28

125 10 0
                                    

Lima hari telah berlalu, sejak para siswa berjuang keras mengerjakan soal-soal ujian yang membuat kepala mereka seakan-akan mengepulkan asap. Sebagai upaya untuk menyegarkan kembali pikiran, sekolah mengadakan kegiatan berkemah selama dua hari di sebuah hutan yang cukup jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.

Di halaman sekolah, lima bus berjajar rapi, siap mengantar mereka menuju lokasi camping. Para siswa, yang sangat antusias mengikuti acara ini, berkumpul di lapangan sekolah untuk mendengarkan arahan dari kepala sekolah dan para guru.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi, Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Wei De Dong Tian, Salam kebajikan. Pertama-tama, Bapak ingin mengucapkan selamat atas perjuangan kalian selama tiga tahun di sekolah tercinta ini. Kalian telah melewati banyak tantangan, dan kini tiba saatnya untuk merayakan dengan kegiatan akhir kita, yaitu berkemah setelah melaksanakan Ujian Sekolah,"

"Bapak tidak akan berbicara panjang lebar karena kita akan segera berangkat. Namun, Bapak ingin menekankan pentingnya mematuhi semua peraturan yang diberikan oleh para pembina. Di sana, kalian harus saling menjaga dan mendukung satu sama lain. Ingat, jangan pernah melanggar."

Setelah pengarahan selesai, semua siswa segera dipanggil untuk menuju ke bus masing-masing. Aurora, kali ini, ditempatkan di bus A.

"Dan yang terakhir, Mavendra dari kelas XII IPS 3," panggil salah satu pembina.

Aurora yang mendengar nama itu langsung mendengus kesal. Ia tak percaya bahwa dirinya harus satu bus dengan Mavendra. Lebih parahnya lagi, mereka bahkan duduk bersebelahan. Bukan karena ia menginginkannya, tapi itu sudah menjadi keputusan dari pembina. Aurora sempat meminta izin untuk bertukar tempat dengan bus lain, namun sayangnya, permintaannya ditolak.

Mau tak mau, Aurora harus duduk di sebelah Mavendra. Ia masih bingung dengan keputusan pembina—kenapa siswa IPA dan IPS harus dicampur? Ah, sudahlah, ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya.

"Hai, Ra," sapa Mavendra dengan nada santai.

Aurora hanya merespons dengan sebuah dehaman singkat.

"Sepertinya yang gue bilang beberapa hari lalu jadi kenyataan. Gue bakal satu bus sama lo," lanjut Mavendra dengan nada sedikit menggoda.

"Ini semua pasti ulah lo, kan?" Aurora menatap tajam ke arah Mavendra.

"Ulah gue? Maksudnya?" Mavendra tampak bingung sejenak sebelum menyadari sesuatu. "Oh... Gue ngerti. Tapi ini pembina yang ngatur semua, bukan gue. Jangan-jangan lo kira yang ngatur ini gue?"

Aurora hanya diam, malas untuk melanjutkan perdebatan.

"Atau mungkin, ini salah satu takdir dari Tuhan?" Mavendra berkata sambil tersenyum tipis. "Lagipula, Tuhan itu Maha Ad—" Belum sempat Mavendra menyelesaikan ucapannya, Aurora dengan cepat memasukkan tisu ke dalam mulutnya.

***

Setelah lebih dari dua jam perjalanan menuju hutan tempat mereka akan berkemah, suasana di dalam bus yang awalnya ramai kini berubah menjadi hening. Kelelahan mulai terasa, sehingga beberapa siswa memilih bermain game, sementara yang lainnya tertidur. Salah satunya adalah Aurora dan Mavendra, yang tampak tertidur bersama.

Tanpa disadari, Aurora tertidur dengan kepala bersandar di bahu Mavendra, sementara Mavendra juga tertidur dengan kepala bersandar di kursi bus. Suasana tidur mereka yang tak sengaja berdekatan ini berlangsung hingga bus akhirnya berhenti.

"Baik anak-anak, ayo bangun! Yang sedang bermain game, hentikan sejenak. Kita sudah sampai di tempat tujuan," seru pembina melalui pengeras suara.

Mavendra, yang baru terjaga dari tidurnya, membuka matanya dan melihat satu per satu teman-temannya turun dari bus. Ia menoleh ke samping dan melihat Aurora yang masih tertidur pulas.

Mavendra tersenyum licik saat sebuah ide muncul di benaknya. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan dengan cepat memotret Aurora yang masih tertidur pulas. Ia mengambil sebanyak mungkin foto sebelum Aurora terbangun.

Setelah puas dengan hasil jepretannya, Mavendra menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku dan mulai membangunkan Aurora.

"Ra, bangun, Ra. Kita udah sampai," kata Mavendra sambil menepuk pipi Aurora.

Aurora yang terbangun langsung membuka matanya. Ia memandang sekeliling dengan mata yang masih berat dan bertanya. "Lo kenapa nggak turun duluan?"

"Kalau gue turun duluan, siapa yang bakal bangunin lo?" jawab Mavendra dengan santai.

Aurora hanya diam.

"Ayo, buruan. Mereka udah mulai turun." Mavendra berkata sambil menarik pergelangan tangan Aurora untuk keluar dari bus.

Mereka berlari kecil untuk menyusul rombongan yang sudah berjalan agak jauh di depan. Bus yang mereka tumpangi tidak dapat memasuki hutan karena jalannya sangat sempit, jadi mereka harus berjalan kaki selama sekitar sepuluh menit menuju lokasi.

Posisi mereka berada di belakang rombongan. Jalan yang semula sempit perlahan melebar. Semakin jauh mereka berjalan, pemandangan di sekitar semakin indah, dengan hamparan rerumputan hijau yang luas. Di kanan dan kiri mereka tampak bukit-bukit dan gunung-gunung yang menjulang.

"Ra?"

Aurora langsung menoleh ke depan, dan dengan cepat Mavendra memotret wajahnya.

"Hapus nggak?!" Aurora berusaha meraih kamera Mavendra dengan berjinjit.

Mavendra malah mengangkat kameranya lebih tinggi agar Aurora tidak bisa menjangkaunya. "Nggak mau, wleee!"

Saat berusaha meraih kamera, Aurora tidak melihat adanya lubang di depan jalan. Akibatnya, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Mavendra yang mencoba menolong Aurora juga ikut terjatuh.

Semua orang yang mendengar suara mereka langsung menoleh ke belakang, menampilkan berbagai ekspresi.

"Najis banget. Orang caper, matinya nggak bakalan tenang. Awas aja lo!" gerutu Bianca.

Aurora segera bangkit dan bergabung kembali dengan rombongan, meninggalkan Mavendra yang masih terbaring di tempat. Mavendra hanya tersenyum tipis melihat kejadian tersebut.





jangan lupa vote and komen yaaaa

instagram : hrdntaar

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang