10

3.5K 248 1
                                    

Perasaan senang menguasai Allen kali ini begitu dapat pemberitahuan dari adiknya bahwa ia bisa pulang sendiri. Allen tidak perlu menunggu sampai Alice selesai latihan.

Ini berarti Allen bisa dengan santai mampir ke game center langganannya. Wajahnya sumringah. Ia berjalan ke parkiran dengan tanpa ada beban.

...

Akan tetapi terkadang semua yang kita harapkan terwujud dengan tidak sesuai. Nyatanya kesenangan tersebut hanya sekejap, dirinya dinampakkan kondisi sang sepeda motor kesayangan dengan ban belakangnya kempes. Memang saat berangkat tadi pagi motornya terasa aneh dan sekarang ia menyesal tidak mengisi angin sebelumnya.

Satu hari tanpa kejadian buruk sepertinya susah sekali Allen dapatkan.

Masa' dirinya harus mendorong motor sampai rumah?

Katakan lah Allen itu memang tidak ingin meminta bantuan orang lain demi tidak merepotkan, tetapi untuk situasi sekarang, itu namanya gengsi.

Allen mulai menaikkan standar motornya, bersiap mendorong kendaraan roda dua yang stelah menemaninya sejak kelas 10 itu, dan akan terus mendorong sampai ia bisa menemukan sebuah bengkel di pinggir jalan.

Kalau begitu dirinya harus membuang bayangan akan bermain di game center.

Tinn ... Tin ...

Allen berdecak dan menoleh pada bunyi klakson nyaring tersebut. Siapa yang buat keributan di saat keadaannya sedang apes begini?

Tidak kelihatan karena wajah si pengendara motor itu tertutupi oleh kaca helm, yang tidak lama kemudian, helm itu dilepas. Menampakkan wajah dengan seringai yang sangat Allen kenal.

"Ngapain lo?"

Bian turun dari motornya. "Butuh bantuan gak?"

Lagi-lagi ia harus menerima Bian yang menawarinya bantuan. Tetapi bukan Allen namanya jika langsung mengiyakan.

"Gak perlu, gue masih bisa pulang sendiri."

Bian menghela napas, lalu berdiri bersandar pada motornya. "Susah sih kalau orang dengan pendirian yang keras kayak lo."

"Gue punya prinsip. Dan gue konsisten."

"Tapi sekarang bukan waktunya untuk ngikutin prinsip lo itu." Balas Bian, cukup menusuk batin Allen.

Allen hanya berdecak kemudian bergerak kembali kepada motornya, "Minggir, motor lo menghalangi jalan gue."

"Ayolah ... kalau gue yang nawarin bantuan santai aja. Anggap aja kita udah kenal dekat—oh iya, lo kan memang harus lebih mengenal gue." Tangan Bian menahan motor bagian belakang Allen, agar lelaki itu tidak gigih untuk pulang sendiri.

"Gak usah bacot lo, minggir aja!"

"Serius lo pulang sendiri kayak gini? seenggaknya minta tolong sama Wira kek, atau temen lo yang satu lagi itu."

Hah ...

Ada ya orang yang memaksa sekali saat menawarkan bantuan.

Allen paling tidak tahan jika terus direcoki begini.

"Oke, oke!" Allen mengangkat kedua tangannya, menyerah. "Bantu gue, tolong," matanya terpejam, memendam ketidaksabarannya.

Bian tersenyum puas, kembali kembali naik ke motornya, satu tangannya memberikan helm kepada Allen yang hanya membalas dengan tatapan polos.

"Pakai helm." Entah kenapa kalimat yang terdengar seperti perintah itu dituruti begitu saja oleh Allen.

Lelaki berambut coklat dengan manik jati itu mencium isi dalam helm yang ia terima. Mengundang Bian untuk memutar bola matanya.

"Helm gue gak bau, kok, udah gue kasih pewangi sebaskom."

Allen mulai mendaratkan bokong di jok belakang motor. Benaknya terus bertanya, kenapa pada akhirnya ia bisa berboncengan dengan seseorang yang pada awalnya ia anggap sebagai musuh?

"Sekalian aja, hari ini, lo mulai mengenal gue." Kata Bian sembari memakai helmnya.

"Apaan, antarin gue balik aja langsung." Protes Allen.

"Gue kasih tebengan gratis. Lo gak mau mampir kemana dulu gitu?"

Allen hanya bisa menghela napas. Jika begini, bukan ia yang harus merasa senang dengan berbagai macam tawaran yang diberikan Bian, tetapi dirinya yang harus pusing untuk mengiyakan tawaran —yang sebenarnya adalah permintaan— dari sang Adik kelas.

Maka untuk hari ini, kesampingkan dulu prinsip Allen yang tidak akan meminta bantuan orang lain selagi ia masih bisa menghadapi suatu masalah sendiri. Lagipula dia akan menganggap ini semua sebagai permintaan Bian dan bukan bantuan. Dirinya kembali membayangkan serunya game center.

"Ayo ke game center." Ucap Allen.

Bian tersenyum samar kemudian mulai menjalankan motornya. "Lo mau main apa disana?" tanyanya disela-sela perjalanan.

"Gue mau nembakin orang sampai mati." Jawab Allen.

.

.

Mereka sampai di game center. Allen melangkah masuk lebih dulu dengan semangat.

Bian memgangguk-angguk. Bukan ide yang buruk. Ternyata beruntung juga latihan band ditiadakan hari ini, karena Niki harus mengikuti latihan Try Out.

Biasalah kelas 12 ... Try Out, Ujian, Ujian masuk universitas—

Mata Bian sedikit membulat, dan cepat-cepat ia menghampiri Allen yang sedang bermain sebuah permainan tembak-tembakan.

"Allen." Panggil Bian.

"Bang Allen, gue senior lo ingat." Jawab Allen tanpa mengalihkan perhatian dari permainan.

"Oke. Bang Allen, tapi apa lo gak sibuk latihan Try Out kayak Bang Niki?"

"Gak. Gue bosan."

Anjir. Ini murid kelas 12 memang santai atau gak niat sekolah?

Sepertinya, opsi kedua mendekati jawaban yang benar.

"Tapi kan—" Bian kembali memandang Allen dari belakang. Lelaki itu kelihatan seperti tidak ada masalah. "Jangan salahin gue kalau dengan lo gak ikut latihan Try Out hari ini, nilai lo jadi jelek."

"Santai aja, gak ada yang peduli sama nilai gue."

"Gue bilang Alice, nanti."

"AHH! Mati kan gue!" Allen membanting alat tembak permainan, lalu berbalik menatap Bian dengan sengit. "Apa mau lo?"

"Kalau lo tahu ada try out, kenapa lo malah ngeiyain tawaran gue yang mau ngantarin lo." Jawab Bian. Yang ia pikirkan sekarang adalah apakah Allen sama sekali tidak terbebani dengan segala urusannya yang belum selesai?

"Karena lo ngerecoki gue dengan terus maksa untuk nerima tawaran bantuan lo ini. Lagipula, masa depan gue gak ditentuin sama ujian kelas akhir, kan?" Allen berjalan keluar game center.

"Mau kemana?" tanya Bian, sembari ikut mengejar.

"Keluar, gue mau sebat. Udah gak mood main gara-gara lo."

.

.

.

Continue.

Boomerang | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang