berjalan menaiki tangga. Begitu juga dengan Allen yang mengikuti persis seperti anak ayam.
Mereka memasuki kamar di ujung lorong lantai dua. Bian membukakan pintu dan Allen segera masuk. Matanya terlihat puas begitu diperlihatkan sebuah kamar yang nyaman dan sepertinya ini kamar Bian. Tempat tidur di tengah, lemari pakaian di sudut dekat pintu ke balkon, sebuah layar untuk playstation, serta rak tempat menyimpan beberapa action figure kesayangan.
Seperti kamar lelaki pada umumnya dan mungkin karena Allen terlalu lelah, dia menganggap kasur di kamar ini yang membuatnya terlihat sangat nyaman untuk ditiduri.
Allen mengernyit. "Kok lo disini?"
Bian berhenti, memandang penuh tanya, "Ini kan kamar gue."
"Jadi ... gue tidur di mana?"
Bian diam sebentar. Tangannya menggaruk tengkuk. "Yah ... di sini."
Allen hampir tersedak ludahnya sendiri. "Ogah. Rumah sebesar ini gak ada kamar tamu?"
"Kunci kamar tamu disimpen orang tua gue, gak tau."
"Kamar orang tua lo?"
Tidak peduli dengan pandangan marah Allen, Bian duduk di kursi meja belajarnya. "Gak. Jangan di kamar orang tua gue. Nanti berantakan."
Allen mendekat dengan wajah sangarnya. Lalu tidak ragu-ragu menendang kursi yang diduduki Bian. "Lo ngerencanain ini kan?"
Bian menyeimbangkan diri setelah mendapat tendangan dari kaki lucknut Allen. "Memang kenapa? lagian kamar gue yang paling nyaman dibanding kamar lainnya."
Memang benar. Tetapi jika Allen tidur dengan Bian pasti rasanya ... aneh.
"Sekedar tidur bersama gak bikin masalah kan ... " lanjut Bian, nada suaranya semakin mengecil, dan itu membuat Allen jengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boomerang | ✔
Ficção AdolescenteAwalnya hanya kebohongan yang Bian katakan pada adik kelasnya bahwa dia gay. Tetapi ternyata, entah karma atau kembali padanya apapun itu, Bian mendapati perasaannya benar-benar tumbuh tidak disangka. Menyukai Allen menunjukkan bahwa ia telah jatuh...