12

2.6K 214 2
                                    

Sore ini Bian kembali dihadapkan pada latihan band yang semakin serius, mengingat ulang tahun sekolah semakin dekat. Niki menjadi cemas sendiri, padahal sudah sering menghadapi situasi seperti ini.

Mereka sedang duduk santai di area aula, istirahat 15 menit. Bian selalu bersama Sila, menemani gadis itu berceloteh atau mamanggil Yahdi yang terkadang lewat sibuk sebagai panitia.

"Sil," panggil Bian, di tengah-tengah aktivitasnya memainkan botol minum.

"Apa?" Sila merasa sedikit terganggu karena ia harus menghentikan dirinya untuk melihat Yahdi yang sedang mengurus sesuatu bersama rombongan panitia lain di pojok aula.

"Lo berasa jijik gak— lihat hal-hal yang tabu?"

"Tabu dalam konteks apa nih?" Sila balik bertanya.

"Hm ... hubungan mungkin?"

Sila berpikir sebentar, "Sebuah hubungan? Sesama jenis?"

"Semacam itulah."

"Gak, gue bukan homophobic. Lagipula hal seperti itu pasti ada di sekitar kita, kitanya aja yang gak notice." Jelas Sila. Seringkali menonton series Thailand dengan genre homoseksual, membuat Sila berpikir lebih jauh dan merasa bersyukur. Maksudnya adalah dia tidak perlu merasakan seperti yang beberapa tokoh dalam series tersebut alami. Perasaan bingung, sedih, takut, bahkan denial saat menyadari bahwa dirinya memiliki hal yang berbeda, sering menganggap dan dianggap tidak normal, merasa tidak diterima dimanapun karena menyukai sesama jenis. Menonton tayangan itu membuat Sila lebih bersyukur bahwa ia tidak harus mengalami hal seperti itu.

Bian tersenyum, terlihat miris di mata Sila. "Gue kayaknya— mengalami itu."

Untuk kali ini Sila melupakan pesona Yahdi di sana, diam dan memilih fokus pada Bian. "Lo gak bercanda kan? dengan siapa lo sadar? kak Allen?"

Mata Bian semakin memancarkan binar, sebuah pertanyaan, "Bagaimana lo tahu?"

Sila diam sebentar, "Gue cuma ngerasa kalian mulai ada 'sesuatu'. Apalagi saat beberapa hari yang lalu gue liat kalian pulang sekolah bareng, dengan motor lo. Maaf kalau kesannya sok tahu."

Bian menatap Sila tidak percaya.

"Bahkan Jere juga berpikir begitu."

"Hah?! Jere juga?!" Bian memberi respon terkejut yang cukup menular, bahkan Sila sampai hampir terjatuh dari bangkunya.

"Kenan," ucap Sila. Sangat jarang gadis itu memanggil Bian dengan nama depannya, "Kita bertiga udah berteman dari SMP. Kenapa berpikir bahwa kita gak tahu apa-apa jika sesuatu terjadi sama lo?"

"Memangnya kalian tidak merasa gak nyaman saat tahu kalau gue—"

"Apa yang gue dan Jere bisa lakukan selain menerima? ini hidup dan pilihan lo."

Wow. Rasanya Bian ingin selebrasi di tengah lapangan sekolah, meneriakkan nama Arsila Hapsari, yang bisa berpikir sedemikian terbuka dan luasnya. Siapa sangka gadis vokalis yang hanya bisa menggoda Yahdi dan menonton drama Thailand itu mampu mengucapkan kalimat yang akan sangat berpengaruh pada tekad Bian?

"Satu yang bikin gue kepikiran. Gue sendiri masih cukup denial sama perasaan ini. Dan Allen gak mau gue ngerasain ini."

Sila menunjukkan senyum termanis miliknya. "Gue gak bisa kasih saran untuk ini karena yang kalian yang mengalami. Bisa jadi lo memang cukup untuk menyukai dia aja, tapi gak untuk memilikinya. Lo belum tahu sepenuhnya 'kan tentang Kak Allen dan pilihannya. Lo juga gak bisa maksa."

Baiklah. Omongan Sila bisa saja mematahkan semangatnya, namun sangat realistis. Bian menunduk dengan kedua tangan memegang kepalanya. Kenapa dia bisa jadi serapuh ini? Belum pernah ia merasakan galau sebegitu beratnya saat menyukai seseorang.

"Jangan pernah sekalipun berpikir kalau lo itu gak pantas. Lo pantas ngerasain apa yang lo mau, lo punya hak. Jangan sedih lama-lama kayak gini, memang berat tapi pasti lo bisa" Sila mulai menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu, "Gue gak mau ya lo jadi sering diem begini, bukan Bian banget."

.

.

Murid-murid di kelas merasakan kantuk saat pak Budi selaku guru Bahasa Indonesia sedang menjelaskan. Bukan pelajarannya yang membosankan, tetapi suasananya mendukung sekali untuk lebih memilih tidur.

Bian mencoret bagian belakang bukunya dengan gambar-gambar random.

Sementara Jere di sampingnya sibuk melakukan ritual yang biasanya di lakukan sehari sekali, terkadang lebih, yaitu mengupil. Semakin dalam telunjuknya menggapai emas di rongga hidung, semakin aneh pula ekspresi Jere. Setelah mendapatkan emasnya, Jere menempelkan benda itu dibawah mejanya. Anggap saja itu ranjau.

"Serius, Man ... " gumam Jere, di sela-sela menaruh upilnya.

Bian memberi pandangan bertanya.

"Serius, Bang Allen?" lanjut Jere.

Oh ...

Bian terkikik pelan. "Terus lo pengennya siapa?"

"Kok lo gak pernah cerita sama gue kalau lo suka cowok?"

"Bagaimana mau cerita kalau gue sendiri masih belum yakin. Dan ... jika gue cerita lebih awal, apa lo bisa menjamin lo gak bakal ngerasa jijik dan menjauh?"

Jere kelihatan berpikir. Ternyata Bian berhasil memutar balikkan keadaan.

"Asal lo gak homonya ke gue, sih gak masalah." Jawab Jere, tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika hal itu sungguhan.

.

Allen keluar dari ruang guru dengan wajah suram. Sebenarnya dia sudah biasa mendapat siraman nasihat dari wali kelasnya, tapi hari ini tidak tahu kenapa perasaannya buruk sekali. Suasana hatinya dari pagi naik turun. Jika di rumah dirinya merasa tidak betah dan tak nyaman, maka sekolah menjadi tempat pelariannya. Tapi tidak hari ini, di sekolahpun tidak bisa memperbaiki moodnya.

Ini semua karena Bian.

Ucapan bocah kelas 11 IPA 2 beberapa hari lalu itu berhasil memporak-porandakan logika Allen. Jantungnya berdetak semakin kencang saat mengingat begitu dalam manik hitam legam Bian menusuk matanya di malam itu.

"Oi, udah selesai? dapat hukuman?" tanya Dhani yang langsung merangkul Allen.

"Gue disuruh isi LJK try out sendiri di perpustakaan pulang sekolah." Jawab Allen, masih suram.

"Mau gue temenin?" ucap Dhani.

"Dih gak usah, kayak homo," celetuk Allen, dan hatinya mencelos saat kata homo keluar dari mulutnya. "Memangnya lo tahan lama-lama di perpustakaan?"

"Gak sih, hehe."

...

Berakhirlah Allen disini. Duduk di antara banyak rak serta buku-buku, mengisi lembar jawaban try out yang dia tinggalkan kemarin. Matanya mendadak berkunang-kunang pada soal ke sepuluh. Btw, ini try out Bahasa Indonesia. Banyaknya soal dengan paragraf yang panjang membuat otak Allen dipaksa bekerja lebih keras. Ditambah Suasana perpustakaan yang sunyi dan pengap, tidak pernah ingin Allen rasakan.

Maklum, anaknya paling anti dengan perpustakaan.

Bunyi derit kursi di depannya tidak berhasil mengalihkan perhatian Allen. Sampai akhirnya seseorang itu memanggil namanya dengan suara yang familiar.

"Bisa juga lo di perpustakaan."

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang