"Aku berangkat dulu, Mah," kata Aurora sambil melirik ke arah Mamahnya yang sedang duduk di sofa.
"Ngapain sekolah segala? Nggak penting. Mending sana cari uang! Bisanya cuma ngabisin duit aja!" balas Ambar dengan nada pedas dan sinis.
"Bukannya itu duit dari Papah, ya? 'Kan, Mamah cuma jadi benalu di kehidupan Papah," sahut Aurora sebelum segera berjalan cepat keluar rumah.
Ambar terkejut mendengar kata-kata itu, matanya membelalak. Dia berdiri dan menatap anaknya yang sudah berada di pintu dengan kemarahan membara. "BANGSAT LO ANAK HARAM!" teriaknya, wajahnya merah padam.
Setelah Aurora pergi, Ambar duduk kembali di sofa, mencoba menenangkan diri. "Sabar, harus sabar. Pelan-pelan dulu mainnya, habis itu bakal aku bunuh tuh anak. Untung Papahnya udah mati duluan, hahaha!" Ambar tertawa jahat, suara tawa yang penuh dengan kebencian dan kemarahan.
Aurora berjalan menuju halte yang sudah tampak ramai oleh orang-orang. Dia duduk di kursi panjang yang disediakan sambil menunggu bus. Untuk mengisi waktu, Aurora membaca novel yang baru saja dibelinya beberapa hari lalu.
Tak lama kemudian, bus yang dinantikannya akhirnya tiba. Aurora berdiri dan melangkah masuk ke dalam bus dengan cepat.
Dia memilih duduk di kursi dekat jendela. Setelah melepaskan tas dari pundaknya dan meletakkannya di pangkuan, matanya tetap tertuju ke luar jendela, menyaksikan kendaraan yang berlalu lalang di jalan.
Lima belas menit kemudian, Aurora akhirnya sampai di sekolahnya. Setelah membayar dan turun dari bus, dia langsung melangkah masuk ke halaman sekolah.
Seperti biasa, di koridor sekolah, Aurora berjalan dengan wajah datar. Tidak ada yang heran dengan penampilannya; "ice girl" adalah julukan yang tepat untuknya. Semua orang yang berbicara dengannya biasanya langsung menyerah atau merasa enggan melanjutkan percakapan, karena Aurora hanya menjawab pertanyaan yang dianggap penting dan biasanya dengan satu atau dua kata.
"Pagi, my ice girl!" sapa Mavendra tiba-tiba, membuat Aurora menoleh ke arahnya.
Aurora mendengus sebal, tanpa menjawab sapaan dari cowok di depannya itu.
"Nanti lo ada acara apa enggak? Kalau nggak ada, ikut gue, yuk?" ajak Mavendra sambil menaik-turunkan kedua alisnya.
"Gue sibuk," jawab Aurora dengan nada tak bersemangat.
"Sibuk apa?" tanya Mavendra penasaran.
Aurora mengedikkan bahunya tanpa menjawab lebih lanjut dan langsung berjalan meninggalkan Mavendra di koridor.
"My Mine, you mau kemana?!" teriak Mavendra, mencoba mengejar.
Sesampainya di kelas, Aurora segera duduk di bangkunya yang berada di pojok kanan. Ia meletakkan tas di bawah meja, lalu merebahkan kepalanya di meja dengan tanda lelah.
Pagi, Ra," sapa Nina sambil duduk di sebelah Aurora.
Aurora mendongak dan menatap sahabatnya. "Pagi."
"By the way, tadi gue nggak sengaja liat lo ngobrol sama Mavendra. Tumben banget, bias—"
"Apa? Gue terpaksa, Na," sahut Aurora dengan nada berat sambil menghela napas panjang.
"Maksudnya? Gue belum ngeh, Ra."
"Aneh tuh anak, tiba-tiba ngeklaim gue jadi pacarnya."
Brakkk!
Semua orang di kelas terlonjak kaget mendengar gebrakan dari Nina. Sementara Nina hanya tersenyum, memandang sekeliling dengan santai.
"Maaf-maaf," ucapnya kepada teman-teman sekelasnya, masih dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAVENDRA [END]
Teen FictionMenaklukkan cewek dingin? Tidak ada di kamus milik Mavendra. Cowok dengan kain yang selalu melingkar di kepalanya. Ini semua karena dia mendapatkan dare dari sahabatnya untuk meluluhkan seorang cewek yang berwajah datar dan irit bicara. Ia kira, pe...